Halaman

Minggu, 22 April 2012

MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM


PENGEMBANGAN KURIKULUM
            Pengembangan kurikulum mempunyai makna yaitu penyusunan kurikulum yang sama sekali baru atau bisa juga menyempurnakan kurikulum yang telah ada (Sanjaya,2008:77). Pengembangan kurikulum berarti menyusun seluruh perangkat kurikulum mulai dari dasar-dasar kurikulum, struktur dan sebaran mata pelajaran, garis-garis besar program pengajaran, sampai dengan pedoman-pedoman pelaksanaan. Untuk memudahkan pengembangan kurikulum diperlukan sebuah rancangan yang dapat membantu dalam prosesnya

LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM
            Landasan pengembangan kurikulum pada hakikatnya merupakan faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan pada waktu mengembangkan suatu kurikulum lembaga pendidikan, baik di lingkungan sekolah maupun luar sekolah. Secara umum terdapat tiga aspek pokok yang mendasari pengembangan kurikulum tersebut, yaitu: landasan filosofis, landasan psikologis, dan landasan sosiologis. Landasan filosofis berkaitan dengan pentingnya filsafat dalam membina dan mengembangkan kurikulum pada suatu lembaga pendidikan. Filsafat ini menjadi landasan utama bagi landasan lainnya. Perumusan tujuan dan isi kurikulum pada dasarnya bergantung pada pertimbangan-pertimbangan filosofis. Pandangan filosofis yang berbeda akan mempengaruhi dan mendorong aplikasi pengembangan kurikulum yang berbeda pula. Berdasarkan landasan filosofis ini ditentukan tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan bidang studi, dan tujuan instruksional.
Landasan psikologis terutama berkaitan dengan psikologi/teori belajar (psychology/theory of learning) dan psikologi perkembangan (developmental psychology). Psikologi belajar memberikan kontribusi dalam hal bagaimana kurikulum itu disampaikan kepada siswa dan bagaimana pula siswa harus mempelajarinya. Dengan kata lain, psikologi belajar berkenaan dengan penentuan strategi kurikulum. Sedangkan psikologi perkembangan diperlukan terutama dalam menentukan isi kurikulum yang diberikan kepada siswa agar tingkat keluasan dan kedalamannya sesuai dengan taraf perkembangan siswa tersebut.
Landasan sosiologis dijadikan sebagai salah satu aspek yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum karena pendidikan selalu mengandung nilai atau norma yang berlaku dalam masyarakat. Di samping itu, keberhasilan suatu pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya yang menjadi dasar dan acuan bagi pendidikan/kurikulum. Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sebagai produk kebudayaan diperlukan dalam pengembangan kurikulum sebagai upaya menyelaraskan isi kurikulum dengan perkembangan dan kemajuan yang terjadi dalam dunia iptek.

MODEL-MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM
.Model pengembangan kurikulum pada dasarnya berkaitan dengan rancangan yang dapat digunakan untuk menerjemahkan sesuatu realitas yang lebih praktis sehingga mempermudah pengelolaan kurikulum itu sendiri. Dalam buku Kurikulum dan Pembelajaran, menjelaskan manfaat model dalam pengembangan kurikulum, diantaranya model dapat menjelaskan beberapa aspek perilaku dan interaksi manusia, model dapat mengintegrasikan seluruh pengetahuan hasil observasi dan penelitian, model dapat menyederhanakan suatu proses yang bersifat kompleks dan model dapat digunakan sebagai pedoman untuk melakukan kegiatan (Sanjaya, 2010: 82). Pengembangan kurikulum dalam bahasan makalah ini mencakup perkembangan kurikulum Model Tyler, Model Taba, Model Olivia, dan Model Saylor, Alexander and Lewis, Model Administratif (line-staff), Model Grass Root, Model Demosntrasi, Model Beauchamp, Model Rogers,  Model Wheeler, Model Nicholls, dan Model Dynamic Skilbeck.

1.      Model Tyler
Salah satu model pengembangan kurikulum klasik yang disebutkan dalam buku Basic Principles of Curriculum and  Instructions adalah model Tyler. Model pengembangan kurikulum Tyler beranggapan bahwa dalam pengembangan kurikulum diperlukan proses pemilihan tujuan pendidikan. Tyler mengemukakan tiga hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan kurikulum, yaitu pembelajar, lingkungan social di luar sekolah, dan mata pelajaran. Setelah mengetahui tiga hal tersebut, perencana kurikulum dapat mengetahui dan menyaring dua hal yang harus diperhatikan, yaitu latar belakang filosofi pendidikan dan latar belakang filosofi sosial.
            Hal yang harus diperhatikan, yaitu:
a.   Siswa
Tyler mengemukakan bahwa dalam pengembangan kurikulum dimulai dengan mencari data, dan menganalisis data yang relevan dengan kebutuhan siswa. Cakupan kebutuhan yang harus diperhatikan meliputi kebutuhan pendidikan, kebutuhan sosial, psikologi siswa. Data-data tersebut dapat diperoleh dari observasi guru, interview dengan siswa, orang tua, kuisioner dan tes.

b.   Lingkungan sosial
Langkah selanjutnya yang harus diperhatikan dalam pengembangan kurikulum adalah pengaruh lingkungan sosial, meliputi kesehatan, lingkungan keluarga, agama, dan peraturan umum yang berlaku di lingkungan tersebut. Dalam pengembangan kurikulum harus menganalisis atau menghubungkan keadaan sosiologis dalam memberikan pengaruh terhadap kecerdasan dan kebutuhan social.
c.    Mata pelajaran
Dalam perkembangannya model pengembangan kurikulum mengalami perubahan. Banyak metode yang kurang memperhatikan faktor tujuan mata pelajaran secara khusus, yang ada adalah tujuan pendidikan secara global. Menurut Tyler dalam pengembangan kurikulum harus diperhatikan tujuan dalam setiap mata pelajaran.
            Tyler berpendapat bahwa dalam pengembanagan kurikulum itu harus diperhatikan juga latar belakang filosofi sosial dan latar belakang filososi psikologi. Setelah semua hal yang dijelaskan di atas telah dipenuhi dalam pengembangan kurikulum, langkah-langkah pengembangan kurikulum yang harus dipenuh, yaitu menentukan dengan tepat tujuan (objek) pembelajaran, penyeleksian dalam materi pembelajaran, pengaturan, pengawasan dan evaluasi. Jadi kesimpulannya dalam pengembangan model kurikulum Tyler ini terdapat interaksi antara siswa dan juga faktor kondisi sosial, sehingga dapat terwujud lingkungan belajar yang saling berinteraksi (Oliva, :132).
            Sebelum merencanakan suatu model kurikulum, Ralph W Tyler merumuskan empat pertanyaan mendasar yang harus terjawab dalam suatu pengembangan kurikulum. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain:
a.       What educational purpose should the school seek to attain? à Apa tujuan pendidikan yang harus dicapai di sekolah?
b.      What educational experiences can be provided that are likely to attain these purposes? à Apa pengalaman pendidikan yang dapat disediakan jika kita mencapai tujuan tersebut?
c.       How can these educational experiences be effectively organized? à Bagaimana pengalaman pendidikan dapat diorganisir secara efektif?
d.      How can we determine whether these purposes are being attained? à Bagaimana kita mampu memutuskan apakan tujuan ini telah tercapai?
            Dari keempat pertanyaan mendasar tersebut, disusunlah langkah-langkah pengembangan kurikulum model Tyler adalah sebagai berikut:
      a.   Menentukan tujuan. Dalam menentukan tujuan pendidikan melalui langkah-langkah sebagai berikut: (1) mempelajari siswa sebagai sumber tujuan. (2) mempelajari kehidupan kontemporer dilingkungan masyarakat, ( 3) penentuan tujuan berdasarkan tinjauan filosofis, (4) peninjauan tujuan berdasarkan tinjauan psikologis.
      b.   Menentukan pengalaman belajar. Ada 5 prinsip pengalaman belajar, yaitu : (1) memberikan kesempatan kepada siswa untuk berbuat tingkah laku yang menjadi tujuan, (2) pengalaman belajar harus menyenangkan bagi siswa, (3) siswa harus terlibat dalam belajar, (4) diberikan beberapa pengalaman belajar untuk mencapai tujuan pendidikan, (5) pengalaman belajar yang disediakan dapat menghasilkan beberapa kemampuan, yaitu: kemampuan berfikir, memperoleh informasi, mengembangkan sikap sosial, mengembangkan minat.
      c.   Pengorganisasian pengalaman belajar
      d.  Evaluasi dimaksudkan untuk mengetahui hasil belajar sisa sesuai dengan tujuan yang ditetapkan dan mengetahui kelemahan dan kekuatan program kurikulum.

2.      Model Taba
Model Taba lebih menitikberatkan kepada bagaimana mengembangkan kurikulum sebagai ssuatu proses perbaikan dan penyempurnaan. Dalam model ini dikembangkan tahapan-tahapan yang harus dilakukan oleh para pengembang kurikulum.
Pengembangan kurikulum biasanya dilakukan secara deduktif yang dimulai dari langkah penentuan prinsip-prinsip dan kebijakan dasar, merumuskan desain kurikulum, menyusun unit-unit kurikulum, dan mengimplementasikan kurikulum dalam kelas. Tetapi, menurut Hilda Taba pengembangan kurikulum secara deduktif tidak dapat menciptakan pembaruan kurikulum. Oleh karena itu, sebaiknya kurikulum dikembangkan secara terbalik yaitu dengan pendekatan induktif.
Ada lima langkah pengembangan kurikulum model terbalik dari Taba ini (Oliva, 2005:135).
a.       Menghasilkan unit-unit percobaan (pilot unit) melalui langkah-langkah:
·         Mendiagnosis Kebutuhan. Pada langkah ini, pengembang kurikulum memulai dengan menentukan kebutuhan-kebutuhan siswa. Melalui diagnosis tentang “gaps”, berbagai kekurangan (defeciencies), dan perbedaan latar belakang siswa.
·         Memformulasikan tujuan. Setelah kebutuhan-kebutuhan siswa didiagnosis, selanjutnya para pengembang kurikulum merumuskan tujuan.
·         Memilih isi. Pemilihan isi kurikulum sesuai dengan tujuan merupakan langkah berikutnya. Pemilihan isi bukan saja didasarkan kepada tujuan yang harus dicapai sesuai dengan langkah kedua, akan tetapi juga harus mempertimbangkan segi validitas dan kebermaknaannya untuk siswa.
·         Mengorganisasi ini. Melalui penyeleksian isi, selanjutnya isi kurikulum yang telah ditentukan itu disusun urutannya, sehingga tampak pada tingkat atau kelas berapa sebaiknya kurikulum itu diberikan.
·         Memilih pengalaman belajar. Pada tahap ini ditentukan pengalaman-pengalaman belajar yang harus dimiliki siswa untuk mencapai tujuan kurikulum.
·         Mengorganisasi pengalaman belajar. Guru selanjutnya menentukan bagaimana mengemas pengalaman-pengalaman belajar yang telah ditentukan itu ke dalam paket-paket kegiatan. Sebaiknya dalam menentukan paket-paket kegiatan itu, siswa diajak serta, agar mereka memiliki tanggung jawab dalam melaksanakan kegiatan belajar.
·         Menentukan alat evaluasi serta prosedur yang harus dilakukan siswa. Pada penentuan alat evaluasi ini guru dapat menyeleksi berbagai teknik yang dapat dilakukan untuk menilai prestasi siswa, apakah siswa sudah dapat mencapai tujuan atau belum.
·         Menguji Keseimbangan isi kurikulum. Pengujian ini perlu dilakukan untuk melihat kesesuaian antara isi, pengalaman belajar, dan tipe-tipe belajar siswa.
b.      Menguji coba unit eksperimen untuk memperoleh data dalam rangka menemukan validitas dan kelayakan penggunaannya.
c.       Merevisi dan mengonsolidasikan unit-unit eksperimen berdasarkan data yang diperoleh dalam uji coba.
d.      Mengembangkan keseluruhan kerangka kurikulum.
e.       Implementasi dan diseminasi kurikulum yang teruji. Pada tahap terakhir ini perlu dipersiapkan guru-guru melalui penataran-penataran, lokakarya dan lain sebagainya serta mempersiapkan fasilitas dan alat-alat sesuai dengan tuntutan kurikulum.

3.      Model Oliva
Dalam buku Developing The Curiculum,  Oliva mengemukakan bahwa suatu model kurikulum harus bersifat simple, komprehensif dan sistematik. Model pengembangan kurikulum yang ia kemukakan terdiri dari 12 komponen yang harus dikembangkan.
Komponen I adalah perumusan filosofis, sasaran, misi serta visi lembaga pendidikan, yang kesemuannya bersumber dari analisis kebutuhan siswa, dan analisis kebutuhan masyarakat.
Komponen II adalah analisis kebutuhan masyarakat di mana sekolah itu berada, kebutuhan siswa dan urgensi dari disiplin ilmu yang harus diberikan oleh sekolah. Sumber kurikulum dapat dilihat dari komponen I dan II ini. Komponen I berisi pernyataan-pernyataan yang bersifat umum dan sangat ideal, sedangkan dalam komponen II sudah mengarah kepada tujuan yang lebih khusus.
Komponen III dan IV berisi tantang tujuan umum dan tujuan khusus kurikulum yang didasarkan kepada kebutuhan seperti yang tercantum dalam komponen I dan II. Sedangkan, dalam komponen V adalah bagaimana mengorganisasikan rancangan dan mengimplementasikan kurikulum.
Komponen VI dan VII mulai menjabarkan kurikulum dalam bentuk perumusan tujuan umum dan tujuan khusus pembelajaran. (bagaimana menjabarkan atau perbedaan antara tujuan umum dan tujuan khusus pembelajaran, akan dijelaskan pada bagian tersendiri).
Apabila tujuan pembelajaran telah dirumuskan, maka selanjutnya menetapkan strategi pembelajaran yang dimungkinkan dapat mencapai tujuan seperti yang terdapat pada komponen VIII. Selama itu pula dapat dilakukan studi awal tentang kemungkinan strategi atau teknik penilaian yang akan digunakan (komponen IX A). selanjutnya pengembangan kurikulum diteruskan pada komponen X yaitu mengimplementasikan strategi pembelajaran.
Setalah strategi diimplementasikan, pengembang kurikulum kembali pada komponen IX yaitu komponen IX B untuk menyempurnakan alat atau teknik penilaian. Teknik penilaian seperti yang telah ditetapkan pada komponen IX A bisa ditambah atau direvisi setelah mendapatkan masukan dari pelaksanaan atau implementasi kurikulum.
Dari penetapan alat dan teknik penilaian itu, maka selanjutnya pada komponen XI dan XII dilakukan evaluasi terhadap pembelajaran dan evaluasi kurikulum.
Menurut Oliva, model yang dikembangkan ini dapat digunakan dalam beberapa dimensi. Pertama, untuk penyempurnaan kurikulum sekolah dalam bidang-bidang khusus, misalkan penyempurnaan kurikulum bidang studi tertentu di sekolah, baik dalam tataran perencanaan kurikulum maupun dalam proses pembelajarannya. Kedua, model ini juga dapat digunakan untuk membuat keputusan dalam merancang suatu program kurikulum. Ketiga, model ini dapat digunakan dalam mengembangkan program pembelajaran secara khusus.

4.      Model Saylor, Alexander dan Lewis
            Oliva mengemukakan bahwa kurikulum adalah sebuah perencanaan untuk menetapkan bentuk pembelajaran untuk siswa (Oliva, 2005:135).  Model ini mengemukakan tiga tahap dalam pengembangan kurikulum, yaitu:
a.   Curriculum Design
Terdapat tiga hal yang berhubungan dengan kurikulum desain ini, yaitu tujuan, objek, dan bidangnya. Model ini di mulai dengan mengidentifikasi tujuan utama pendidikan dan tujuan secara spesifik. Saylor, dkk mengklasifikasikan tujuan utama meliputi pengembangan personal, dan pola keterampilan belajar. Pengembang kurikulum harus menentukan dan memilih bidang yang akan dikembangkan dalam kurikulum, misalnya pengembangan kurikulum berdasarkan pola social sebuah instansi, atau berdasarkan hubungan kebutuhan siswa dan kepentingannya.
b.   Instructional Modes
Setelah menentukan rancangan kurikulum, pengembang kurikulum harus menentukan tujuan pembelajaran.
c.    Evaluation
Saylor dkk memfokuskan tujuan desain kurikulum terhadap evaluasi program pendidikan secara keseluruhan dan evaluasi terhadap program itu sendiri.

5.      Model Administratif (line-staff)
Model administrasi atau line staff dianggap sebagai model yang paling awal dikenal. Disebut line staff karena pada model ini inisiatif pengembangan kurikulum dimulai dari pejabat tingkat atas (Superintendent). Pada Model Administrasi, inisiatif rekayasa pengembangan kurikulum menggunakan konsep atau prosedur administrasi dimana administrator atau pejabat pendidikan membentuk komisi pengarah yang bertugas merumuskan konsep dasar dan landasan kebijakan dan strategi utama dalam mengembangkan kurikulum (Sudrajat,2008). Pejabat tersebut membuat keputusan tentang kebutuhan suatu program pengembangan kurikulum dan implementasinya, lalu mengadakan pertemuan dengan staf lini (bawahannya) dan meminta dukungan dari dewan pendidikan (Board of education). Langkah berikutnya adalah membentuk suatu panitia pengarah yang terdiri dari pejabat administratif tingkat atas, seperti asisten superintendent, principals, supervisor, dan guru-guru inti. Panitia pengarah merumuskan rencana umum, mengembangkan panduan kerja, dan menyiapkan rumusan filsafat dan tujuan bagi seluruh sekolah didaerahnya (District). Disamping itu, panitia pengarah dapat mengikutsertakan organisasi diluar sekolah atau tokoh masyarakat sebagai panitia penasehat yang bekerja bersama dengan personel sekolah dalam rangka merumuskan berbagai rencana, petunjuk dan tujuan yang hendak dicapai.
Setelah kebijakan kurikulum dikembangkan, maka panitia pengarah memilih dan menugaskan staf pengajar sebagai panitia pelaksana (panitia kerja) yang bertanggung jawab mengkonstruksikan kurikulum. Panitia im merumuskan tujuan umum dan tujuan khusus kurikulum, isi (materi), kegiatan-kegiatan belajar dan sebagainya sesuai dengan pedoman atau acuan kebijakan yang telah ditentukan oleh panitia pengarah. Panitia mengerjakan tugasnya diluar jam kerja biasa dan tidak mendapat kompensasi. Kondisi ini diterapkan karena berkaitan dengan tanggung jawab guru untuk memahami dengan benar kurikulum dan meningkatkan mutu kurikulum itu sendiri. Selanjutnya, disusu draff  kurikulum yang lebih operasional melalui penjabaran konsep kebijakan dalam tujuan operasional, penyusunan materi, strategi dan evaluasi pembelajaran, disamping itu juga menyusun pedoman umum sebagai petunjuk pelaksanaannya.
Namun ada permasalahan yang sering muncul didalam pemilihan Model Administrasi ini, antara lain: (1) menuntut adanya kesiapan guru sebagai pelaksananya, (2 ) memerlukan internalisasi kurikulum yang dikembangkan, tentunya malalui penataran awal, (3) kecenderungan bersifat searah,  karena adanya sentralisasi  dalam diseminasinya, (4) pada tahun-tahun pertama pelaksanaan, ada monitoring secara intensif dan berkelanjutan tidak dapat dihindarkan.

6.      Model Grass Root
            Model Grass Root  atau akar rumput dikembangkan oleh Smith, Stanley & Shores pada tahun 1957. Model Grass Root  berbeda dengan rekayasa model administrasi. Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum model ini bersasal dari bawah. Misalnya model ini diawali oleh guru, pembina disekolah dengan mengabaikan metode pembuatan keputusan kelompok secara demokratis dan dimulai dari bagian-bagian yang lemah kemudian diarahkan untuk memperbaiki kurikulum tertentu yang lebih spesifik atau kelas-kelas tertentu. Model ini didasarkan pada pertimbangan bahwa guru adalah perencana, pelaksana, dan juga penyempurna pengajaran dikelasnya. Sehingga terdapat perbedaan yang signifikan jika dibandingkan dengan Model Administrasi. Karena bila model Administrasi bersifat sentralisasi pada model akar rumput ini bersifat desentralisasi. Hal ini memungkinkan terjadinya kompetisi di dalam meningkatkan mutu dan sistem pendidikan, yang pada gilirannya akan menghasilkan manusia-manusia yang mandiri dan kreatif.

Menurut Agitara tahun 2009, orientasi yang demokratis dari rekayasa ini bertanggung jawab membangkitkan 2 asumsi yang sangat penting yaitu :
1. bahwa kurikulum hanya dapat diterapkan secara berhasil apabila guru dilibatkan secara langsung dengan proses pembuatan dan pengembangannya.
2. bukan hanya para profesional, tetapi murid, orang tua, anggota masyarakat lain harus dimasukkan dalam proses pengembangan kurikulum.Rekayasa ini sangat bertentangan dengan  model administratif, karena inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum model ini berasal dari bawah, dan dilakukan oleh sekelompok atau keseluruhan guru dari suatu sekolah.
Model ini lebih berorientasi kepada sifat demokratis dan desentralisasi dalam pelaksanaannya. Ada dua dalil atau ketentuan yang sebaiknya diperhatikan dalam menyusun kurikulum ini:
      a.   Penerapan kurikulum dapat berhasil bila guru terlibat dalam penyusunan dan pengembangannya 
      b.   Melibatkan para ahli, siswa, orang tua dan masyarakat

Ada empat prinsip pengembangan kurikulum dalam model grass root ini antara lain  :
      a.   Kurikulum akan berkembang sebagai kewenangan profesional pada pengembangan guru
      b.   Kewenangan guru dapat diperbaiki bila dilibatkan dalam revisi masalah kurikulum
      c.    Bila guru dalam menentukan tujuan yang akan dicapai dalam menghadapi seleksi, definisi, pemecahan masalah dan mengevaluasi hasil, mereka perlu dipertimbangkan keterlibatannya.
      d.  Mempertemukan kelompok dalam tatap muka agar dapat memahami satu dengan yang lain secara lebih baik untuk mencapai konsensup prinsip dasar, tujuan dan perencanaannya.

7.      Model Demonstrasi
            Model Demonstrasi merupakan prakrasa seorang atau sekelompok guru yang berkerjasama dengan para ahli dengan maksud melakukan perbaikan terhadap kurikulum. Sistematika model ini hampir mirip model grass root, karena idenya berasal dari bawah dan biasanya berskala kecil, karena menyangkut beberapa sekolah serta mencakup satu atau keseluruhan komponen kurikulum.
            Menurut Smith, stanley dan shores (1957 dalam zais, 1976, dalam efendi 2009) ada dua variasi ,model demonstrasi :
      a.  Sekelompok guru dari suatu sekolah atau beberapa sekolah ditunjuk untuk melaksanakan suatu percobaan tentang pengembangan kurikulum yang tujuannya adalah mengadakan penelitian dan pengembangan yang diharapkan dapat digunakkan bagi lingkungan yang lebih luas
      b.  Tidak bersifat formal, karena beberapa guru yang merasa kurang puas dengan kurikulum yang ada mencoba mengadakan penelitian dan pengembangan sendiri, dan mencoba menggunakkan hal yang lain dari yang brelaku
            Kebaikan model demonstrasi antara lain :
      a.   Sifat kurikulum lebih praktis dan dungsionalis karena langsung dikaitkan dan diterapkan pada kehisupan nyata.
      b.   Perubahan atau penyempurnaan kurikulum dalam skala kecil atau aspek tertentu yang khusus, sedikit sekali untuk ditolak administrator, dibanding dengan perubahan atau penyempurnaan menyeluruh,
      c.    Pengembangan kurikulum dalam skala kecil dengan model demonstrasi dapat mengatasi permasalahan dokumen yang baik namun hasilnya kurang memadai.
      d.   Guru sebagai narasumber atau yang berinisiatif dapat menjadi pendorong adnisistrator untuk mengembangkan program baru.
Meskipun dalam pelaksanaanya tidak menutup kemungkinan terjadi sikap tak acuh dari guru yang tidak terlibat, namun kondisi tersebut dapat ditekan dengan penalaran dan sosialisasi tertentu yang dilakukan semua pihak baik pihak aktif maupun pasif.

8.      Model Beauchamp
            Menurut Beauchamp (dalam Sukmadinata, 2005:30 dalam Herdiana,2009), teori kurikulum secara konseptual berhubungan erat dengan pengembangan teori dan ilmu-ilmu lain. Hal-hal penting dalam pengembangan teori kurikulum adalah penggunaan istilah teknis yang tepat dan konsisten, analistis dan klasifikasi pengetahuan, penggunaan penelitian-penelitian prediktif untuk menambah konsep, generalisasi atau kaidah-kaidah, sebagai prinsip-prinsip yang menjadi pegangan dalam menjelaskan fenomena kurikulum. Dalam rekayasa pengembangan kurikulum, Beauchamp secara kritis mengindetifikasi beberapa keputusan yang mendasari rekayasa pengembangan kurikulum diantaranya :
     a.  Menetapkan batas lingkup wilayah yang akan dilibatkan dalam kurikulum  tersebut, misal cakupan tingkat sekolah, kecamatan, kabupaten, propinsi atau alam satu wilayah negara. Penetapan batas atau lingkup wilayah ini ditentukan oleh wewenang yang dimiliki pengambil kebijakan serta tujuan dari pengembangan kurikulum.
      b. Menyeleksi dan menetapkan anggota yang terlibat dalam pengembangan kurikulum. Dalam hal ini anggota yang terlibat meliputi para ahli pendidikan atau kurikulum, para ahli pendidikan dari perguruan tinggi atau sekolah dan guru-guru terpilih, para profesional dalam sistem pendidikan, serta profesional lain dan tokoh-tokoh masyarakat.
      c.  Organisasi dan prosedur perencanaan dalam menetapkan tujuan umum dan tujuan khusus, memilih isi dan pengalaman belajar, evaluasi serta dalam menentukan keseluruhan desain kurikulum.
      d.   Imlementasi kurikulum merupakan program yang paling penting  sebab membutuhkan kesiapan guru, siswa, fasilitator material dan biaya maupun manajerialnya.
      e.    Evaluasi kurikulum. Ini memiliki 4 cakupan diantaranya : evaluasi pelaksanaan kurikulum oleh guru, evaluasi desain, evaluasi belajar siswa, evaluasi dari keseluruhan sistem kurikulum.

9.      Model Rogers
            Kurikulum yang dikembangkan hendaknya dapat mengembangkan individu secara fleksibel terhadap perubahan-perubahan dengan cara melatih diri berkomunikasi secara interpersonal.
Langkah-langkah sebagai berikut :
1.      Diadakannya kelompok untuk dapatnya hubungan interpersonal ditempat yang tidak sibuk.
2.      Kurang lebih dalam satu minggu peserta mengadakan saling tukar pengalaman, dibawah pimpinan staf mengajar.
3.      Kemudian diadakan pertemuan dengan masyarakat yang lebih luas lagi dalam satu sekolah, sehingga hubungan interpersonal akan menjadi lebih sempurna. Yaitu hubungan hubungan antara guru dengan guru, guru dengan peserta didik, peserta didik dengan peserta didik dalam suasanan yang akrab.
4.      Selanjutnya pertemuan diadakan dengan mengikutsertakan anggota yang lebih luas lagi, yaitu dengan mengikutsertakan para pegawai administrasi dan orang tua peserta didik. Dalam situasi yang demikian diharapkan masing-masing person akan akan saling menghayati dana lebih akrab, sehingga memudahkan berbagai pemecahan problem sekolah yang dihadapi.
Dengan langkah-langkah tersebut diharapkan penyusunan kurikulum akan lebih realistis, karena didasari oleh kenyataan yang diharapkan.

10.   Model Wheeler
                         Menurut Wheeler, pengembangan kurikulum merupakan suatu proses yang membentuk lingkaran. Proses pengembangan kurikulum terjadi secara terus-menerus. Wheeler berpendapat proses pengembangan kurikulum terdiri dari lima fase ( tahap ). Setiap tahap merupakan pekerjaan yang berlangsung secara sistematis atau berurut. Artinya kita tidak mungkin dapat menyelesaikan tahapan kedua, manakala tahapan pertama belum terselesaikan. Namun demikian, manakala setiap tahap sudah selesai dikerjakan, kita akan kembali pada tahap awal. Demikian proses pengembangan sebuah kurikulum berlangsung tanpa ujung. Wheeler berpendapat, pengembangan kurikulum terdiri atas lima tahap, yakni :
1. Menentukan tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum bisa merupakan tujuan yang bersifat normatif yang menagandung tujuan filosofis (aim) atau tujuan pembelajaran umum yang bersifat praktis ( goals ). Sedangkan tujuan khusus adalah tujuan yang bersifat spesifik dan observable (objective) yakni tujuan yang mudah diukur ketercapainnya;
2. Menentukan pengalaman belajar yang mungkin dapat dilakukan oleh siswa untuk mencapai tujuan yang dirumuskan dalam langkah pertama.
      3.  Menentukan isi atau materi pembelajaran sesuai dengan pengalaman belajar.
      4.  Mengorganisasi atau menyatukan pengalaman belajar.
      5. Melakukan sevaluasi setiap fase pengembangan dan pencapaain tujuan.
                  Dari langkah-langkah pengembangan kurikulum yang dikemukakan Wheeler, maka tampak bahwa pengembangan kurikulum membentuk sebuah siklus (lingkaran). Pada hakekatnya setiap tahapan pada siklus membentuk sebuah sistem yang terdiri dari komponen-komponen pengembangan yang saling bergantung satu sama lainnya.

11.   Model Nicholls
                  Model pengembangan kurikulum Nichools menggunakan pendekatan siklus seperti model Wheeler. Model Nichools digunakan apabila ingin meyusun kurikulum baru yang diakibatkan oleh terjadinya
      Perubahan situasi. Adapun lima langkah pengembangan kurikulum menurut Nichools, yaitu :
      1. Analisa Situasi.
      2. Mennetuan Tujuan Khusus.
      3. Mennetukan dan mengorganisasi isi pelajaran.
      4. Menentukan dan mengorganisasi metode.
      5. Evaluasi

12.  Model Dynamic Skilbeck
                  Menurut Skilbeck, model pengembangan kurikulum yang ia namakan model Dynamic, adalah model pengembangan kurikulum pada level sekolah (school Nased Curriculum Development). Skilbeck menjelaskan model ini diperuntukkan untuk setiap guru yang ingin mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan sekolah. Agar proses pengembangan berjalan dengan baik, maka setiap pengembangan termasuk guru perlu memahami lima elemen pokok yang dimulai dari menganalisis sesuatu sampai pada melakukan penilaian. Skilbeck menganjurkan model pengembangan kurikulum yang ia susun dapat dijadikan alternatif dalam pengembangan kurikulum tingkat sekolah. Menurut Skilbeck langkah-langkah pengembangan kurikulum adalah:
1.  Menganalisis situasi
2.  Memformulasikan tujuan
3.  Menyusun program
4.  Interpretasi dan omplementasi
5.  Monitoring, feedback, penilaian, rekonstruksi.

KESIMPULAN
Model pengembangan kurikulum yang dapat digunakan meliputi Model Tyler, Model Taba, Model Olivia, Model Saylor, Alexander dan Lewis, Model Administrasi, Model Grass Root, Model Demonstrasi, Model Beauchamp, dan Model Roger. Adapun Model Tyler berdasar pada empat pertanyaan pendidikan, Model Inverted dari Taba menekankan pada kesederhanaan prosedur, Model Olivia memberi penekanan pada 12 komponen, Model Saylor, Alexander dan Lewis menekankan pada 3 tahap pengembangan kurikulum, Model Administrasi rencananya berasal dari pejabat, Model Grass Root dan Demonstrasi memiliki kemiripan dengan rencana yang berasal dari pendidik, Model Beauchamp menelaah berdasarkan langkah-langkah tertentu, dan Model Hubungan Interpersonal dari Roger menitikberatkan pada kegiatan kelompok campuran, Model Wheeler bertumpu pada lima fase, Model Nicholls pendekatan siklus dengan lima langkah dan Model Dynamic pengembangan kurikulum tingkat sekolah bagi guru.

Daftar Pustaka
Brown, James Dean. 1995. The Elements of Language Curriculum. Boston USA: An International Thomson Publishing Company
Idi, Abdullah. 2009. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Jakarta: Gaya Media Pratama
Macalister, John. 2010. Language Curiculum Design. Milton Park: Taylor & Francis
Oliva, Peter.F. 2005. Developing The Curiculum. United States: Pearson Education.
Richards, Jack C.2005. Curriculum Develelopment in Language Teaching. New York: Cambridge University Press.
Sanjaya, Wina. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Hamlik, Oemar. 2005. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara

RUANG LINGKUP MAKNA


1.      PENGANTAR
Dalam pembahasan kali ini akan difokuskan tentang Konteks eksternal yang di acuannya berpusat pada buku karya Raimer  dengan bukunya Introducing semantics. Ujaran linguistik terdapat dalam beberapa konteks tertentu, dan menunjukkan peran makna merupakan bagian penting dalam analisis semantik. Bab ini akan membahas salah satu jenis konteks yaitu konteks external atau konteks dunia nyata dari ujaran atau pernyataan.
Pembedaan antara apa yang dimaksud dengan makna, dan dapat digunakan dalam konteks apa saja, kemudian membedakan jenis wacana yang berbeda – beda yang harus di tunjukkan untuk memahami ujaran linguistik dalam konteksnya.
Kita mulai dengan menelaah hubungan antara sense dan reference yaitu:
·           Keaslian dari perbedaan dalam karya Frege;
·           Aplikasinya dalam linguistik
·           Keaslian dari ujaran diektik yang dianggap sebagai jembatan antara bahasa dan konteks eksternalnya.
Kami akan membahas dan mengolah perbedaan antara pengetahuan dari kata, makna linguistik (dictionary or knowledge) dan pengetahuan tentang bukti dari kata konteks ekternal (encyclopedic knowledge).

2. PEMBAHASAN
A. MAKNA DAN KONTEKS
Untuk menentukan makna bahasa, tidak ada ucapan atau ungkapan yang dapat berdiri sendiri secara keseluruhan dan utuh; kata hanya ada pada konteks tertentu saja, dan kita tidak akan menemukan makna yang sesuai jika kita tidak mengaitkannya dengan konteks. Ada pertanyaan tentang ruang lingkup/ scope dari makna ujaran; seberapa besarkah pengaruh dari ujaran tersebut terhadap maknanya, dan seberapa besarkah konteks tersebut ada? Contohnya perhatikan kalimat berikut:
1.                  a. Danise’s teacher got burnt
b. Denise’s brioche got burnt
Morpheme posesive menyatakan dua hubungan makna yang berbeda. Pada kalimat 1a menyatakan hubungan antara makna verba dengan obyeknya dan bermakna orang yang mengajar Denise terbakar. Di lain pihak pada kalimat 1b menyatakah hubungan kepemilikan yang artinya “brioche milik Denise tersebut yang terbakar. Namun apakah ini menyatakan perbedaan dari makna possessive atau karena perbedaan konteks penggunaannya? Kenyataannya bahwa makna tepat dari kalimat ini bisa saja aneh, dan dalam berbagai penafsiran tidak mengurangi intuisi yang dari makna yang sama pada kedua kalimat tersebut.
Dalam bab ini kita akan membahas konteks eksternal atau dunia nyata yang mengacu pada suatu ujaran linguistik. Pemahaman kita terhadap suatu ujaran sangat erat hubungannya dengan pengetahuan kita terhadap konteks tersebut. Untuk memaknai suatu ujaran dengan benar maka seorang pendengar  harus melakukan beberapa hal yang berhubungan dengan kedua konteks yaitu (eksternal dan interpesonal). Contohnya  seseorang yang sangat suka bermain golf mendapat saran “golfers need to find some good clubs”. Untuk memahami maksud dari kalimat ini maka pendengarnya harus:
1.      disambiguate atau membuat kata benda tidak ambigu yang dapat berarti implement used to hit golf ball dan association in charge of a golf course. Dengan memberikan konteks, maka penafsiran makna manakah yang benar?
2.      Assign referent terhadap frasa nomina all golfers  dan good clubs: siapakah yang dimaksudkan golfers oleh si pembicara? Apakah yang dimaksudkan sebagai a good club?
3.      Menentukan jumlah yang dimaksudkan dengan some; dan berapa banyakah jumlah klub yang dimaksudkan dengan kata some dan dengan kata lots?
4.      Sadari bahwa ujaran merupakan bagian dari konteks dan merupakan instruksi  atau perintah untuk menemukan klub yang bagus, bukan tentang kewajiban semua pemain golf:  ini semua berhubungan dengan illocutionary force dari ujaran.
5.      Setelah langkah ke (4) menggali makna bahwa semua pemain golf perlu menemukan club yang bagus dan harus berusaha mencarinya juga.

Semantik tidak hanya tertarik pada fenomena seperti: sub disiplinnya yang disebut dengan pragmatics (dalam bahasa latin praxis, “tindakan”) yang juga membahas tentang penggunaan bahasa dalam konteks nyata, juga mempelajarinya. Semantik tidak dapat mempelajari penggunaan bahasa tanpa sebuah konsep makna terlebih dahulu: tanpa mengetahui makna kata, seseorang tidak dapat mengubah dan mamanipulasi makna kata dalam situasi sebernya dalam fungsi bahasa. Sama juga halnya dengan semantik tidak dapat sampai pada gambaran dari makna kata tanpa melihat penggunaannya dalam berbagai konteks yang berbeda. Hubungan antara makna dan fungsi ini berarti bahwa pragmatic dan semantik ada pada suatu simbiosis yang sangat dekat.

B.  EKSTERNAL KONTEKS: SENSE DAN REFEREN
Menurut Raimer sense is the abstract, general meaning which can be translated from one language to another. Sedangkan referent
Mungkin konteks yang paling sederhana adalah konteks extralinguistik dari referensi yang terkait dengan kesatuan lahir (entities) tentang apa  yang dimaksudkan oleh suatu ujaran. Property atau sifat yang terbagi antara pemikiran dan makna tentang sesuatu dari pada tentang hal itu sendiri yakni suatu obyek dalam dunia nyata, suatu ujaran dan lain – lain yang dikenal sebagai kesengajaan (intentionality)
Reference merupakan konsep dasar dalam pembelajaran makna. Sudah semenjak sekian lama perbedaan tidak digambarkan dengan jelas antara suatu referent dari ujaran (obyek dari apa yang dituju) dengan sense (makna umum yang diabstraksikan dari apa yang dimaksudkan). Gottlob Frege (1848 - 1925) menjelaskan perbedaan antar sense (sinn) dan reference (bedeutung)
The Fregean distinction
1) The Fregean Distinction
            Menurut Dummett (2001: 12) Frege tidak memiliki istilah khusus untuk istilah “makna” yang sangat dibutuhkan untuk memahami suatu kata. Dia membagi tiga aspek dari pengaruh suatu kata secara semantik:
a.      Force (kekuatan) yang mencakup apakah itu merupakan suatu pertanyaan atau pernyataan ( sepertinya dia tidak mempertimbangkan kategori lainnya)
b.      Nada dan warna, yang mengacu pada perbedaan dari konotasi (seperti perbedaan antara verba “mati, menjadi almarhum, dan meninggal (Dummett 2001));
c.       dan sense-nya.
Pengertian tentang gaya dan nada yang cukup jelas. Tapi apakah yang dimaksudkan dengan sense? Dalam esainya yang terkenal 1892 'Pada sense dan referensi' ('kadang-kadang Sense diterjemahkan sebagai nominatum'), Frege membedakan antara sense dan referensi tujuan dengan untuk menjelaskan teka-teki tentang identitas seperti yang di (a) dan (b) pada contoh (2) - (7) di bawah ini:
(2)       a. Bintang pagi adalah bintang pagi.
b. Bintang pagi adalah bintang malam.
(3)      a. Abou Ammar adalah Abou Ammar.
b. Abou Ammar adalah Yasser Arafat.
(4)      a. Amber adalah ember.
b. Amber fosil resin pohon.
(5)       a. Presiden Federasi Catur Dunia adalah Presiden Dunia Federasi Catur.
b. Presiden Federasi Catur Dunia adalah presiden Republik Kalmykia.
(6)      a. Pendiri FBI adalah pendiri FBI.
b. Pendiri FBI adalah cucu dari Raja Westphalia Utara.
(7)      a. Pesta Santo Sylvester adalah Pesta Santo Sylvester.
b. Pesta Santo Sylvester adalah malam tahun baru.

Jika semua yang ada untuk makna hanya referensi, maka tidak ada perbedaan antara setiap pasangan kalimat diatas (kita mengabaikan nada dan gaya, yang tidak relevan dalam contoh ini). Hal ini karena dalam setiap kasus kedua frase kata benda memiliki rujukan/ referent yang sama: Planet Venus (2), Mantan Presiden Palestina (3), ember (4), presiden Kalmykian yaitu Kirsan Ilyumzhinov Nikolayevich (5), Charles Joseph Bonaparte (6), dan 31 desember(7). Perbedaan sangat jelas ada pada kalimat kalimat tersebut: kita bisa melihat bahwa pada  kalimat (a)  adalah tautologi dan tidak informatif – kalimat tersebut tidak memberikan informasi apapun - (b) kalimat sangat jelas memberitahu suatu informasi. Tetapi jika referensi  adalah segala sesuatu yang ada untuk  makna dari hal tersebut, bagaimana bisa ini dapat dijelaskan? Jika makna tidak lebih dari istilah yang mengacu padanya, kedua pasang kalimat tersebut tidak harus berbeda sama sekali dalam efek kognitif mereka.
Solusi Frege terhadap teka-teki ini adalah bahwa referensi ujaran bukanlah hanya bagian dari maknanya: ada sesuatu yang lain, yang ia disebut sense. Sebuah ujaran sense adalah cara kita memahami rujukan nya. Ini merupakan sense yang memberikan ujaran kognitifnya nilai atau significance. Salah satu cara berpikir sense ujaran adalah sebagai modus penyajian rujukannya: cara di mana acuan ini disajikan kepada pemahaman kita. Justru karena frase kata benda dalam kalimat (b) di atas memiliki cara yang berbeda untuk menyajikan referen mereka mengenai frase yang informatif. Sense 'bintang pagi', seperti 'bintang terlihat di pagi hari', jelas terlihat dari unsur ujaran itu sendiri, ini adalah mode yang berbeda dari presentasi dari rujukan istilah itu, Venus, dari yang kita lihat di malam hari ''bintang”.
Sense dan referensi tidak berada pada pijakan yang sama dalam teori Frege tentang makna. Menurut Frege sense menentukan referensi. Ini adalah sense ujaran yang memungkinkan kita untuk tahu apa itu referensi. Jadi menurut Frege ini bukan hanya fakta manasuka bahwa kata-kata memiliki denotasi (kelas rujukan/ acuan). Sebuah kata hanya mengacu pada kebajikan maknanya. Sense, bukan referent, membentuk bagian dari pikiran kita. Satu-satunya akses kita miliki dari referent adalah melalui sense dari kata-kata yang merujuk kepada kata – kata tersebut, dan sense ini adalah  bentuknya (mode presentasi) di mana mereka muncul sebelum pemahaman kita.
Kata “amber” sebenarnya jelas tidak bisa diwujudkan secara fisik dalam pikiran kita. agar kita memahami hal ini, hal tersebut harus disampaikan dan diwujudkan kepada pikiran kita dalam beberapa cara tertentu, dan 'modus presentasi' ini khusus adalah sense dari kata “amber”. Hal ini konsisten dengan gambaran dari relasi antara sense dan referensi bahwa beberapa ujaran (lingkaran, persegi, cebol, dll) jelas memiliki sense, tetapi tidak ada referensi hanya ada dipikiran kita: sense, bukan referensi, adalah bagian penting dari makna.
 Bukan hanya ujaran individu yang memiliki sense dan referensi,
menurut Frege: seluruh kalimat juga memiliki hal tersebut. Kalimat, bagi Frege, adalah ujaran dari pikiran, sehingga makna kalimat itu adalah ungkapan pikiran. Di sisi lain, Frege dengan ide-idenya tentang referensi sebuah kalimat pada pandangan terlebih dulu cukup mengejutkan: Frege mengatakan bahwa acuan kalimat adalah status kalimat sebagai benar atau salah yakni nilai kebenarannya. Jadi, kalimat yang benar mengacu pada Kebenaran, dan kalimat salah mengacu kesalahan  dalam cara yang sama seperti nama Tom merujuk pada individu tertentu. Doktrin Fregean tentang referensi kalimat mungkin menyebabkan kebingungan. Naif, jika orang berpikir bahwa baik gagasan referensi tidak relevan dengan kalimat, atau bahwa referen kalimat adalah semacam situasi (untuk lebih lengkapnya, lihat Barwise dan Perry 1983). Dalam hal apapun, tidak mudah untuk melihat bagaimana sebuah kalimat - atau, dalam hal ini, apa pun - dapat dikatakan mengacu pada Kebenaran. Tidak ada cukup ruang di sini untuk masuk ke motivasi Frege (lihat Dummett 2001: 13-14). Apa yang ditunjukkannya merupakan tempat pusat yang digunakannya mengenai gagasan tentang kebenaran. Kebenaran adalah dasar gagasan dalam teori semantik Frege, di mana baik sense dan referensi harus dijelaskan. Mengetahui sense kalimat, atau ungkapkan pemikiran dari kalimat tersebut, menurut Frege merupakan langkah untuk mengetahui bagaimana kalimat dapat dianggap benar atau salah juga untuk mengetahui kondisi apa yang akan membuatnya benar atau salah. Kondisi ini dikenal sebagai kondisi kebenaran kalimat. Jika saya mengetahui makna kalimat. 
Satie subsequently collapsed into a state of extreme introspection and alcoholism (Satie runtuh ke dalam kondisi introspeksi ekstrim dan alkoholisme), saya tahu apa yang menyatakan referen kalimat ini benar  - kondisi kebenaran pernyataan. Dan dengan kata lain dengan melihat referen kata - kata, kita dapat megetahui apakah kalimat tersebut karena itu benar.
Mengapa Frege menyatakan “kebenaran seperti pusat dalam konsepsinya tentang semantik? Kamp dan Reyle membenarkan sentralitas kebenaran sebagai berikut:
. . . kebenaran adalah yang paling penting bagi kami. Hal ini terutama terjadi dalam konteks penalaran praktis. Ketika saya beralasan cara saya terhadap sebuah rencana tindakan, dan kemudian bertindak sesuai dengan rencana itu, tindakan saya akan rentan untuk gagal, atau bahkan mengarah pada bencana, jika keyakinan faktual yang mendasari pertimbangan saya itu salah - bahkan jika musyawarah saya tidak bisa disalahkan dengan cara apapun.     . . .
Karena kebenaran dan kesalahan yang sangat penting tersebut, dan karena dalam kebajikan artinya bahwa pikiran dan ucapan-ucapan dapat dibedakan menjadi yang benar dan yang salah, adalah wajar untuk melihat dunia langsung, aspek nilai kebenaran- menentukan makna sebagai pusat, dan, akibatnya, untuk melihatnya sebagai salah satu kewajiban utama dari sebuah teori makna untuk menjelaskan bagaimana makna memanifestasikan dirinya dalam penentuan kebenaran dan kesalahan.
(Kamp dan Reyle 1993: 11)
Namun, seperti yang ditunjukkan oleh Lyons, ada banyak kesempatan di mana ia bukan kebenaran dari ujaran linguistik yang tampaknya menjadi faktor yang paling penting yang mengatur penggunaannya:
. . . referensi yang sukses tidak tergantung pada kebenaran dari deskripsi yang terkandung dalam ujaran pengarah. Pembicara (dan mungkin juga pendengar) keliru mungkin percaya bahwa beberapa orang adalah tukang pos, ketika ia sebenarnya adalah profesor linguistik, dan tidak benar, meskipun berhasil, merujuk kepadanya melalui ujaran 'tukang pos'. Hal ini bahkan tidak perlu bahwa pembicara harus percaya bahwa deskripsi adalah benar dari yang dirujuk. Dia mungkin ironisnya menggunakan deskripsi dia tahu tidak benar, atau diplomatis menerima sebagai mengoreksi keterangan salah yang pendengar nya percaya untuk menjadi kenyataan dari acuan ini, dan ada namun lain kemungkinan.
(Lyons 1977: 181-182)
Sebagaimana akan kita lihat pada berbagai titik dalam apa yang berikut, ahli bahasa banyak menolak ketinggian kebenaran sebagai gagasan sentral dalam analisis semantik (untuk lainnya batas untuk relevansi kebenaran dalam semantik, lihat 4.3.1).

Sense dan Psikologi
Sebelum meninggalkan Frege, penting untuk menekankan status teoritis konsep sense. Sense tidak harus diidentifikasi hanya dengan istilah yang berarti pretheoretical, melainkan adalah cukup spesifik cara berpikir tentang efek kognitif dari kata-kata, yang berbeda kuat dalam beberapa cara dengan istilah yang berarti. Salah satu aspek dari Sense Fregean khususnya mungkin muncul agak mengejutkan bagi orang yang, seperti kebanyakan ahli bahasa, terbiasa berpikir tentang makna psikologis - seperti, dengan kata lain, entitas mental yang pribadi. Salah satu pilar dari seluruh pendekatan Frege untuk filsafat adalah penolakan terhadap penafsiran makna linguistik ujaran sebagai entitas psikologis pribadi dalam bentuk apa pun sama sekali. Dalam filsafat matematika, dia juga menolak setiap upaya untuk mengurangi makna dari istilah matematika untuk entitas mental. Fregean sense dengan demikian tidak menjadi bingung dengan, subjektif individu ide atau gambaran mental yang merupakan tradisi sebelumnya filosofis berasal dari Aristoteles dan Locke, dan banyak orang hari ini, pikirkan sebagai yang merupakan makna unsur leksikal. Meskipun sense hal-hal yang kita pegang secara mental, mereka tidak ide-ide pribadi atau mental yang gambar. Sense ujaran adalah bagian dari pikiran, dan pikiran, untuk Frege, tidak entitas subjektif yang bervariasi dari satu orang ke orang lain.
Sebaliknya, pikiran adalah entitas objektif tapi tidak berwujud, dan inilah karakter tujuan yang menjamin bahwa orang mungkin berbicara tentang hal yang sama. Jadi, sementara kita sering mengatakan secara informal bahwa dua orang memiliki konsep yang berbeda dari sesuatu (kejujuran, baik waktu, dll), dan cenderung untuk memperluas cara berpikir untuk wordmeanings, semacam ini bergerak tidak sesuai dengan teori Fregean dari sense. Sense - obyektif, bersama, non-swasta mode presentasi - tidak berbeda dari satu orang ke orang lain.

Pengertian / perbedaan referensi dan deskripsi linguistik
Referensi, pembicara dan pendengar
Sense tampaknya jelas merupakan bagian dari ujaran linguistik: itu adalah kata-kata dan kalimat yang memiliki sense. Referensi sangat berbeda. Tidak seperti sense, referensi dikendalikan oleh pembicara. bukanlah kata-kata yang mengacu pada suatu hal, tetapi si pembicara. Searle (1969: 82) menyatakan dua hal  yang diperlukan untuk mencapai suatu tindakan referensi:
1.      Harus ada satu dan hanya satu objek yang dipakai pembicara dalam ujaran.
2.      Pendengar harus diberikan sarana yang memadai untuk mengidentifikasi objek dari ujaran yang diucapkan pembicara.
Jelas, karena si pendengar dapat diberikan sejumlah sarana untuk mengidentifikasi objek. Referensi dari istilah dalam konteks tertentu tergantung pada speaker (dan juga tentu saja, jika berhasil, pada si pendengar), tidak pada istilah itu sendiri. Kode ini mungkin contoh yang paling jelas dari kenyataan bahwa itu adalah pembicara, bukan yang mengacu pada ujaran itu sendiri,. Kode adalah gaya berbicara di mana pembicara dan pendengar telah sepakat dengan referent (dan indera).
Dalam Warlpiri, misalnya, gaya berbicara tertentu disebut Jiliwirri, digunakan oleh pria selama pembukaan upacara. Misalnya, untuk menyatakan ide 'Saya duduk di tanah' di Jiliwirri, kalimat ini berarti 'Orang lain yang berdiri di langit', kalimat 'Saya pendek '  berarti ' Anda tinggi ':
(8)       kari ka-nguru ngka kari-mil
lainnya AUX langit-LOC berdiri NONPAST
'Orang lain yang berdiri di langit' (Warlpiri biasa)
"Saya duduk di tanah '(Jiliwirri) (Hale 1971: 473 [reglossed])
(9)       Ngaju-RNA rdangkarlpa
I-1S pendek
"Saya pendek '(Warlpiri biasa)
  'Anda tinggi' (Jiliwirri) (Hale 1971: 473 [reglossed])

Orang tentu saja, mengatakan bahwa dalam situasi seperti ini mengatakan bahwa sense yang telah berubah. Jiliwirri merupakan bahasa yang kebetulan memiliki hubungan yang sangat dekat dengan standar Warlpiri dalam fonologi,
morfosintaks dan di banyak kosa kata, tapi ada perbedaan semantik. Contoh lain dari variabilitas dari referensi yang biasanya dapat ditemukan di dapur. Bayangkan sebuah dapur di mana sampah ditempatkan dalam kantong plastik tergantung pada pengait di belakang pintu sebuah lemari di bawah wastafel. Kita dapat dengan mudah membayangkan bahwa ini mungkin disebut sebagai tempat sampah, meskipun sense “tempat sampah” kata benda sama sekali tidak hanya yang dari kantong plastik. (Tentu saja, jika sense “tempat sampah”  adalah 'Wadah apapun untuk sampah', maka “tempat sampah” akan digunakan di sini dalam cara yang sesuai dengan makna.).
Jika kita mencerminkannya  pada wacana nyata, yang bersama dengan "Harfiah" penggunaan bahasa yang mengandung metafora, ironi, sanjungan dan berbagai jenis referensi non-standar, maka akan sangat jelas bahwa lingkup referensial kata-kata sangat luas, mengingat pada kondisi tertentu, setiap kata dapat digunakan untuk mengacu pada rujukan apapun. Hal ini menimbulkan tantangan yang cukup terhadap teori sense. Karena jika referensi sebuah kata ditentukan oleh sensenya, maka jumlah reference kata akan sangat banya. Akibatnya, karakteristik sense akan harus cukup luas untuk menampung semua referensi yang mungkin ada. Jika kata yang diberikan dapat merujuk pada rujukan apapun, kita perlu membedakan cirinya berdasarkan  referen khasnya.
3.2.2.2 Batas-batas sense dan referensi
Sebuah ujaran linguistik mengacu terkait dengan suatu entitas atau himpunan entitas dalam dunia nyata atau maya. Sangatlah jelas dari uraian ini bahwa suatu ujaran tergantung pada konteks yang digunakan. Sebagai contoh, kalimat Marion adalah pemain harpa profesional. Frase nomina, nama Marion, menunjukkan individu tertentu sebagai entitas tentang siapa informasi tersebut seorang pemain harpa profesional diberikan. Kedua frasa nominal, bagaimanapun, pemain harpa profesional, biasanya akan dikatakan tidak mengacu dalam konteks ini. Hal ini karena tidak memilih entitas tertentu atau mengatur entitas sebagai objek dalam cara yang sama seperti ujaran seperti Marion. Sebaliknya, pemain harpa profesional memiliki fungsi predikatif: itu adalah bagian dari informasi yang diberikan tentang Marion.
Demikian pula, tinggi di fi bre frase, rendah lemak dan kolesterol dalam bebas (10) adalah predikatif dan dengan demikian tidak mengacu: (10) Seperti semua buah kering, aprikot tinggi serat, rendah lemak bebas dan kolesterol. Aprikot, sebaliknya, mengacu (untuk kelas aprikot), dan semua buah kering mengacu untuk kelas buah kering. Banyak kategori leksikal biasanya non-referensial. Kata kerja, misalnya, biasanya predikatif: peran yang melekat pada kata kerja adalah untuk memberikan informasi tentang beberapa entitas ed sudah diidentifi, bukan untuk merujuk pada entitas yang langsung.
Namun demikian, sering kali akan berguna untuk memikirkan kata kerja sebagai merujuk untuk tindakan, dan kalimat sebagai mengacu pada situasi, dan ini adalah penggunaan sebuah kita sering akan mengadopsi dalam buku ini. Hal ini juga penting untuk dicatat referensi yang biasanya dilakukan di phrasal, bukan leksikal, tingkat. Dengan demikian, dalam bahasa Inggris, adalah frase kata benda yang
merujuk dan bukan kata benda individu yang membuat mereka. Dalam kalimat Seorang pewaris kekayaan baja Denmark harus meninggalkan kehidupan yang tenang di Stockholm itu adalah frase kata benda - Sebuah pewaris kekayaan baja Denmark, kekayaan baja Denmark, nya tenang hidup di Stockholm, dan Stockholm - yang mencapai kation diidentifi entitas tertentu di dunia.
Sejak Stockholm, sebagai kata benda, adalah dianalisis sebagai frase kata benda dalam dirinya sendiri, itu adalah kata benda hanya dalam kalimat yang tidak unik memilih atau mengacu pada entitas tertentu (yangTop of Form
 ibukota Swedia) - tetapi hanya melakukan hal ini sebagai frase kata benda, bukan sebagai individu kata benda. Tak satu pun dari kata benda individu lain dalam kalimat merupakan sebuah frase kata benda, dan sebagai hasilnya, tidak satupun dari mereka mengacu: pewaris, kekayaan, dan hidup tidak dalam diri mereka mengidentifikasi entitas tunggal yang berupa informasi yang dapat diberikan. Namun, dalam konteks lain, mereka pasti dapat merujuk. Misalnya, hidup dalam kehidupan adalah kalimat lancar merupakan bagian dari frase nomina mengacu pada kehidupan, entitas.
1.      PERTANYAAN Manakah dari frase kata benda berikut digunakan referentially?
2.      Masalah apa yang ada dalam memutuskan?
3.      Pemenang akan menerima set plastik berlapis garpu barbekyu.
4.      Seorang wanita datang ke dalam ruangan.
5.      Tidak ada yang ingin lubang di kepala.
6.      Setiap novelis ingin memenangkan Booker.
7.      Beberapa wanita datang ke dalam ruangan.
8.      Setiap novelis ingin memenangkan Booker.
9.      Boeing berencana membangun sebuah jet penumpang baru.
10.  Santa Claus diciptakan oleh perusahaan Coca Cola, ia tidak benar-benar ada.
11.  Kanguru ini paling aktif di malam hari.
12.  Jika Anda mendengar berita, beritahu saya.
13.  Apakah ada hal seperti perjalanan waktu?
14.  Tidak ada kehidupan dalam tabung neon.
15.  Membuat saya sandwich ham, bukan?
16.  Satu-satunya hal kiri rusak. Satu-satunya hal yang harus dilakukan adalah  membatalkan.
17.  Smith pembunuh gila.
18.  Kemampuan untuk menuangkan pola ke dalam minuman akan membiarkan pelanggan anda dan teman tahu bahwa Anda serius tentang espresso.

Pentingnya predikasi menunjukkan bahwa referensi tidak selalu relevan
aspek makna dari istilah linguistik. Selanjutnya, perbedaan antara merujuk dan non-merujuk penggunaan leksem sering tidak ditandai dengan cara apapun tata bahasa yang jelas: bahasa, dengan kata lain, sering tampaknya tidak peduli apakah suatu ujaran mengacu atau tidak. Sebagai hasilnya, pertanyaan apakah sebuah frase kata benda yang diberikan mengacu terkadang ambigu. Sementara beberapa ujaran jelas merujuk dan lain-lain jelas tidak, ada adalah berbagai kasus menengah di mana ujaran mungkin atau mungkin tidak pengarah. Kemungkinan-kemungkinan ini refl ected dalam kalimat berikut, dari
Givon (1984: 389):
(11)     a. Jika Anda melihat pria dengan topi hijau, katakan padanya. . .
b.
  Jika Anda melihat seorang pria dengan topi hijau, katakan padanya. . .
(I)          Referential: Saya memiliki seorang pria dalam pikiran, dan jika Anda melihat dia
(II)          Non-referensial: Saya tidak memiliki pria tertentu dalam pikiran, jadi jika anda melihatnya. . .
c.   Jika Anda melihat seseorang dengan topi hijau di sana, memberitahu dia / mereka. . .
d.   Jika Anda melihat orang dengan topi hijau di sana, memberitahu mereka. . .

(11a) jelas referensial, (11b) mungkin atau mungkin tidak, (11c) mungkin sial,
tapi masih mungkin dimaksudkan untuk memilih individu yang spesifik c,
sedangkan (11d) adalah paling tidak mungkin untuk mengacu pada orang c spesifik.
PERTANYAAN Faktor-faktor apa selain dari keberadaan atau non-eksistensi
suatu rujukan tertentu mungkin menentukan pilihan pembicara antara (11)
a-d?

Deixis
Beberapa jenis ujaran, yang disebut ujaran deictic atau indexical (atau hanya deictics atau indexicals), diartikan sebagai segala sesuatu yang membuat referensi dengan beberapa aspek dari konteks ucapan sebagai bagian penting dari maknanya. Contoh akan menjadi kata bahasa Inggris here dan there dan kedua kata tersebut setara dalam bahasa lain, seperti Cina zhe dan na, atau Hungaria ez dan az ('ini', 'itu'). Ujaran Deictic memiliki kekhasan yaitu referensinya tergantung pada situasi di mana mereka digunakan.
Mereka kurang memiliki sense secara paraphraseable independen: artinya tidak dapat diberikan setiap deskripsi umum kecuali menjelaskan prosedur untuk menunjukkan referen yang dimaksud. Makna this (ini) dalam  kalimat  This is my old chess” misalnya, tidak dapat dijelaskan kecuali dengan mengatakan bahwa itu mengacu pada beberapa entitas dalam pembicara konteks ucapan - mungkin orang, tetapi juga mungkin sebuah elektronik catur papan, komputer, atau sebuah buku pengantar tentang catur: (12) Ini adalah pelatih catur lama saya. Pembicara dari (12) mungkin juga menyertai ucapan mereka dengan isyarat menunjuk, atau menunjukkan, objek yang mereka miliki dalam pikiran. Dalam seperti tidak adanya isyarat, pendengar harus menyimpulkan apa yang dimaksudkan rujukan adalah.
Hal ini mereka sebagian akan dapat lakukan sebagai hasil dari deictic tersedia dalam bahasa sistem. Para pendengar (12), misalnya, akan dibenarkan pada asumsi bahwa pembicara adalah mengacu pada sesuatu dekatnya: jika ini tidak terjadi, deictic yang akan digunakan bukan (misalnya jika pembicara dan pendengar berlalu seseorang di jalan dan beberapa saat kemudian, ketika mereka telah menghilang dari penglihatan, pembicara berseru Itu pelatih catur lama saya!). Makna atau sense ini, karena itu, dapat digambarkan sebagai sebuah instruksi kepada pendengar untuk mengidentifikasi beberapa kemungkinan rujukan dalam jarak dekat mereka, dan yang berarti bahwa sebagai instruksi untuk mengidentifikasi beberapa kemungkinan rujukan lebih lanjut pergi. Tidak ada ruang yang hampir cukup di sini untuk diskusi lengkap dari semantik dari deictics dalam bahasa-bahasa dunia. Berbagai macam deixis, atau mengacu pada unsur-unsur konteks, telah diamati lintas bahasa. Ini termasuk berikut:

v     Orang deixis, dimana pembicara (I), pendengar (Anda) dan entitas lainnya yang relevan untuk wacana (dia / dia / itu / mereka) disebut;
v     duniawi deixis (sekarang, maka, besok), dan
v     wacana deixis, yang mengacu pada elemen lain dari wacana di
mana ujaran deictic terjadi (J: Anda mencuri uang B:. Itu bohong)

Di sini, kita akan kerahasiaan ne diri untuk diskusi, erat berdasarkan Diessel
(1999), dari deixis spasial seperti yang diwujudkan dalam demonstratif, yang
Inggris ini dan itu adalah contoh kardinal. Semua bahasa memiliki minimal dua demonstratif deictically kontrastif: yang ini demonstratif biasanya disebut proksimal, yang demonstratif disebut distal. Kadang-kadang demonstratif adalah partikel ected uninfl;
dalam bahasa lain, demonstratif ditandai untuk jenis kelamin, jumlah dan / atau kasus dan dapat menggabungkan dengan xes derivasional Affi atau dengan gratis lainnya
bentuk (Diessel 1999: 13). Para demonstratif sistem dari beberapa bahasa mungkin dizzyingly kompleks: Inuktitut (Eskimo-Aleut, Kanada), misalnya, 686 menunjukkan bentuk dalam sistem demonstratif (Denny 1982: 372). Deictic sistem yang, tidak seperti bahasa Inggris, melibatkan lebih dari dua deictic hal ada dua macam dasar: jarak berorientasi sistem, di mana para deictic pusat (biasanya tetapi belum tentu pembicara) adalah titik-satunya referensi untuk lokasi rujukan, dan orang berorientasi sistem, di mana si pendengar lain berfungsi sebagai titik referensi (Diessel 1999: 50). Yimas (Sepik-Ramu, Papua Nugini; Diessel 1999: 39) adalah contoh dari jarak- sistem deictic berorientasi, dengan 'proksimal' yang deictics tunggal pk, m-n 'medial ", hal-n' distal. Bentuk proksimal dan distal dapat diterjemahkan sebagai 'ini di sini' dan 'bahwa lebih dari sana' masing-masing; istilah medial berarti sesuatu seperti 'yang hanya di sana'. Pangasinan (Austronesia, Filipina; Diessel 1999: 39) adalah contoh dari sistem orang-oriented, dengan bentuk singular (i) ya 'ini dekat pembicara, (i) Tan yang dekat
pendengar 'dan (i) manusia yang jauh dari kedua pembicara dan pendengar.
Jarak tidak hanya fitur diungkapkan oleh demonstratif: mereka mungkin juga menunjukkan variabel seperti apakah rujukan adalah di atau tak terlihat, pada elevasi yang lebih tinggi atau lebih rendah, naik-atau hilir, bergerak menuju atau menjauh dari
pusat deictic, dan lainnya (Diessel 1999: 50). Sistem deictic dari Khasi (Mon-Khmer, India, Diessel 1999: 42) menggabungkan sejumlah kategori ini, menunjukkan, serta gender atau pluralitas rujukan, jarak dengan menghormati untuk pembicara dan pendengar, elevasi, atau visibilitas (lihat Tabel 3.1):


Tabel 3.1. Khasi demonstratif (Diessel 1999: 42).
Demonstratif biasanya juga menyediakan beberapa informasi kualitatif tentang
referen: "mereka dapat menunjukkan apakah acuan ini adalah lokasi, obyek atau
orang, apakah itu hidup atau benda mati, manusia atau non-manusia, perempuan atau laki-laki, satu kesatuan atau satu set, atau dikonseptualisasikan sebagai terbatas atau diperpanjang entitas (Diessel 1999: 50). Dalam Apalai (Carib, Brasil), misalnya, ada dua deictic seri, satu untuk bernyawa, yang lain untuk referen mati, dan setiap
seri membedakan kolektif dari non-kolektif referen:
Bottom of Form



C. KAMUS DAN ENSIKLOPEDIA
Semenjak referensi merupakan bagian penting dari makna kata-kata, akibatnya banyak ahli bahasa ingin membedakan pengetahuan tentang makna sebuah kata berdasarkan denotasinya – sekumpulan hal mengacu hal itu. Perbedaan seperti ini diperlukan untuk sejumlah alasan. Yang paling kuat yaitu terdapat pada pretheoretical intuisi. Sebagai contoh, semua dari kita tahu banyak hal tentang katak, tetapi tampaknya informasi tentang makna katak ini masih salah. Contoh informasi tentang katak yang tampaknya masuk sense untuk mengklaim sebagai bagian dari makna katak termasuk fakta-fakta yang ada pada cerita dongeng terkenal di mana katak adalah pangeran yang disihir kemudian menunggu ciuman putri, bahwa kata katak sering berhubungan dengan penutur bahasa Inggris dengan orang Perancis, atau katak liang bawah tanah Australia dan menyelimuti dirinya dalam kepompong transparan terbuat dari kulitnya  sendiri. Orang Inggris banyak yang tidak mengetahui hal-hal tentang katak, tetapi sama-sama benar mengacu pada katak. Ini berbeda dengan penutur bahasa lainnya, atau dengan pembelajar bahasa Inggris yang belum belajar kata katak, yang mungkin mengetahui hal-hal tentang katak, tapi belum tahu apa kata katak yang dimaksud oleh orang Inggris. Dari sini selanjutnya mulai ada batas antara pengetahuan tentang makna sebuah kata dan pengetahuan faktual informasi tentang kata denotasi itu.

1) PENGETAHUAN TENTANG MAKNA DAN PENGETAHUAN TENTANG FAKTA
Aspek makna yang didapat dari kamus dengan dari ensiklopedia berbeda. Perbedaan di antara keduanya adalah pengetahuan kamus berarti pengetahuan tentang makna sebuah kata yang akan dipahami sebagai sesuatu yang cukup ringkas,  seperti kamus definisi, sedangkan pengetahuan ensiklopedik berarti terdapat fakta tentang benda-benda yang menjadi acuan kata. Kamus pengetahuan adalah pengetahuan tentang makna penting dari sebuah kata yang harus dimiliki  semua penutur, dan kamus yang mana yang harus mewakili secara akurat untuk memaknai kata yang didengar pertama kali. Ensiklopedik pengetahuan, sebaliknya, tidak mementingkan variasi makna kata antar penutur. Ensiklopedik pengetahuan bukan di bidang linguistik: yaitu, ia tidak menentukan atau mengartikan kata itu bedasar perilaku bahasa. Informasi ensiklopedik  yang relevan  terkait dengan kata yang diberikan dalam satu situasi ditentukan oleh prinsip-prinsip pragmatis umum, yang telah dijelaskan dalam sejumlah cara yang berbeda (lihat Bab 4).
Perbedaan antara kamus dan ensiklopedia yaitu ensiklopedik pengetahuan tampaknya cukup independen ketimbang kamus pengetahuan: dengan demikian, saya tidak perlu tahu apa-apa tentang perihal dongeng tadi ataupun tentang katak yang menyimpan air Australia agar dapat menggunakan kata katak. Selanjutnya, diasumsikan bahwa beberapa perbedaan harus realistis psikologis. Jika semua informasi ensiklopedik terkait dengan sebuah kata adalah bagian dari artinya, pasti akan terlalu banyak yang harus diproses otak. Di sisi lain, pengolahan bahasa dengn cara mengambil dari kamus representasi akan lebih ringkas, maka proses otak jauh lebih efektif dan efesien, otak lebih mudah untuk mencapainya (memahami makna kata).
Perbedaan antara kamus dan ensiklopedia tidak terbatas pada ujaran seperti “katak”. Hal ini juga berlaku untuk yang predicating, seperti kata kerja dan kata sifat dalam bahasa Inggris. Jika kita menganggap perbedaan itu penting untuk bisa mengatakan sebuah leksem dengan tepat maka menggunakan kamus jika yang penting hanya potongan-potongan informasi saja maka bisa menggunakan ensiklopedi. Ini merupakan masalah yang sangat akut dimana perlu  alasan praktis (untuk contoh leksikografis) untuk mendeskripsikan dengan tepat sebuah leksem dalam konten semantik. Masalah deskriptif terlibat di sini, yaitu seperti kata kerja pinyi dalam bahasa Warlpiri yang sering bermakna ambigu antara 'memukul'  atau 'membunuh':
(13)     yapa              kapu-rna        pinyi.
   Person           AUX.FUT-1S hit/kill
   Aku akan memukul orang itu/aku akan membunuh orang itu

Setidaknya ada dua cara yang mungkin dapat digunakan untuk menganalisis ambiguitas ini. Pertama adalah bahwa pinyi memiliki dua makna, 'memukul' dan 'membunuh', yang dalam konteks tertentu mungkin hadir secara bersamaan hadir. Yang kedua adalah makna tunggal, yaitu kita hanya bisa mengartikannya sebagai 'memukul / membunuh '. Pada teori ini, kontekslah yang menentukan apakah pinyi berarti memukul atau pembunuhan, seperti konteks dalam menentukan morfem posesif Inggris dalam kalimat 1 di atas. Solusi kedua akan disukai oleh banyak sarjana. Levinson (2000: 20) mengatakan, "dalam menghadapi ujaran linguistik yang secara sistematis tamapak ambigu, kita harus menghibur bahwa analisis ini sebenarnya sederhana, univocal, dengan sense semantik yang luas dapat dibatalkan aturan pembatasan pragmatis umum '. . Pada (13), kita bisa menambahkan makna ujaran 'mati' pada kalimat untuk menghilangkan ambiguitas.)
Apa rincian yang ditetapkan ini menjadi solusi? Bagaimana konteks memberikan kontribusi pada interpretasi kontekstual pinyi? Orang Inggris  biasa mengartikannya seperti kalimat (14) dan (15), yang menunjukkan bahwa pada hewan piaraan seperti anjing biasanya kata pinyi interpretasinya yaitu  'memukul', sedangkan hewan liar seperti kangguru kata pinyi berhubungan dengan 'membunuh':
(14)     maliki              pi-nyi
   Dog                 hit/kill-NPST
   Memukul anjing
(15)     marlu              pi-nyi
   Roo                 hit/kill-NPST
   Membunuh kangguru
Dalam konteks seperti (15), 'membunuh’ lebih tepat: dicatat oleh tanda seru, setelah pernyataan aneh yang diutarakan ke speaker Warlpiri:
(16)     ‘wati-ngki       marlu              pu-ngu           kala     kula    marlu-ju         pali-ja
Man-ERG      roo                  hit/kill-PST     but      NEG   roo-TOP         die-PST
Orang pinyi kangguru tapi kangguru tidak mati
(17)     ‘wati-ngki       ka                    marlu              pi-nyi              marlu-ju
                  Man-REG      AUX                roo                  hit/kill-NPST  roo-TOP
                  Orang pinyi kangguru tapi kangguru masih hidup
Pada pandangan yang ditetapkan tentang makna pinyi, itu merupakan ensiklopedik pengetahuan di mana orang Warlpiri memiliki dunia yang mereka saling paham benar dengan maksud-maksud kalimat di atas. Pada konteks (13), di mana objeknya adalah sama yaitu memukul atau membunuh, namun kedua makna tersebut bukan interpretasi yang sesuai atau kurang spesifik.
      Dukungan lebih lanjut untuk solusi underspecified berasal dari kalimat (18):
(18)     cat                   pi-nyi
                  Cat                  hit/kill-NPST
                  Memukul seekor kucing/membunuh seekor kucing

Kucing hewan peliharaan bagi orang  Warlpiri; sebagai akibatnya (18) merupakan konteks  'netral'  tanpa  perkiraan encyclopaedic yang lebih jauh, yakni kata kerja dapat menyampaikan sense baik. Tetapi sekali kata dimasukkan ke dalam konteks tata bahasa yang berobjek spesifik, maka fakta-fakta encyclopaedik bisa dipergunakan pembaca untuk menentukan maksud.
Membedakan antara kamus leksikal pengetahuan dan ensiklopedia faktual pengetahuan memungkinkan membuat kegiatan mendeskripsi makna menjadi ekonomis. Makna leksikal untuk pinyi tidak perlu detail konteks yang beda seperti yang terjadi pada dua bacaan tadi: ini bukan bagian dari pengetahuan kita tentang makna dari kata kerja. Makna leksikalnya yaitu 'memukul / membunuh', dan pilihan untuk membaca pada berbagai konteks akan mencapai dasar ensiklopedic. Detail dari representasi dari apa yang dinyatakan oleh Warlpiri ketahui, kemudian dapat secara diabaikan oleh ahli bahasa, sebab itu jelas merupakan sbagian dari pekerjaan bidang psikologi.

2) MASALAH PERBEDAAN KAMUS DAN ENSIKLOPEDIA
Meskipun memiliki keunggulan kerja hemat tenaga kerja dalam semantik deskripsisemantik, perbedaan kamus dengan ensiklopedi banyak tidak diterima oleh ahli bahasa. Hal ini terutama karena batasan antara keduanya tampakn sangat permeabel, bahkan hampir tidak ada. Sangat sulit untuk menentukan di mana informasi berhenti menjadi bagian dari makna kata kamus dan mana yang menjadi bagian dari pengetahuan ensiklopedik. Misalnya, pertimbangkanlah mana informasi tentang makna kata “sapi” yang bedasar kamus, dan mana yang merupakan bagian dari ensiklopedik pengetahuan?
·         mereka adalah mamalia
·         mereka melenguh
·         mereka makan rumput
·         mereka berkaki empat 
·         mereka memiliki mata besar
·         mereka tinggal di peternakan dan perusahaan susu 
·         mereka kadang-kadang memakai lonceng sapi
·         mereka sering diternakkan
·         perut mereka memiliki beberapa susu 
·         muda mereka disebut betis di Inggris
·         mereka menginkubasi penyakit sapi gila untuk tiga sampai lima tahun jika terinfeksi
·          mereka mengunyah makanan perlahan-lahan
Kesulitan menyelesaikan pertanyaan semacam ini berasal dari fakta bahwa, makna tergantung pada konteks, seharusnya  setiap bagian informasi dari encyclopaedic  yang terkait dengan kata mungkin menjadi berlatar signifikan (lihat Katz dan Fodor 1963: 178–179 untuk diskusi). Untuk kembali ke contoh katak, perhatikan bahwa aku bisa menggunakan ini dalam konteks di mana dalam kamus bahkan  maknanya tidak ada, dan dua lembar informasi encyclopaedic dipergunakan. Dalam konteks sebuah diskusi tentang seorang Perancis yang beruntung dalam cinta, misalnya, aku mungkin mengucapkan (19):
(19)     Ia mungkin katak tapi tidak ada putri yang menciumnya
Seseorang akan dapat memahami kalimat ini tanpa pernah belajar makna kamus dari kata katak, selama mereka bisa membuat hubungan dengan 'orang Prancis' dan 'pangeran terpesona'.
Semacam ini mungkin menunjukkan bahwa konteks 'Prancis' dan 'pangeran tidur', kenyataan, bagian dari isi kamus untuk katak, dan bukan hanya fakta ensiklopedik tentang katak. Tapi ini pengakuan yang sangat menyamarkan alasan untuk menggambar kamus- ensiklopedi perbedaan di tempat terlebih dulu. Jika kita hanya menetapkan kembali sepotong dari sebelumnya pengetahuan ensiklopedik ke dalam kamus setiap kali menjadi relevan dengan perilaku linguistik dari sebuah kata, kamus mulai mendapatkan jauh lebih besar, dan mencari lebih dan lebih seperti sebuah ensiklopedi. Pengolahan seharusnya benefits amputasi dalam representasi leksikal dengan demikian menghilang. Selain itu, kami dapat menetapkan sepotong inovatif ensiklopedi pengetahuan untuk sebuah kata, yang kemudian dapat merebut kata itu mantan kamus makna. Sebagai contoh, beberapa orang tidak tahu bahwa tomat, ketat berbicara, buah dan sayuran tidak. Hal ini memungkinkan seseorang yang baru saja dibuat sadar ini untuk pedantically menggunakan kalimat seperti (20):
(20)     berikan saya tomat dan beberapa buah lainnya!
Di sini, menurut  pada  encyclopaedic pengetahuan telah memmengaruhi kemungkinan kejadian item leksikal: sedangkan tomat biasanya akan dikategorikan sebagai sayur, di sini itu katagori  buah. Fenomena semacam ini menunjukkan bahwa antara pengetahuan makna dari sebuah kata, dan pengetahuan yang menunjukkan kata tentang benda-benda. Kita tahu berbagai hal tentang kata-kata dan denotasi mereka, dan semakin besar kemungkinan bahwa bagian tertentu dari pengetahuan ini dibagi antara pembicara dan pendengar, semakin besar kemungkinan bahwa itu akan menentukan sifat-sifat linguistik kata. Kalimat (20), misalnya, akan sempurna alami di mulut seorang mahasiswa botani yang hendak melakukan percobaan pada buah unggulan.
Langacker (1987: 159) merangkum kasus ditinggalkannya setiap Divisi ketat antara kamus dan ensiklopedi:
Saya tidak secara khusus mengklaim bahwa semua aspek dari pengetahuan kita tentang entitas memiliki status yang sama, berlatar atau justru sebaliknya. Kumpulan angka spesifikasi dalam konsepsi kami entitas ensiklopedis jelas membentuk gradasi warna dalam hal sentralitas mereka. Mereka hampir tidak dapat dihilangkani bahkan karakterisasi sketchiest, sementara yang lain jadi perifer bahwa mereka memegang makna kecil bahkan untuk deskripsi paling lengkap. Perbedaan semacam ini dapat dibuat dengan baik dalam pendekatan encyclopaedic. Tekanan dari pandangan ini adalah bahwa tidak ada titik tertentu sepanjang gradasi warna sentralitas dapat dipilih non sewenang-wenang untuk melayani sebagai demarkasi, sehingga semua spesifikasi di satu sisi dapat seragam dihubungkan signifikansi linguistik dan semua orang di sisi lain atau berlatar tidak relevan.

3. SIMPULAN
Pertanyaan dasar: arti dan konteks  
Salah satu pertanyaan utama yang harus dijawab oleh teori makna kekhawatiran lingkup arti ungkapan itu: berapa banyak dari efek total ekspresi adalah yang dianggap berasal dari artinya, dan berapa banyak untuk konteks di mana itu terjadi?
Kita dapat membedakan dua jenis penting dari konteks:
• konteks eksternal atau dunia nyata yang ekspresi linguistik merujuk, dan
• konteks interpersonal tindakan linguistik di mana ucapan pun ditempatkan.
Eksternal konteks: akal dan referensi  
Frege dibedakan referensi ekspresi, yang menyangkut entitas yang ekspresi adalah tentang, dari arti, yang merupakan cara kita memahami atau mengerti rujukan nya. Pada tampilan Fregean, dua fitur penting dari akal adalah sebagai berikut:
• akal adalah apa yang 'pegang' pikiran kita ketika kita memahami arti dari sebuah kata;
• arti menentukan referensi; referen kata 'diidentifikasi melalui indera mereka.
Kebenaran memiliki tempat sentral dalam semantik Frege. Untuk mengetahui arti kalimat, untuk Frege, untuk mengetahui bagaimana kalimat dapat diberi nilai sebagai benar atau salah: untuk mengetahui apa kondisinya yang akan membuatnya benar atau salah. Pengetahuan tentang kondisi kebenaran kalimat ini memungkinkan kita untuk menentukan, dengan melihat referen kalimat, apakah dunia sebenarnya adalah cara kalimat itu mewakili, dan dengan demikian apakah kalimat tersebut karena itu benar.
Predikasi dan deixis
Selain mengacu, ekspresi linguistik sering dapat digunakan untuk predikat (properti atribut). Kata kerja, misalnya, bersifat terbatas pada fungsi ini. Ekspresi Deictic (atau dikenal sebagai deictic atau indexical) didefinisikan sebagai mereka yang membuat referensi untuk beberapa aspek dari konteks ucapan sebagai bagian penting dari makna mereka.
Contoh deictic dalam bahasa Inggris termasuk kata-kata saya, Anda dan di sini.
Bahasa-bahasa dunia menunjukkan berbagai macam sistem deictic.  Pengetahuan tentang makna dan pengetahuan tentang fakta-fakta. Karena referensi adalah bagian penting dari makna banyak kata, ahli bahasa banyak yang ingin membedakan pengetahuan yang kita miliki makna sebuah kata (arti) dari pengetahuan yang kita miliki tentang rujukan nya. Ini adalah perbedaan antara leksikal ('kamus') pengetahuan dan faktual ('ensiklopedis') pengetahuan. Perbedaan ini memungkinkan penjelasan ekonomis makna kata, tapi sering dikritik: batas antara kamus dan ensiklopedia tampaknya begitu sangat permeabel untuk menjadi tidak ada....

DAFTAR PUSTAKA
Raimer, Nick. 2010. Introducing Semantics. Cambridge University Press. New York.