Halaman

Sabtu, 19 Januari 2013

KESALEHAN INDIVIDUAL DAN SOSIAL

KESALEHAN INDIVIDUAL DAN KESALEHAN SOSIAL


KESALEHAN INDIVIDUAL DAN KESALEHAN SOSIAL
Oleh diza
Ada orang berpendapat, biarkan saja orang lain berbuat durhaka, maksiyat dan dosa--dosa asal jangan kita. Tidak usah dicegah sebab nanti akan berbalik memusuhi kita dan kita akan dikucilkan, diboikot dll. Mengapa sikap-sikap itu terjadi di masyarakat Indonesia yang penduduknya mayoritas Muslim? Mari kita perhatikan kondisi masyarakat sekarang ini mengacu kepada ramalan Rasulullah saw.
Pembohong dipercaya, Yang jujur dikucilkan
سَيَاْتِي عَلَى النَاسِ سَنَوَاتٍ خِدَاعَاتٍ , يُصَدَّقُ فِيْهَا الْكَاذِبُ, وَيُكَذِبُ فِيْهَا الصَادِقُ, وَيُؤْتَمَنُ فِيْهَا
الخَائِنُ, وَيُخَوَّنُ فِيْهَا اْلأَمِيْنُ, وَيَنْطِقُ فِيْهَا الرُّوَيْبِضَةُ فِى أَمْرِ النَّاسِ
Rasulullah saw bersabda :”Kelak akan datang kepada ummat manusia berbagai penipuan selama bertahun-tahun. Orang yang dusta dikatakan benar (jujur). Orang jujur dikatakan dusta. Pengkhianat dikatakan pemegang amanat. Orang yang dipercaya (al-Amiin) dikatakan pengkhianat. Pada waktu itu akan ada seorang hina dina berbicara tentang urusan manusia (Sunan Ibnu Majah No.4036 dikutip dari Ujian Cobaan Ftnah dalam Da’wah oleh Dr.Abdul Qodir Abu Faris hal.165)
Tak peduli Halal Haram
Akibat kondisi sebagaimana diramalkan Rasulullah saw. itu, akan timbul di dalam memenuhi kepentingan, tidak peduli lagi baik dan buruk, halal atau haram, yang penting tujuan tercapai. Segaa cara boleh-boleh saja. Nabi bersabda :
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى المَرْءُ بِمَا أَخَذَ المَالَ مِنْ حَلاَلٍ اَمْ حَرَامٍ (ح.ر. البخارى)
Rasulullah saw bersabda :” Pasti akan datang suatu zaman kepada manusia, yaitu seseorang di dalam mencari harta tidak peduli lagi halal atau haram.” (HR Bukhari -dikutip dari Majalah Al-Lisaan No. 50 tgl. 5 Agustus 1940)
Sikap Egoisme
Sikap soleh sendiri, baik sendiri, bersih dan suci sendirian, ternyata tidak dibenarkan oleh Islam. Al-Quran dan Hadits memberitahukan kepada kita kesalehan individu harus dibarengi dengan kesalehan sosial. Jika tidak, bahayanya sangat besar bagi keseluruhan komunitas yang lebih besar yaitu bangsa dan Negara. Allah swt. menyatakan :
Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya Al-Anfal/8 : 25)
Hal tersebut dipertegas lagi dalam suatu hadits :
Membiarkan kedurhakaan, bencana akan menimpa yang soleh dan yang durhaka
اِنَّ الله َلاَ يُعَذِبُ الْعَامَّةَ بِعَمَلِ الخَاصَةِ حَتىَ يَرَوْا المُنْكَرَ بَيْنَ ظََهْرَنَيْهِمْ وَهُمْ قَادِرُوْنَ عَلَى اَنْ يُنْكِرُوْا فَلاَ يُنْكِرُوْنَهُ ، فَاِذَا فَعَلُوْا ذَالِكَ عَذَبَ اللهُ العَامَّةَ وَالخَاصَّةَ
Rasulullah saw bersabda :“Susungguhnya Allah tidak menyiksa semua orang akibat perbutan khusus sebagian orang, hingga mereka menyaksikan berbagai kemungkaran di hadapan mereka, mereka tidak mencegahnya padahal mereka mampu melalukan pencegahan itu, maka bila itu dilakukan, siksa Allah akan berlaku bagi semua orang”-Hadits dari ‘Adiy bin ‘Umairah – dikutip dari Terjemah Tafsir Almaraghi jilid 9 halan 158)
Bencana itu ditimpakan di dunia
مَامِنْ رَجُلٍ يَكُوْنُ فِي قَوْمٍ يَعْمَلُ فِيْهِمْ بِالْمَعَاصِيْ يَقْدِرُوْنَ اَنْ يُغَيِّرُوْا عَلَيْهِ ، فَلاَ يُغَيِّرُوْنَ اِلاَّ اَصَابَهُمُ اللهُ بِعِقَابٍ قَبْلَ اَنْ يَمُوْ تُوْا (رواه ابو داود)
Rasulullah bersabda:” Tiada seseorang yang melakukan berbagai kemaksiyatan di tengah-tengah suatu kaum sedang mereka mampu untuk mencegahnya namun tidak melakukannya, melainkan Allah akan menimpakan siksa atas mereka sebelum mereka mati (HR Abu Daud – dikutip dari Ringkasan Tafsir Ibnnu Katsir jilid II halaman 119)
Siksa di akhirat tergantung amal masing-masing
اِذَا اَنْزَلَ اللهُ بِقَوْمٍ عَذَابًا اَصَابَ الْعَذَابَ مَنْ كَانَ فِيْهِمْ ثُمَّ بُعِثُوْا نِيَاتِهِمْ (البخارى ومسلم)
Jikalau Allah swt bekehendak menimpakan siksa-Nya terhadap satu umat, maka siksaan itu menimpa semua orang yang ada di dlaam kaum itu, kemudian di akahirat akan dibalas sesuai dengan alanya masing-masing. (HR Bukhari dan Muslim)
Do’a tidak akan dikabulkan lagi
لَيْسَ مِنْ قَوْمٍ ِ يُعْمَلُ فِيْهِمْ بِمُنْكَرٍ وَيُفْسَدُ فِيْهِمْ بِقَبِيْحٍ فَلَمْ يُغَيِّرُوْهُ وَلَمْ يُنْكِرُوْهُ اِلاَّ حَقَّ
عَلَى اللهِ اَنْ يُعَمَّهُمْ بِالْعُقُوْبَةِ جَمِيْعًا ثُمَّ لَمْ يُسْتَجَابَ لَهُمْ (ح راحمد)
Rasulullah saw bersabda :”Apabila dalam suatu masyarakat merajalela perbuatan kemungkaran dan kedurhakaan/keburukan, tetapi mereka tidak mengubah dan melawannya, maka Allah Swt berhak menimpakan adzab-Nya (siksaan-Nya) kepada semua orang, kemudian do’a mereka tidak akan dikabulkan”. (HSR Ahmad)
Tidak akan ditolong dan dibantu
يَا اَيُّهَالنَاسُ ، اِنَّ اللهَ يَقُوْلُ لَكُمْ : مُرُّوْا بِالْمَعْرُوْفِ وَانْهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ قَبْلَ اَنْ تَدْعُوْا فَلاَ اُجِيْبَ لَكُمْ وَتَسْئَلُوْنِى فَلاَ أُعْطِيْتُمْ وَتَسْتَنْصِرُوْنىِ فَلاَ اَنْصُرْكُمْ
Rasullullah bersabda : "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Alah berfirman kepada kalian : Suruhlah orang-orang melalukan kebaikan dan mencegah kemungkaran, sebelum permintaan (doa) kalian tidak Aku perkenankan, dan permintaan kalian tidak akan Aku penuhi serta kalian minta tolong, tidak akan Aku bantu”.
Ringkasnya
Besar sekali bahaya hanya mementingkan soleh sendiri membiarkan orang lain celaka. Sebab jika kita perhatikan dalil-dalil tersebut di atas, baik dari Al-
Qur’an maupun Hadits, ternyata membiarkan kedurhakaan, membiarkan kemaksiyatan, membiarkan keburukan, padahal kita (baik secara pribadi, Pemimpin masyarakat terkecil RT/RW/Lurah/Kecamatanatau pemimpindengan skala lebih besar, seperti Pemimpin ormas hingga Pemimpin lembaga-lembaga tinggi Negara sampai ke Presiden) mampu mencegahnya namun tidak melakukannya, dampak yang akan kita terima adalah :
(1) Siksaan akan menimpa semua orang. Menimpa orang jahat dan menimpa orang soleh. Menimpa orang yang durhaka dan yang takwa (hadits ke 1).
(2) Siksaan, penderitaan atau kesengsaraan itu atau bencana itu, akan kita rasakan di dunia ini (hadits No 2).
(3) Do’a yang dimohonkan oleh orang-orang soleh, misalnya istighatsah, tidak akan dikabulkan (hadits No. 3).
(4) Bukan hanya do’a yang tidak diijabah, tetapi meminta apapun tidaka akan di penuhi dan minta tolong pun tidak akan ditolong (hadits ke 4)
Perilaku yang hanya ingin benar dan suci serta untung sendiri, dicontohkan oleh almarhum Da’i sejuta ummat, K.H.Zainudin MZ. Kata beliau :”Seperti kita hendak mengambil buah mangga. Lalu kita menaiki pohon mangga itu. Ditengah-tengah pohon, kita disengat semut. Kemudian kita turun lagi. Lalu ambil ijuk atau kayu bakar. Kemudian dibakarlah semua semut yang ada di situ. Semut-semut yang tidak menggigit pada berteriak. ”Saya kan tidak menggigit kamu. Kenapa saya dibakar? Akhirnya api tidak memilih-milih mana semut yang megggiigit dan mana semut yang tidak menggigit. Semua semut mati terbakar.” Itulah perumpamaan siksaan dan bencana. Tidak memililih dan memilah-milah mana yang salah dan mana yang soleh.
Betapa agungnya ajaran Islam. Mencela egoisme hingga ketingkat seperti itu.

Jumat, 18 Januari 2013

STANDAR KESALEHAN

Yang umum, kesalehan seseorang selalu diukur dengan standar ibadah ritualnya. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam justru lebih menekankan aspek kesalehan sosial.
Meskipun yang ideal tentulah yang padu kesalehan ritual dan kesalehan sosialnya sekaligus. Akan tetapi dengan kesalehan sosial-lah Islam akan tampak dan tampil indah. Begitu pula dengannya hiduppun menjadi demikian luar biasa indah.
Mari mencermati beberapa contoh hadits berikut ini.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Muslim yang baik adalah ketika orang lain telah merasa aman dari gangguan lidah dan tangannya” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Demi Allah tidak beriman. Demi Allah tidak beriman. Demi Allah tidak beriman. Para sahabat RA. bertanya: Siapakah gerangan ya Rasulallah? Beliau menjawab: “Dia adalah seseorang yang membuat tetangganya tidak merasa aman dari gangguan dan keburukannya” (HR. Al-Hakim).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Penyantun janda tua dan orang miskin itu nilainya setara dengan orang yang berjihad fi sabilillah, atau seperti orang yang berpuasa tanpa putus dan yang shalat malam tanpa henti” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: “Tidaklah beriman kepadaku seseorang yang tidur malam dengan kenyang, sedangkan ia tahu bahwa, tetangga sebelahnya tengah kelaparan” (HR. At-Thabrani, Al-Bazzar dan lain-lain, serta dihasankan oleh Al-Albani).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Maukah kalian Aku beri tahu tentang amal yang lebih tinggi daripada derajat puasa, shalat dan sedekah?”. Para ahabat menjawab: Tentu saja kami mau. Beliau lalu melanjutkan sabdanya: “Yaitu mendamaikan hubungan sesama. Karena rusaknya hubungan sesama itu ibarat gunting penyukur. Tapi bukan gunting yang mencukur rambut, melainkan yang menggunting agama” (HR. Abu Dawud).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Tidaklah beriman salah seorang dari kamu, sampai ia mampu menyukai untuk saudaranya seperti apa yang ia sukai untuk dirinya sendiri” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Diantara tanda baiknya tingkat dan kualitas keislaman seseorang adalah ketika ia telah mampu meninggalkan hal-hal yang tidak perlu baginya” (HR. At-Tirmidzi).
Oleh:Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri, MA
Untuk mendapat cerita dan tausiah-tausiah  lainya. silahkan gabung ke: Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri

KESEIMBANGAN ANTARA USHALLI DAN USAHA

Di kalangan masyarakat Islam, masih terdapat ketimpangan yang tajam antara kesalehan individual dan kesalehan sosial.

Banyak orang yang saleh secara individual, namun tidak atau kurang saleh secara sosial.

Kesalehan individual menunjuk pada prilaku orang-orang yang lebih menekankan dan mementingkan pelaksanaan ibadah ritual, seperti salat, puasa, zakat, haji, zikir, dan lainnya. Kesalehan individusal sering juga disebut kesalehan ritual.

Disebut kesalehan ritual/individual karena lebih mementingkan untuk melaksanakan ibadah yang bersifat ritual, semata-mata berhubungan dengan Tuhan dan kepentingan diri sendiri, sementara pada saat yang sama tidak memiliki kepekaan sosial dan kurang menerapkan nilai-nilai Islami dalam kehidupan bermasyarakat.

Pendek kata, hanya mementingkan hablum minallah, tidak disertai hablum minan nas.

Sedangkan kesalehan sosial menunjuk pada perilaku orang-orang yang sangat peduli dengan nilai-nilai Islami, yang bersifat sosial.

Bersikap santun pada orang lain, suka menolong, menghargai hak sesama; perhatian pada masalah-masalah umat, memiliki kepedulian sosial, dan seterusnya.

Kesalehan sosial dengan demikian adalah suatu bentuk kesalehan yang tak cuma ditandai oleh pelaksanaan ibadah formil dan ritual semata seperti rukuk dan sujud, puasa dan haji, melainkan juga ditandai oleh seberapa besar seseorang memiliki kepekaan sosial dan berbuat kebaikan untuk orang-orang di sekitarnya.

Sehingga keberadaannya dirasakan sebagai rahmatan lil alamin.

Dalam Islam, sebenarnya kedua corak kesalehan itu merupakan suatu kemestian yang tak dapat ditawar, keduanya harus dimiliki seorang Muslim, baik kesalehan individual maupun kesalehan sosial.

Agama mengajarkan Udkhuluu fis silmi kaffah, bahwa kesalehan dalam Islam mestilah secara total! Saleh secara individual (ritual) juga saleh secara sosial.

Karena ibadah ritual selain bertujuan pengabdian diri pada Allah juga bertujuan untuk mengarahkan dan membentuk karakteristik jiwa yang baik, membentuk kepribadian yang Islami, sehingga punya dampak positif terhadap kehidupan sosial, atau hubungan sesama manusia.

Dalam sebuah hadis dikisahkan, suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita tentang seorang yang rajin salat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi lidahnya menyakiti tetangganya.

Apa komentar Nabi tentang dia, singkat saja. ‘’Ia di neraka,’’ kata Nabi. Hadis ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup. Ibadah ritual mesti dibarengi dengan kesalehan sosial.

Dalam hadis lain juga diceritakan, seorang sahabat pernah memuji kesalehan orang lain di depan Nabi. Nabi bertanya, ‘’Mengapa ia kau sebut sangat saleh?’’ tanya Nabi. Sahabat itu menjawab,

‘’Karena, tiap saya masuk masjid ini dia sudah salat dengan khusyuk dan tiap saya sudah pulang, dia masih saja khusyuk berdoa’’.

‘’Lho, lalu siapa yang memberinya makan dan minum?’’ tanya Nabi lagi. ‘’Kakaknya,’’ sahut sahabat tersebut. Lalu kata Nabi, ‘’Kakaknya itulah yang layak disebut saleh’’.

Sahabat itu terdiam, karena sebuah pengertian baru terbentuk dalam benaknya, bahwa ukuran kesalehan tidak hanya dilihat dari ketaatan dan kesungguhan seseorang dalam menjalankan ibadah ritual, karena ini sifatnya hanya individual dan sebatas hubungan dengan Allah (hablum minallah), tetapi kesalehan juga dilihat dari dampak kongkritnya dalam kehidupan bermasyarakat.

Kesalehan sangat tergantung pada tindakan nyata seseorang, dalam hubungannya dengan sesama manusia (hablum minan nas); juga sangat tergantung pada sikap serta perilakunya terhadap alam, baik hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya agar keseimbangan alam pun tetap terjaga (hablum minal alam).

Agaknya karena pemahaman seperti ini pula, maka ketika seorang Kiyai pernah ditanya santrinya, ‘’Kiyai seperti apa sih yang disebut orang saleh?’’ Kiyai itu menjawab, ‘’Orang yang menyeimbangkan usholi dan usaha’’.

Artinya orang saleh adalah orang yang mampu menyeimbangkan antara ibadah ritual dan perilaku sosialnya. Artinya tidak hanya rajin beribadah, tetapi berperilaku baik pada sesama sebagai manifestasi dari ibadahnya itu.

Islam bukan agama individual. Ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad adalah agama yang dimaksudkan sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin).

Agama yang tidak hanya untuk kepentingan penyembahan dan pengabdian diri pada Allah semata tetapi juga menjadi rahmat bagi semesta alam. Karena itu, dalam Alquran kita jumpai fungsi manusia yang bersifat ganda, bukan hanya sebagai abdi Allah tetapi juga sebagai khalifatullah.

Khalifatullah berarti memegang amanah untuk memelihara, memanfaatkan, melestarikan dan memakmurkan alam semesta ini, karena itu mengandung makna hablum minan nas, wa hablum minal alam.

Bagaimana mungkin kita bisa membuat alam ini lestari, makmur dan penuh kedamaian bila kita tidak memiliki sikap yang baik terhadap sesama manusia maupun pada alam semesta.

Dalam rangka itu, maka hampir tidak ada ibadah yang dianjurkan dalam Islam yang tidak memiliki nilai atau efek sosial, yang dimaksudkan antara lain untuk tahzib, ta’dib dan tazkiyat al-nafs.

Tahzib berarti mengarahkan jiwa, ta’dib berarti membentuk karakteristik jiwa yang baik, serta tazkiyat al-nafs yang berarti untuk penyucian jiwa.

Artinya semua ibadah itu pada akhirnya ditujukan untuk membentuk dan mengarahkan perilaku orang yang melakukan ibadah itu ke arah kebaikan, sehingga pada akhirnya memberi dampak sosial pada masyarakat dan lingkungan sekitarnya.

Dari sini dapat kita simpulkan bahwa kesalehan individual semestinya melahirkan kesalehan sosial. Namun dalam kenyataannya, selama ini terkesan bahwa banyak orang yang ibadah ritualnya baik tetapi ternyata tidak memberi bekas dalam perilaku sosialnya.

Salat, puasa, dan ibadah ritual lainnya jalan terus tetapi perilaku buruk lainnya juga jalan terus, seperti sikap iri, dengki, mengambil hak orang lain, kurang bertanggung jawab pada tugas, kurang amanah, kurupsi, kurang memiliki etos dan semangat kerja, serta sikap yang melukai dan menyakitkan orang lain.

Ia asyik dan rajin beribadah, tetapi lupa bahwa sesungguhnya ibadah itu bukan hanya semata-mata untuk Allah tetapi juga dimaksudkan agar nili-nilai dari ibadah itu menjadi rahmat bagi semesta alam, manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan dan sebagainya.

Begitu pula dalam ibadah puasa. Puasa implikasi sosialnya juga sangat jelas. Puasa dengan segala kesibukan aktivitas ritualnya, diharapkan dapat mendidik manusia mengendalikan gejolak nafsunya, menahan dan mengendalikan dirinya.

Pelajaran menahan diri ini merupakan esensi yang sangat penting bagi pembinaan kesalehan sosial.

Dengan menahan diri dari berbagai kesenangan duniawi (makan, minum dan hubungan seksual) saat berpuasa seseorang akan mampu merasakan derita mereka yang kurang beruntung.

Sehingga wajar sekali jika seseorang, karena satu dan lain hal, tidak mampu melakukan ibadah puasa tersebut, di antaranya dapat diganti dengan fidyah (memberi makan kepada orang miskin). Ini mengajarkan kepada kita untuk memupuk kepekaan dan kesadaran sosial.

Untuk itu marilah tunaikan ibadah Ramadan ini dengan sebaik mungkin seraya menghayati nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, sehingga diharapkan puasa kita dapat meraih fungsinya sebagai sarana untuk mengarahkan (tahzib), membentuk karakteristik jiwa (ta’dib), serta medium latihan untuk berupaya menjadi manusia yang kamil dan paripurna (tadrib), yang pada esensinya bermuara pada tujuan akhir puasa, yaitu takwa.

Takwa dalam pengertian yang lebih umum adalah melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya. Takwa berarti kesalehan total yang mencakup ‘’kesalehan ritual’’ dan ‘’kesalehan sosial’’.

Dan marilah kita terus berusaha, berharap dan berdoa agar derajat takwa yang diraih selama sebulan berpuasa dapat pula kita pertahankan pada bulan-bulan berikutnya. Amin Ya rabbal alamin.***

MASIH BANYAK UMAT ISLAM YANG LEBIH SENANG KESALEHAN PRIBADI DARIPADA SOSIAL

Tulisan kali ini saya tulis ulang dari sebuah buku karya KH. Ali Mustafa Yakub yang berjudul Umat Islam Masih Mementingkan Kesalehan Individual. Umat islam Indonesia saat ini tetap getol beribadah Umroh di bulan Ramadhan sebagai wujud ibadah individual, sementara masih banyak anak yatim dan orang miskin yang perlu di santuni. Sementara fenomena lainnya masih banyaknya masyarakat Indonesia yang berhaji atau naik haji berulang kali.
Menurut beliau, hal itu suatu pemborosan, karena uang ongkos haji itu bisa dimanfaatkan untuk amal lain yang bersifat sosial. Menurut beliau, kalau pahala yang menjadi tolak ukurnya, maka justru menyantuni anak yatim lah yang memiliki nilai lebih tinggi, karena si penyantun itu kelak akan bersama Nabi di surga. Sedangkan masalah naik haji dijanjikan surga saja, tanpa ada penjelasan bahwa di surga ia akan berkumpul dengan Nabi saw.
Dalam Ilmu fiqih, ibadah sosial disebut ibadah muta’addiyah, yaitu ibadah yang manfaatnya dirasakan oleh orang yang melakukan ibadah itu dan orang lain. Infak, sedekah, wakaf adalah ibadah muta’addiyah. Sementara ibadah individual dalam ilmu fiqih disebut ibadah qashirah, yaitu ibadah yang hanya dirasakan manfaatnya oleh pelaku. Nah, haji yang kedua kali, ketiga dan seterusnya serta umrah merupakan ibadah qashirah. Nabi saw. ternyata lebih memilih ibadah muta’addiyah dari pada ibadah qashirah, karena beliau tercatat hanya melakukan haji satu kali dan umrah dua kali.
Menurut beliau, dalil ayat al-Qur’an maupun hadist justru lebih banyak yang menjelaskan soal ibadah sosial dari pada ibadah individual. Seperti yang tampak pada surat al-Muddaststir ayat 42 hingga 44 yang berbunyi : Apakah yang memasukkan kamu ke dalam saqar (neraka) ? Mereka menjawab, Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin.
Jadi ketidakperdulian kita terhadap orang miskin dan kaum dhuafa yang membutuhkan bantuan dapat membawa kita masuk ke neraka Allah, ujar beliau. Bahkan dalam sebuah hadist Qudsi yang diriwayatkan Imam Muslim, saking pentingnya kita menyantuni orang-orang yang perlu santunan, Allah mengatakan, Wahai anak Adam, Aku ini kelaparan, tapi kamu tidak mau memberi makan kepada Ku. Anak Adam menjawab, Bagaimana mungkin aku memberi makan kepada Engkau, padahal Engkau adalah rabbul’alamin. Allah menjawab lagi, Tahukah engkau wahai anak Adam, hamba-Ku yang bernama Fulan bin Fulan kelaparan, kalau engkau memberi makan, engkau akan mendapati-Ku ada di sana.
Beliau juga menghimbau umat untuk melakukan reorientasi atas ibadahnya. Jika selama ini hanya yang individual saja yang dipentingkan, maka perlu diubah ke arah sosial. Jika umat dihadapkan pada pilihan antara ibadah sosial dan individual, maka pilihlah ibadah sosial sebagaimana yang Nabi saw. ontohkan. Umat Islam Indonesia masih cenderung melaksanakan shalat sendiri-sendiri dibanding berjamaah, sehingga tidak heran banyak tempat-tempat ibadah umat Islam yang megah tetapi tidak mampu menyemarakkan syiar Islam, ujar beliau prihatin. Padahal, menurut beliau hampir semua orang sudah mengetahui kualitas berlipat yang dimiliki shalat berjamaah dibanding shalat sendiri.
Demikian ulasan singkat dari Blogger Poetra Borneo yang merupakan kesimpulan dan tulisan ulang tentang Umat Islam Indonesia Masih Mementingkan Kesalehan Individual yang bersumber dari buku karya KH. Ali Mustafa Yakub.

EMPAT KEISTIMEWAAN ALQURAN

Empat Keistimewaan Al-Qur'an Dibanding Kitab Suci Lainnya

Kitab suci Al-Qur'an memiliki keistimewaan-keistimewaan yang dapat dibedakan dari kitab-kitab suci yang diturunkan sebelumnya, di antaranya ialah:
1. Al-Qur'an memuat ringkasan dari ajaran-ajaran ketuhanan yang pernah dimuat kitab-kitab suci sebelumnya seperti Taurat, Zabur, Injil dan lain-lain. Juga ajaran-ajaran dari Tuhan yang berupa wasiat. Al-Qur'an juga mengokohkan perihal kebenaran yang pernah terkandung dalam kitab-kitab suci terdahulu yang berhubungan dengan peribadatan kepada Allah Yang Maha Esa, beriman kepada para rasul, membenarkan adanya balasan pada hari akhir, keharusanmenegakkan hak dan keadilan, berakhlak luhur serta berbudi mulia dan lain-lain. Allah Taala berfirman, “Kami menurunkan kitab Al-Qur'an kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya, untuk membenarkan dan menjaga kitab yang terdahulu sebelumnya. Maka dari itu, putuskanlah hukum di antara sesama mereka menurut apa yang diturunkan oleh Allah. Jangan engkau ikuti nafsu mereka yang membelokkan engkau dari kebenaran yang sudah datang padamu. Untuk masing-masing dari kamu semua Kami tetapkan aturan dan jalan.”(QS. Al-Maidah: 48)
2. Ajaran-ajaran yang termuat dalam Al-Qur'an adalah kalam Allah yang terakhir untuk memberikan petunjuk dan bimbingan yang benar kepada umat manusia, inilah yang dikehendaki oleh Allah Ta'ala supaya tetap sepanjang masa, kekal untuk selama-lamanya. Maka dari itu jagalah kitab Al-Qur'an agar tidak dikotori oleh tangan-tangan yang hendak mengotori kesuciannya, hendak mengubah kemurniannya, hendak mengganti isi yang sebenarnya atau punhendak menyusupkan sesuatu dari luar atau mengurangi kelengkapannya.
Allah Ta'ala berfirman, “Sesungguhnya Al-Qur'an adalah kitab yang mulia. Tidak akan dihinggapi oleh kebatilan (kepalsuan), baik dari hadapan atau pun dari belakangnya. Itulah wahyu yang turun dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Terpuji.” (QS. Fushshilat: 41-42)
Allah Ta'ala berfirman pula, “Sesungguhnya Kami (Allah) menurunkan peringatan (Al-Qur'an) dan sesungguhnya Kami pasti melindunginya (dari kepalsuan).” (QS. Al-Hijr: 9)
Adapun tujuan menjaga dan melindungi Al-Qur'an dari kebatilan, kepalsuan dan pengubahan tidak lain hanya agar supaya hujah Allah akan tetap tegak di hadapan seluruh manusia, sehingga Allah Ta'ala dapat mewarisi bumi ini dan siapa yang ada di atas permukaannya.
3. Kitab Suci Al-Qur'an yang dikehendaki oleh Allah Ta'ala akan kekekalannya, tidak mungkin pada suatu hari nanti akan terjadi bahwa suatu ilmu pengetahuan akan mencapai titik hakikat yang bertentangan dengan hakikat yang tercantum di dalam ayat Al-Qur'an. Sebabnya tidak lain karena Al-Qur'an adalah firman Allah Ta'ala, sedang keadaan yang terjadi di dalam alam semesta ini semuanya merupakan karya Allah Ta'ala pula. Dapat dipastikan bahwa firman dan amal perbuatan Allah tidak mungkin bertentangan antara yang satu dengan yang lain. Bahkan yang dapat terjadi ialah bahwa yang satu akan membenarkan yang lain. Dari sudut inilah, maka kita menyaksikan sendiri betapa banyaknya kebenaran yang ditemukan oleh ilmu pengetahuan modern ternyata sesuai dan cocok dengan apa yang terkandung dalam Al-Qur'an. Jadi apa yang ditemukan adalah memperkokoh dan merealisir kebenaran dari apa yang sudah difirmankan oleh Allah Swt. sendiri.
Dalam hal ini baiklah kita ambil firman-Nya, “Akan Kami (Allah) perlihatkan kepada mereka kelak bukti-bukti kekuasaan Kami disegenap penjuru dunia ini dan bahkan pada diri mereka sendiri, sampai jelas kepada mereka bahwa Al-Qur'an adalah benar. Belum cukupkah bahwa Tuhanmu Maha Menyaksikan segala sesuatu?” (QS. Fushshilat: 53)
4. Allah Swt. berkehendak supaya kalimat-Nya disiarkan dan disampaikan kepada semua akal pikiran dan pendengaran, sehingga menjadi suatu kenyataan dan perbuatan. Kehendak semacam ini tidak mungkin berhasil, kecuali jika kalimat-kalimat itu sendiri benar-benar mudah diingat, dihafal serta dipahami. Oleh karena itu Al-Qur'an sengaja diturunkan oleh Allah Ta'ala dengan suatu gaya bahasa yang istimewa, mudah, tidak sukar bagi siapa pun untuk memahaminya dan tidak sukar pula mengamalkannya, asal disertai dengan keikhlasan hati dan kemauan yang kuat.
Allah Swt. berfirman, “Sungguh Kami (Allah) telah membuat mudah pada Al-Qur'an untuk diingat dan dipahami. Tetapi adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar:17)
Di antara bukti kemudahan bahasa yang digunakan oleh Al-Qur'an ialah banyak sekali orang-orang yang hafal di luar kepala, baik dari kaum lelaki, wanita, anak-anak, orang-orang tua, orang kaya atau miskin dan lain-lain sebagainya. Mereka mengulang-ulangi bacaannya di rumah atau mesjid. Tidak henti-hentinya suara orang-orang yang mencintai Al-Qur'an berkumandang di seluruh penjuru bumi. Sudah barang tentu tidak ada satu kitab pun yang mendapatkan keistimewaan melebihi Al-Qur'an.
Bahkan dengan berbagai keistimewaan di atas, jelas Al-Qur'an tidak ada bandingannya dalam hal pengaruhnya terhadap hati atau kehebatan pimpinan dan cara memberikan petunjuknya, juga tidak dapat dicarikan persamaan dalam hal kandungan serta kemuliaan tujuannya. Oleh sebab itu dapat diyakini bahwa Al-Qur'an adalah mutlak sebaik-baik kitab yang ada.

BERILMU TAPI MASIH BERMAKSIAT

Kita akan melihat perbedaan yang jelas ketika kita membandingkan orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu. Orang yang berilmu bagaimana pun juga jauh lebih baik daripada orang yang tidak berilmu. Karena hanya dengan ilmu-lah manusia mengetahui kebenaran dan mengamalkan kebenaran itu. Imam asy-Syafi’i pernah mengatakan bahwa ilmu mendorong seseorang beramal.

Allah Swt. berfirman, Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (QS. az-Zumar: 9).

Namun, mengapa masih saja ada orang yang berilmu tapi di sisi lain jauh dari agama, gemar berbuat maksiat, dan melakukan perbuatan buruk lainnya? Jawabannya sebagai berikut:

Pertama, menuntut ilmu tanpa diiringi dengan rasa takut kepada Allah. Yang dia harapkan dari ilmu yang didapat hanyalah memperoleh materi yang berlimpah. Sekalipun ilmu dapat memberinya kekayaan, tapi dia menjadikan materi dan dunia ini sebagai tujuan hidupnya. Dalam hal ini Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa mempelajari suatu ilmu, yang dengan ilmu itu semestinya dia mencari wajah Allah, dia tidak mempelajarinya melainkan untuk mendapatkan kekayaan dunia, maka dia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud).

Karena dia menjadikan dunia sebagai tujuan mencium bau surga tak dapat, apalagi masuk ke surga? Ini menjadi pelajaran bagi orang-orang yang sedang menuntut ilmu. Pertama kali yang harus dilakukannya adalah meluruskan niat. Rasa takut kepada Allah memunculkan lima hal: rendah hati, menerima kebenaran darimana pun datangnya, ketenangan, kekhusyuan, dan mengisi waktu dengan hal-hal yang bermanfaat.

Kedua, tidak giat dalam menuntut ilmu. Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim. Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim tidak pernah bosan untuk mendapatkan kebenaran Allah. Dengan menuntut ilmu, seseorang akan memperoleh kebijaksanaan dan kearifan dalam menata hidup ini. Karena sesungguhnya orang-orang yang berilmu (ulama) itu pewaris para Nabi. Para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Mereka hanyalah mewariskan ilmu. Maka barangsiapa yang mengambil (mempelajarinya), berarti mengambil bagian yang banyak.

Orang-orang yang hanya mengharapkan kehidupan dunia, terlihat ketika dia selesai menyelesaikan pendidikannya, dia malas membaca dan menuntut ilmu! Baginya yang penting adalah mendapatkan pekerjaan, walaupun dengan menghalalkan segala cara. Rasulullah Saw. memperingatkan orang ini dengan sabdanya, Dunia ini dibanding akhirat tidak lain hanyalah seperti jika seseorang di antara kalian mencelupkan jarinya ke lautan, maka hendaklah dia melihat air yang menempel di jarinya setelah dia menariknya kembali.” (HR. Muslim).

Ketiga, tidak selaras antara ucapan dan perbuatan. Seseorang yang ingin memahami agamanya harus berusaha sebisa mungkin menyelaraskan antara ucapan dan perbuatannya. Karena Allah sangat murka dengan orang yang pandai bicara namun tidak suka beramal. Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. ash-Shaff: 2-3).

Ketiga poin ini harus dipahami jika seseorang ingin memperoleh pemahaman agama yang baik. Dengan pemahaman itulah kita dapat berjalan di dunia ini dengan bahagia dan selamat hingga ke akhirat.

KESALEHAN SOSIAL DALAM ISLAM

Kesalehan Sosial dalam Islam


Prolog

Salat adalah simbol kesalehan religius dalam Islam. Lima kali dalam sehari kaum muslimin melaksanakannya, nyaris tidak ada satu waktupun yang tertinggal. Setiap minggu pada hari Jum’at, kaum muslimin selalu diingatkan dalam khutbah untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan, berlaku adil dan berbuat kebaikan. Satu bulan penuh di Bulan Ramadhan, kaum muslimin juga melaksanakan puasa, suatu bentuk ritual keagamaan yang penting bagi pembentukan spiritualitas, moralitas dan solidaritas sosial. Bahkan dalam setiap tahun, ribuan kaum muslimin berangkat menunaikan ibadah haji dan umrah ke baitullah. Suatu ritual keagamaan yang tidak saja membutuhkan kearifan spiritualitas dan kekuatan fisik, melainkan juga membutuhkan modal kapital yang banyak.

Idealnya, beberapa bentuk ritual keagamaan di atas, dapat merefleksi dalam berbagai kearifan hidup dan mendorong lahirnya kesalehan sosial. Tetapi, sayangnya bersamaan dengan merebaknya kesadaran keagamaan tersebut, berbagai praktek ‘kemungkaran dan kezaliman’ justru semakin merajarela. Ketidakadilan sosial, ketimpangan ekonomi, kejahatan politik, kesenjangan kaum kaya dan kaum miskin, penindasan dan ekploitasi atas kaum lemah, muncul menjadi pemandangan keseharian di sekitar kita. Kue pembangunan bangsa hanya dinikmati oleh segelintir orang, terutama orang yang punya kekuasaan politik dan punya kekuasaan ekonomi (modal, kapital), sementara masyarakat lemah semakin termiskinkan dan termarjinalkan. Lihat saja, orang beragama Islam yang punya kuasa politik dan kuasa kapital, masih bisa bersenandung dan berpesta makanan lezat, sementara masyarakat miskin di sekelingnya menderita kelaparan; dan sementara mereka yang tergusur rumahnya merasa kedinginan di malam hari dan kepanasan di siang hari.

Oleh karena itu, agama dalam bentuknya yang bersifat ibadah ritual seperti salat, puasa dan haji, tidak bisa lagi memberikan pencerahan dan pembebasan dari segala bentuk kemungkaran dan kezaliman sosial. Akibatnya, agama yang dahulu diturunkan sebagai kritik atas realitas social dan budaya yang timpang, kini telah bergeser menjadi semacam penjaga kursi kekuasaan yang munkar dan zalim. Atau semacam alat pembenaran atas tindak kebencian, kekerasan, intoleransi, dan penindasan baru terhadap sesama manusia.

Timbul pertanyaan, mengapa kesalehan individual tidak mengimbas pada kesalehan sosial? Mengapa makin banyak kegiatan agama dan dakwah tetapi korupsi, kekerasan, penganiayaan dan kejahatan makin bertambah banyak? Bagaimana bentuk hubungan kesalehan individual dengan kesalehan sosial? Berbagai masalah inilah mungkin yang dapat kita diskusikan dalam makalah singkat ini.

Dalam kerangka inilah diperlukan suatu ikhtiar untuk menyegarkan kembali wacana agama yang mencerahkan dan membebaskan, menciptakan beberapa kesalehan sosial, serta mempersempit ruang bagi tumbuh dan berkembangnya kemungkaran dan kezaliman sosial.

Kesalehan Sosial dalam Islam


Agama pada dasarnya merupakan upaya manusia untuk melakukan komunikasi ruhani dengan Tuhan. Lebih dari itu, agama merupakan upaya manusia untuk meneladani sifat atau akhlak Tuhan sesuai kapasitas kemanusiaannya (takhallaqa bi akhlaqillah ala taqathil basyariyah). Konsep agama ini mengandung implikasi ajaran yang lebih jauh bahwa tujuan kehidupan manusia adalah untuk beribadah, mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS. 51: 56) Doktrin bahwa hidup harus diorientasikan untuk pengabdian kepada Allah inilah yang menjadi isue utama manusia.

Tetapi kemudian konsep agama ini memiliki arus balik kepada manusia. Agama tidak hanya berdimensi ritual-vetikal (hablun minallah), melainkan juga mencakup dimensi sosial-horizontal (hablum minan nas). Agama tidak hanya mengurusi persoalan ibadah-ritual (iman) untuk pembentukan kesalehan individual (private morality), akan tetapi yang terpenting dari itu adalah mewujudkan iman tersebut dalam pembentukan kesalehan sosial (social morality)-nya. Sebab, kesalehan individual tidak akan memiliki makna apapun, jika tidak dapat menciptakan kesalehan dalam kenyataan sosial. Itulah makna hakiki dari kehidupan beragama. Karena itu, bisa disebut bahwa, sikap keberagamaan yang tidak melahirkan kesalehan sosial, maka akan kehilangan maknanya yang hakiki.

Islam adalah agama yang selalu mempertautkan antara kedua kesalehan tersebut, yaitu kesalehan yang bersifat religius individual dengan kesalehan yang bersifat sosial. Dalam Islam orang yang telah mencapai puncak kualitas keagamaan (taqwa, al-muttaqîn) digambarkan sebagai, di samping memiliki kesadaran transenden (keimanan), juga memiliki komitmen sosial untuk membangun masyarakat yang saleh (good society) secara sosial, ekonomi, politik, dan kulturalnya (QS. 2: 1-5, 177).

Perhatian Islam terhadap kesalehan religius-individual dan kesalehan sosial di atas, juga dapat ditemukan dalam sejumlah riwayat yang sangat populer, di antaranya disebutkan bahwa “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memulyakan tetangga, tamu, dan hendaklah berkata yang baik-baik atau kalau tidak bisa, hendaklah diam” (HR. Mutafaq Alayh). Dalam sebuah hadits Qudsi juga di sebutkan bahwa “Demi Allah, demi Allah, tidaklah beriman… orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kelakuan buruknya… yakni kejahatan dan sikapnya yang menyakitkan” (HR. Mutafaq Alayh).

Kedua riwayat di atas, menjelaskan ajaran fundamental Islam bahwa keimanan harus memberikan implikasi pada kehidupan praksis sosialnya. Bahkan Islam memandang mereka yang tidak memiliki komitmen dan kepekaan sosial (sense of social crisis) sebagai membohongkan agama (QS. 107: 1-3). Inilah sekali lagi, hakikat makna iman, yaitu memberikan arti terhadap makna sosialnya. Dengan kata lain, iman akan kehilangan arti pentingnya, jika tidak memiliki implikasi dalam kehidupan praksis sosialnya. Itulah sebabnya, dalam Al-Quran iman—tidak kurang dari 36 kali—selalu dikaitkan dengan amal saleh (misalnya: QS. 2: 62; 5: 69; 6: 54; 18: 88; 19: 60, dan ayat lainnya). Kaitan terkuat dari hubungan semantik Al-Quran, mengikat shâlih (kesalehan) dan îmân sebagai kesatuan yang tak terpisahkan. Seperti bayangan mengikuti bentuk bendanya, di mana ada îmân di situ ada shâlihat (amal shaleh).

Dengan demikian, kesalehan sosial dalam Islam sesungguhnya lebih merupakan aktualisasi atau perwujudan iman dalam praksis kehidupan sosial (a faith of social action). Indikator kesalehan sosial tersebut adalah adanya penyempitan ruang gerak bagi tumbuh-berkembangnya kemungkaran dan kezaliman sosial, baik dalam bentuk ketidakadilan politik dan distribusi kekayaan, kesenjangan kelas kaya dan miskin, maupun dalam bentuk penindasan dan eksploitasi manusia atas manusia (exploitation man by human being).

MEMBANGUN KESALEHAN PERSONAL DAN SOSIAL

dakwatuna.com - “Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS. Al-Hajj: 77)Ayat ini merupakan ayat kedua terakhir dari surah yang unik dan istimewa, surah al-Hajj. Dikatakan surah yang unik karena sebagian ulama tafsir menggolongkan surah ini ke dalam kategori surah  Makkiyah, namun sebagian yang lain justru sebaliknya menggolongkannya ke dalam kategori surah Madaniyah. Surah ini juga unik karena di dalamnya ada dua ayat sajdah, yaitu ayat 18 dan ayat ini seperti yang di pahami dari sebuah riwayat dari Uqbah bin Amir:
”Keutamaan surah al-Hajj karena terdapat dua ayat sajdah padanya. Barangsiapa yang tidak bersujud pada keduanya, janganlah ia membaca surah ini.” (HR. at-Tarmidzi dan Abu Dawud)
Ayat ini menggambarkan secara ringkas manhaj Allah SWT untuk manusia dan beban taklif  bagi mereka agar mendapatkan keselamatan dan kemenangan. Ia di awali dengan perintah untuk rukuk dan sujud yang merupakan gambaran gerakan  shalat yang tampak dan jelas, dilanjutkan dengan perintah untuk beribadah secara umum yang meliputi segala gerakan, amal dan pikiran yang di tujukan hanya kepada Allah SWT sehingga segala aktivitas manusia bisa beralih menjadi ibadah bila hati ditujukan hanya kepada Allah SWT bahkan Kenikmatan-kenikmatan dari kelezatan hidup dunia yang dirasakannya dapat bernilai ibadah yang di tulis sebagai  pahala amal baik .
Ayat ini di tutup dengan perintah berbuat baik secara umum dalam hubungan horizontal dengan manusia setelah perintah untuk membangun hubungan vertikal dengan Allah SWT, dalam shalat dan ibadah lainnya. Oleh sebab itu, perintah ibadah dimaksudkan  agar umat Islam selalu terhubung dengan Allah SWT sehingga kehidupan berdiri di atas fondasi yang kukuh dan jalur yang dapat membawa kepada-Nya. Sedangkan perintah untuk melakukan kebaikan, dapat membangkitkan kehidupan yang istiqamah dan kehidupan masyarakat yang penuh dengan suasana kasih sayang.
Perintah ini dipertegas kembali di akhir surah al-Hajj, bahwa umat Islam akan mampu mempertahankan eksistensinya  sebagai umat pilihan dan sebagai  saksi atas umat yang lain manakala mampu membina  hubungan baik dengan Allah SWT dan membina hubungan baik sesama manusia:
”Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (AL-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu, Dialah sebaik-baik pelindung dan Sebaik-baik penolong.” (QS. al-Hajj:78)
Pada ayat di atas, Allah SWT memberi perintah kepada orang beriman agar mampu membangun kesalehan personal dan sosial  secara bersamaan agar senantiasa dalam kemenangan, rukuk dan sujud merupakan cermin tertinggi dari pengabdian seseorang kepada Allah SWT, sedang ”berbuatlah kebaikan” merupakan indikasi kesalehan sosial.
Secara redaksional  dalam urutan perintah ayat di atas, ternyata Allah SWT mendahulukan kesalehan personal dari kesalehan sosial. Ini berarti bahwa untuk membangun kesalehan sosial, harus dimulai dengan kesalehan personal. Atau kesalehan personal akan memberikan kekuatan untuk saleh juga secara sosial. Bahkan seluruh perintah beribadah kepada Allah SWT dimaksudkan agar lahir darinya kesalehan sosial, seperti shalat misalnya, bagaimana ia bisa mencegah dari perbuatan keji dan munkar:
“Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan)  keji dan munkar.” (QS. Al Ankabut : 45)
Kisah yang diabadikan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya bagaimana seorang wanita yang saleh secara personal yang diwujudkan dengan ibadah shalat, puasa dan ibadah mahdhah lainnya namun ternyata Rasulullah SAW menyatakan bahwa ia dalam neraka. Karena ternyata kesalehan itu tidak membawanya menuju kesalehan sosial, bahkan ia cenderung tidak mampu menjaga lisannya dari tidak melukai hati orang lain.
Dalam tataran tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, terdapat beberapa hubungan dan korelasi (munasabah) yang sangat erat antara kesalehan personal dan sosial dengan nilai-nilai mulia dari ajaran Islam. Untuk menggapai predikat ihsan misalnya, seseorang dituntut untuk mampu sholeh secara individu dan sosial yang diwakili dengan shalat malam dan berinfak,
“Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum fajar. Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS. Adz-Dzariyat : 16-19)
Ibnu Asyur mengomentari ayat ini dengan menjelaskan bahwa dua bentuk amal inilah yang sangat berat untuk dilakukan karena: pertama, bangun malam merupakan sesuatu yang sangat berat karena mengganggu istirahat seseorang. Padahal amal itu merupakan amal yang paling utama untuk membangun kesalehan personal seseorang. Kedua, amal yang melibatkan harta terkadang sangat sukar untuk dipenuhi karena manusia pada dasarnya memiliki sifat kikir dengan sangat mencintai hartanya. Di sinilah Allah SWT menguji kesalehan sosial seseorang dengan memintanya untuk mengeluarkan sebagian harta untuk mereka yang membutuhkan.
Nilai lain yang terkait dengan dua kesalehan ini, adalah sebab utama yang paling banyak menjerumuskan seseorang ke dalam neraka karena tidak mampu membentengi diri dengan dua kesalehan tersebut, seperti pernyataan jujur penghuni neraka yang diabadikan Allah SWT dalam firman-Nya,
“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab, ’Kami dahulu tidak termasuk  orang-orang yang mengerjakan shalat dan kami tidak pula memberi makan orang miskin dan adalah kami membicarakan yang batil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya.” (QS. Al-Mudatsir : 42-45)
Resep agar tidak bersifat keluh kesah lagi kikir juga sangat terkait dengan kemampuan seseorang membangun dalam dirinya dua kesalehan tersebut secara simultan. Allah SWT memberi jaminan,
“Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya, dan orang-orang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang miskin yang meminta dan orang yang tidak memiliki apa-apa (yang tidak mau meminta).” (QS. Al-Ma’arij : 22-25)
Berapa banyak dari umat ini yang hanya mementingkan saleh secara sosial tapi lupa akan hubungan baik dengan Allah SWT. Sebaliknya, banyak juga yang saleh secara personal namun ketika berhadapan dengan sosial, ia larut dan tidak mampu membangun kesalehan di tengah-tengah  mereka. Sungguh umat ini sangat membutuhkan kehadiran komunitas yang saleh secara personal, dalam arti mampu menjaga hubungan baik dengan Allah SWT. Saleh secara sosial dalam arti mampu memelihara hubungan baik dan memberi kebaikan dan manfaat yang besar bagi kemanusiaan. (Allahu a’lam)

MENGENTASKAN KEMISKINAN DAN KESALEHAN SOSIAL

Menggelitik, saat membaca sebuah tulisan pembaca di harian Republika yang memaknai kesalehan sosial. Di dalam tulisan tersebut ada kalimat yang menarik bahwa jika kita membantu seorang nenek menyeberangi jalan raya, sesungguhnya perbuatan itu bukan suatu amal saleh, melainkan amal kebaikan. Dengan argumentasi, perbuatan kita akan menjadi saleh dari contoh tersebut bila memahami adakah nenek tersebut akan menjadi lebih sehat ketika sampai di rumah, bagaimanakah nenek tersebut bila tidak ada yang menjaganya, adakah setiap hari dia dapat memperoleh makan, lalu kita memberikan perhatian sepenuhnya untuk nenek tersebut sebagaimana yang kita perhatikan. Artinya, kita tidak sebatas menolong nenek menyeberangi jalan, tetapi memperhatikan lebih untuk membantu kesudahan nenek tersebut dalam menjalani kehidupan di lingkungan keluarganya.
Amal perbuatan kita dapat dikategorikan amal kesalehan yang bersifat sosial bila mengamalkan seperti contoh tersebut. Jadi, kesalehan sosial bermakna sebagai perbuatan yang dapat mendatangkan kebajikan sesudah suatu perbuatan yang bersifat sosial itu dilaksanakan.
Beberapa pendapat mengatakan, saat seseorang bisa mentransformasikan kebaikan dirinya untuk disebar ke orang lain maka dia sedang melakukan kesalehan sosial. Pendapat lain mengatakan, kesalehan sosial berarti saat dia hadir di sebuah kawasan, orang di sekitarnya merasakan manfaat kehadirannya. Penegasan bahwa kesalehan sosial adalah pengejawantahan kesalehan individu.
Momentum Ramadhan, bagi kita selaku pendamping yang memegang nilai-nilai luhur sebuah program, seharusnya tidak hanya dijadikan sebagai ajang membangun kesalehan individu, tetapi juga untuk mengokohkan nilai kesalehan sosial. Mengapa demikian? Perlu diketahui, berdasarkan jumlah penduduk, Indonesia berada pada urutan ke-4 sebagai negara berpenduduk besar setelah RRC, India, dan Amerika Serikat. Dengan jumlah penduduk 241.452.952 jiwa, Indonesia memiliki mobilitas sosial yang cukup tinggi dengan berbagai latar dan setting sosial yang cukup beragam.
Secara sosial, kondisi semacam ini sungguh menguntungkan. Aset kependudukan yang cukup besar membawa kemungkinan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara dengan daya dukung yang amat kuat dalam berbagai ranah. Namun, kenyataan menunjukkan, aset sosial ternyata tidak selalu memberikan efek yang membanggakan. Bahkan, tak jarang membawa beban “peradaban” yang tak pernah kunjung teratasi. Angka kemiskinan semakin merangkak, kasus korupsi pun kian melambung tinggi.
Dalam konteks demikian, ada yang harus kita refresh dalam memaknai Ramadhan, dimana puasa sejatinya tidak hanya mencegah makan dan minum, tetapi juga harus mampu menyentuh nilai keluhuran hakiki. Perut yang kosong dan tenggorokan yang kering sebagai bagian dari aktivitas berpuasa harus mampu menumbuhkan sikap empati terhadap saudara-saudara kita yang selalu didera rasa lapar dan haus. Mereka yang hidup terpuruk dalam kenistaan zaman terus-terusan menjadi beban sosial bangsa. Maka tidak berlebihan apabila kemiskinan di negeri ini bagaikan mata rantai yang (nyaris) tak pernah bisa diputus dari generasi ke generasi.
Maka tidak bisa dipungkiri jika banyak kalangan mengatakan program pengentasan kemiskinan kurang berdampak terhadap penurunan angka kemiskinan. Hal ini karena kita berbuat kebaikan tetapi tidak berdampak positif sesudahnya. Sepertinya telah menolong, tetapi menjadikan yang ditolongnya tak mampu untuk berubah secara positif (baik).
Menanggapai hal tersebut, kita sebagai pendamping, dengan besar hati harus bisa menerima dan tidak  menutup mata atapun berdalih dengan berbagai alasan. Justru seharusnya kita berterimakasih.
Sebagai catatan juga, beberapa program bantuan modal telah digulirkan oleh pemerintah untuk kelompok usaha menengah ke bawah, syaratnya adalah yang menerima modal betul-betul wiraswasta. Modal pun disesuaikan dengan perkembangan usaha. Akan tetapi, program ini banyak tidak mem-follow up (tindak lanjut), seperti, bagaimana manajemen wirausahanya, pemasarannya, kualitas produknya dan sebagainya. Hal ini hanya mengulang modal tanpa memiliki strategi usaha yang dapat berkembang. Walhasil, usaha kelompok menengah ke bawah mengalami stagnasi dan kebingungan.
Dipahami bahwa sesungguhnya konsep keberpihakan kepada masyarakat sudah dilakukan, tetapi tidak berdampak positif kesudahannya; usaha yang dibantu dengan permodalan tidak mengalami kemajuan yang berarti. Pemerintah telah beramal baik secara sosial, tetapi tidak dapat disebut sebagai berbuat kesalehan sosial.
Bukan bermaksud mencela pada kegelapan, akan tetapi mari kita introspeksi diri kita, bagaimana momentum Ramadhan menjadi ajang bagi kita untuk mengokohkan kesalehan personal sekaligus mengasah ketajaman kesalehan sosial kita, sehingga ruh pendidikan kritis yang melekat di program dalam rangka memanusiakan manusia dan mengubah sikap/perilaku bisa terwujud. Wallahualam bi shawab. [Kalbar]
Editor: Nina Firstavina
Sumber http://www.p2kp.org/wartadetil.asp?mid=4997&catid=2&

KESALEHAN INDIVIDUAL DAN SOSIAL

Sering kita dengar dari kalangan Muslim, orang yang  mempertentangkan antara kesalehan individual dan kesalehan sosial.  Mereka memisahkan secara dikotomis  antara dua bentuk kesalehan ini. Seolah-olah dalam Islam memang ada dua macam kesalehan: “kesalehan individual/ ritual” dan “kesalehan sosial”.
Dalam kenyataannya, kita juga melihat masih terdapat ketimpangan yang tajam antara kesalehan individual dan kesalehan sosial. Banyak orang yang saleh secara individual, namun tidak atau kurang saleh secara sosial.
Kesalehan individual kadang disebut juga dengan kesalehan ritual, kenapa? Karena lebih menekankan  dan mementingkan pelaksanaan  ibadah ritual, seperti shalat, puasa, zakat, haji, zikir, dst. Disebut kesalehan individual karena hanya mementingkan ibadah yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan dan kepentingan diri sendiri. Sementara pada saat yang sama mereka tidak memiliki kepekaan sosial, dan kurang menerapkan nilai-nilai islami dalam kehidupan bermasyarakat.  Pendek kata, kesalehan jenis ini ditentukan berdasarkan ukuran serba  formal, yang hanya hanya mementingkan hablum minallah, tidak disertai hablum minan nas.
Sedangkan “Kesalehan Sosial” menunjuk pada perilaku orang-orang yang sangat peduli dengan nilai-nilai islami, yang bersifat sosial. Bersikap santun pada orang lain, suka menolong, sangat concern terhadap masalah-masalah ummat, memperhatikan dan menghargai hak sesama; mampu berpikir berdasarkan perspektif orang lain, mampu berempati, artinya  mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain, dan seterusnya. Kesalehan sosial dengan demikian adalah suatu bentuk kesalehan yang tak cuma ditandai oleh rukuk dan sujud, puasa, haji melainkan juga ditandai oleh seberapa besar seseorang memiliki kepekaan sosial dan berbuat kebaikan untuk orang-orang di sekitarnya. Sehingga orang merasa nyaman, damai, dan tentram berinteraksi dan bekerjasama dan bergaul dengannya.
Dalam Islam, sebenarnya kedua corak kesalehan itu merupakan suatu kemestian yang tak usah ditawar. Keduanya harus dimiliki seorang Muslim, baik kesalehan individual maupun kesalehan sosial. Agama mengajarkan “Udkhuluu fis silmi kaffah !” bahwa kesalehan dalam Islam mestilah secara total !”. Ya shaleh secara individual/ritual juga saleh secara sosial. Karena ibadah ritual selain bertujuan pengabdian diri pada Allah juga bertujuan membentuk kepribadian yang islami sehingga punya dampak positif terhadap kehidupan sosial, atau hubungan sesama manusia.
Karena itu, kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur dari seperti ibadah ritualnya shalat dan puasanyanya, tetapi juga dilihat dari output sosialnya/ nilai-nilai dan perilaku sosialnya: berupa kasih sayang pada sesama, sikap demokratis, menghargai hak orang lain, cinta kasih, penuh kesantunan, harmonis  dengan orang lain, memberi dan membantu sesama.
Dalam sebuah hadis dikisahkan, bahwa suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita tentang seorang yang rajin shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi lidahnya menyakiti tetangganya. Apa komentar nabi tentang dia, singkat saja, “Ia di neraka.” Kata nabi. Hadis ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup. Ibadah ritual mesti dibarengi dengan kesalehan sosial.
Dalam hadis lain diceritakan, bahwa seorang sahabat pernah memuji kesalehan orang lain di depan Nabi. Nabi bertanya, “Mengapa ia kau sebut sangat saleh?" tanya Nabi. Sahabat itu menjawab, "Soalnya, tiap saya masuk masjid ini dia sudah salat dengan khusyuk dan tiap saya sudah pulang, dia masih saja khusyuk berdoa."  "Lho, lalu siapa yang memberinya makan dan minum?" tanya Nabi lagi. "Kakaknya," sahut sahabat tersebut. Lalu kata Nabi, "Kakaknya itulah yang layak disebut saleh." Sahabat itu diam.
Kenapa? Karena sebuah pengertian baru terbentuk dalam benaknya, bahwa ukuran kesalehan, dengan begitu, menjadi lebih jelas. Kesalehan tidak hanya dilihat dari ketaatan dan kesungguhan seseorang dalam menjalankan ibadah ritual, karena ini sifatnya hanya individual dan sebatas hubungan dengan Allah (Hablum minallah) tetapi kesalehan juga dilihat dari dampak kongkretnya dalam kehidupan bermasyarakat. Kesalehan sangat tergantung pada  tindakan nyata seseorang, dalam hubungannya dengan sesama manusia (Hablum minan nas); juga sangat tergantung pada sikap serta prilakunya terhadap alam, baik hewan, tumbuh-tumbuhan dsb (hablum minal alam).
Karena itu kesalehan mencakup hubungan baik dengan Allah (hablum minallah), hubungan baik dengan sesama manusia (hablum minan nas), dan hubungan baik dengan alam (hablum minal alam).
Agaknya karena pemahaman seperti ini pula, maka ketika seorang Kiyai pernah ditanya santrinya, “Kiyai seperti apa sih yang disebut orang shaleh”? Kiyai itu menjawab: yaitu "Orang yang menyeimbangkan ushali dan usaha, " artinya orang saleh adalah orang yang mampu menyeimbangkan antara ibadah ritual dan prilaku sosialnya. Artinya tidak hanya rajin beribadah, tetapi berprilaku baik pada sesama sebagai manifestasi dari ibadahnya itu.
Dengan demikian, Islam bukan agama individual. Ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad adalah agama yang dimaksudkan sebagai rahmat bagi semesta alam (Rahmatan lil alamin). Agama yang tidak hanya untuk kepentingan penyembahan dan pengabdian diri pada Allah semata tetapi juga menjadi rahmat bagi semesta alam. Karena itu, dalam al-Quran kita jumpai fungsi manusia itu bersifat ganda, bukan hanya sebagai abdi Allah tetapi juga sebagai khalifatullah. Khalifatullah berarti memegang amanah untuk memelihara, memanfaatkan, melestarikan dan memakmurkan alam semesta ini, karena itu mengandung makna hablum minan nas wa Hablum minal alam.
        Bagaimana mungkin kita bisa membuat alam ini lestari, makmur dan penuh kedamain bila kita tidak memiliki sikap yang baik terhadap sesama manusia maupun pada alam semesta. Dalam rangka itu, maka hampir tidak ada ibadah yang dianjurkan dalam Islam yang tidak memiliki nilai atau efek sosial, yang dimaksudkan untuk tahzib, ta’dib dan tazkiyat al-nafs. Tahzib berarti  mengarahkan jiwa, ta’dib berarti membentuk karakteristik jiwa yang baik, serta tazkiyat al-nafs yang berarti untuk pensucian jiwa. Artinya semua ibadah itu pada akhirnya ditujukan untuk membentuk prilaku yang melakukan ibadah itu, yang ujung2nya akan memberi dampak sosial pada lingkungan sekitarnya.
      Kita lihat saja shalat, misalnya. Shalat, dimulai dengan takbir "Allahu Akbar". Ini menunjukkan bahwa hidup seorang Muslim itu didasarkan kepada pengabdian kepada Allah Yang Maha Besar. Setelah melakukan dialog dengan Allah, meminta petunjuk jalan yang benar, shalat ditutup dengan salam, ke kanan dan ke kiri, yang berarti diharapkan dapat memberikan efek sosial yang tinggi, menyebarkan perdamaian dan keselamatan (Salam) bagi semua pihak, baik yang di kiri maupun yang di kanan. Karena itu shalat mestinya tanha anil fahsya’i wal munkar. Dengan demikian kalau ada orang yang rajin shalat, tapi masih suka menyakiti orang lain, maka shalatnya patut dipertanyakan. Iya nggak?
         Begitu juga, puasa implikasi sosialnya juga sangat jelas, diharapkan dengan menahan diri dari berbagai kesenangan duniawi itu (makan, minum dan hubungan seksual), seseorang akan mampu merasakan perasaan mereka yang kurang beruntung, mampu bersimpati terhadap derita orang lain.  Sehingga wajar sekali jika seseorang, karane satu dan lain hal, tidak mampu melakukan ibadah puasa tersebut, harus menggantinya dengan "fidyah" (memberi makan kepada orang miskin). Ini mengajarkan kepada kita untuk memupuk kepekaan dan kesadaran sosial.
       Puasa memiliki multifungsi. Setidaknya ada tiga fungsi puasa: tazhib, ta’dib dan tadrib. Puasa adalah sarana untuk mengarahkan (tahzib), membentuk karakteristik jiwa (ta’dib), serta medium latihan untuk berupaya menjadi manusia yang kamil dan paripurna (tadrib), yang pada esensinya bermuara pada tujuan akhir puasa: takwa. La’allakum tattakun, Takwa dalam pengertian yang lebih umum adalah melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya. Takwa dan kesalehan sosial ibarat dua sisi dari satu mata uang, satu sama lain tak bisa dipisahkan, yang menyatu secara padu.
Ibadah haji, sebagai rukun Islam yang kelima, di samping menekankan nilai ritualnya, juga sarat dengan pesan-pesan sosial kemanusiaan, politik, hubungan internasional, perekonomian, dll. Nilai kesalehan sosial di balik peristiwa pengurbanan Ismail, misalnya mestinya bisa dijadikan teladan bagaimana seharusnya kita mau berkorban untuk membangun kemaslahatan bersama.
          Dari sini dapat kita simpulkan bahwa kesalehan individual semestinya melahirkan kesalehan sosial. Namun dalam kenyataannya, selama ini terkesan bahwa banyak orang yang ibadah mahdhahnya (ibadah ritualnya) baik tetapi ternyata tidak memberi bekas dalam perilaku sosialnya. Sholat jalan terus tetapi perilaku buruk lainnya juga jalan terus, sikap iri, dengki, kurang bertanggung jawab pada tugas, kurang amanah, kurang meiliki etos dan semangat kerja, serta sikap yang melukai dan menyakitkan orang lain.
    Dr. Komarudin Hidayat, Rektor UIN Jakarta, punya tamsil tentang ini. Dia mengibaratkan simbol keagamaan seperti shalat, puasa, haji, zakat dan ibadah lainnya sebagai sangkar burung, sementara esensi simbol dan ibadah itu sendiri sebagai burungnya. Mana sesungguhnya yang lebih penting, burung itu sendiri atau sangkarnya? Saat ini, menurutnya, kita lebih senang mengelus-elus sangkarnya ketimbang memikirkan burungnya. Karena keenakan ngurusi sangkarnya, kita pun lupa isinya.
Kita asyik dan rajin beribadah, tetapi lupa bahwa sesungguhnya ibadah itu bukan hanya semata-mata untuk Allah tetapi juga dimaksudkan agar nili-nilai dari ibadah itu menjadi rahmat bagi semesta alam, manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan dan sebagainya.
          Dalam Kesalehan sosial juga tercakup kesalehan profesional. Kesalehan profesional menunjukkan sejauhmana perintah agama kita patuhi dalam kegiatan profesional kita, selaku pimpinan: ketua jurusan, dosen, pegawai, dan sebagainya. Artinya, nilai-nilai ibadah ritual kita, mesti pula termanifestasi dalam sikap, prilaku dan kinerja kita dalam menjalankan tugas-tugas akademik, maupun manejerial. Saling menghargai sesama, menjalin kerjasama yang baik, memiliki etos dan semangat kerja, kedisiplinan serta tanggung jawab pada tugas. Karena semua ini akan diperhitungkan. Kullukum ra’in wa kullukum masulun an raiyatihi.
            Selain Kesalehan sosial kita juga mendengar istilah kesalehan terhadap alam. ”Bagi kalangan Muslim, cukup banyak perintah tentang bagaimana memelihara lingkungan dan alam sekitar untuk kebaikan manusia itu sendiri. Salah satu kebaikan itu adalah agar kita bisa mewariskan kepada generasi yang akan datang kehidupan yang lebih damai, dan lingkungan yang makin nyaman untuk ditinggali,”. Jadi bila sekarang kita gelisah karena polusi, banjir, karena global warming, ini sesungguhnya adalah dampak dari ketidak salehan terhadap alam, disebabkan karena tindakan semena-mena terhadap alam. Zaharal fasadu fil barri  wal bahri bima kasabat aidinas
            Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama, seperti halnya juga Islam. Bila kita cuma puasa, shalat, baca al-quran, banyak berzikir, namun dalam sikap keseharian masih suka memfitnah, menebarkan kebencian, tidak amanah dan bertanggung jawab pada tugas, saya kira belum layak disebut orang yang beragama dengan baik. Ya seperti itu tadi, dia baru punya sangkarnya, tidak memiliki burungnya.
        Tetapi, bila saat bersamaan kita menjaga integritas diri, menjaga kesalehan sosial, kesalehan profesional dan kesalehan terhadap alam, maka itulah sesungghnya orang beragama.
       Terkait dengan kehidupan kampus, dapat kita tegaskan bahwa Universitas Islam Madani, yang berarti menjunjung tinggi peradaban dan nilai-nilai Islam, hanya akan dapat terwujud bila civitas akademinya memiliki kesalehan sosial, kesalehan profesional serta kesalehan terhadap alam. Karena itu sesuai dengan Motto UIN “ change toward advance”. Mari sama-sama kita mengubah perilaku keagamaan kita, dari perilaku individualism menuju sosialism . Dari simbol ke esensi. Dari sangkar ke burung. Dari kulit ke isi.
            Sehingga dengan demikian kita semua berjalan menuju ridho ilahi. Hidup hanya sekali, mari kita lakukan segala aktivitas untuk menuju ridho ilahi.