Written by Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si |
Friday, 10 June 2011 02:25 |
(Materi Kuliah Metodologi Penelitian PPs. UIN Maliki Malang)
A. Pengantar
Pengumpulan data merupakan salah satu tahapan sangat penting dalam penelitian. Teknik pengumpulan data yang benar akan menghasilkan data yang memiliki kredibilitas tinggi, dan sebaliknya. Oleh karena itu, tahap ini tidak boleh salah dan harus dilakukan dengan cermat sesuai prosedur dan ciri-ciri penelitian kualitatif (sebagaimana telah dibahas pada materi sebelumnya). Sebab, kesalahan atau ketidaksempurnaan dalam metode pengumpulan data akan berakibat fatal, yakni berupa data yang tidak credible, sehingga hasil penelitiannya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Hasil penelitian demikian sangat berbahaya, lebih-lebih jika dipakai sebagai dasar pertimbangan untuk mengambil kebijakan publik.
Misalnya, jika peneliti ingin memperoleh informasi mengenai persepsi guru terhadap kurikulum yang baru, maka teknik yang dipakai ialah wawancara, bukan observasi. Sedangkan jika peneliti ingin mengetahui bagaimana guru menciptakan suasana kelas yang hidup, maka teknik yang dipakai adalah observasi. Begitu juga jika, ingin diketahui mengenai kompetensi siswa dalam matapelajaran tertentu, maka teknik yang dipakai adalah tes, atau bisa juga dokumen berupa hasil ujian. Dengan demikian, informasi yang ingin diperoleh menentukan jenis teknik yang dipakai (materials determine a means). Itu pun masih ditambah dengan kecakapan peneliti menggunakan teknik-teknik tersebut. Bisa saja terjadi karena belum berpegalaman atau belum memiliki pengetahuan yang memadai, peneliti tidak berhasil menggali informasi yang dalam, sebagaimana karakteristik data dalam penelitian kualitatif, karena kurang cakap menggunakan teknik tersebut, walaupun teknik yang dipilih sudah tepat. Solusinya terus belajar dan membaca hasil-hasil penelitian sebelumnya yang sejenis akan sangat membantu menambah kecakapan peneliti.
Penggunaan istilah ‘data’ sebenarnya meminjam istilah yang lazim dipakai dalam metode penelitian kuantitatif yang biasanya berupa tabel angka. Namun, di dalam metode penelitian kualitatif yang dimaksudkan dengan data adalah segala informasi baik lisan maupun tulis, bahkan bisa berupa gambar atau foto, yang berkontribusi untuk menjawab masalah penelitian sebagaimana dinyatakan di dalam rumusan masalah atau fokus penelitian.
Di dalam metode penelitian kualitatif, lazimnya data dikumpulkan dengan beberapa teknik pengumpulan data kualitatif, yaitu; 1). wawancara, 2). observasi, 3). dokumentasi, dan 4). diskusi terfokus (Focus Group Discussion). Sebelum masing-masing teknik tersebut diuraikan secara rinci, perlu ditegaskan di sini bahwa hal sangat penting yang harus dipahami oleh setiap peneliti adalah alasan mengapa masing-masing teknik tersebut dipakai, untuk memperoleh informasi apa, dan pada bagian fokus masalah mana yang memerlukan teknik wawancara, mana yang memerlukan teknik observasi, mana yang harus kedua-duanya dilakukan, dst. Pilihan teknik sangat tergantung pada jenis informasi yang diperoleh.
B. Penjelasan ringkas masing-masing teknik
1. Wawancara
Wawancara ialah proses komunikasi atau interaksi untuk mengumpulkan informasi dengan cara tanya jawab antara peneliti dengan informan atau subjek penelitian. Dengan kemajuan teknologi informasi seperti saat ini, wawancara bisa saja dilakukan tanpa tatap muka, yakni melalui media telekomunikasi. Pada hakikatnya wawancara merupakan kegiatan untuk memperoleh informasi secara mendalam tentang sebuah isu atau tema yang diangkat dalam penelitian. Atau, merupakan proses pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang telah diperoleh lewat teknik yang lain sebelumnya.
Karena merupakan proses pembuktian, maka bisa saja hasil wawancara sesuai atau berbeda dengan informasi yang telah diperoleh sebelumnya.
Agar wawancara efektif, maka terdapat berapa tahapan yang harus dilalui, yakni ; 1). mengenalkan diri, 2). menjelaskan maksud kedatangan, 3). menjelaskan materi wawancara, dan 4). mengajukan pertanyaan (Yunus, 2010: 358).
Selain itu, agar informan dapat menyampaikan informasi yang komprehensif sebagaimana diharapkan peneliti, maka berdasarkan pengalaman wawancara yang penulis lakukan terdapat beberapa kiat sebagai berikut; 1). ciptakan suasana wawancara yang kondusif dan tidak tegang, 2). cari waktu dan tempat yang telah disepakati dengan informan, 3). mulai pertanyaan dari hal-hal sederhana hingga ke yang serius, 4). bersikap hormat dan ramah terhadap informan, 5). tidak menyangkal informasi yang diberikan informan, 6). tidak menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi yang tidak ada hubungannya dengan masalah/tema penelitian, 7). tidak bersifat menggurui terhadap informan, 8). tidak menanyakan hal-hal yang membuat informan tersinggung atau marah, dan 9). sebaiknya dilakukan secara sendiri, 10) ucapkan terima kasih setelah wawancara selesai dan minta disediakan waktu lagi jika ada informasi yang belum lengkap.
Setidaknya, terdapat dua jenis wawancara, yakni: 1). wawancara mendalam (in-depth interview), di mana peneliti menggali informasi secara mendalam dengan cara terlibat langsung dengan kehidupan informan dan bertanya jawab secara bebas tanpa pedoman pertanyaan yang disiapkan sebelumnya sehingga suasananya hidup, dan dilakukan berkali-kali; 2). wawancara terarah (guided interview) di mana peneliti menanyakan kepada informan hal-hal yang telah disiapkan sebelumnya. Berbeda dengan wawancara mendalam, wawancara terarah memiliki kelemahan, yakni suasana tidak hidup, karena peneliti terikat dengan pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya. Sering terjadi pewawancara atau peneliti lebih memperhatikan daftar pertanyaan yang diajukan daripada bertatap muka dengan informan, sehingga suasana terasa kaku.
Dalam praktik sering juga terjadi jawaban informan tidak jelas atau kurang memuaskan. Jika ini terjadi, maka peneliti bisa mengajukan pertanyaan lagi secara lebih spesifik. Selain kurang jelas, ditemui pula informan menjawab “tidak tahu”. Menurut Singarimbun dan Sofian Effendi (1989: 198-199), jika terjadi jawaban “tidak tahu”, maka peneliti harus berhati-hati dan tidak lekas-lekas pindah ke pertanyaan lain. Sebab, makna “tidak tahu” mengandung beberapa arti, yaitu:
1) informan memang tidak mengerti pertanyaan peneliti, sehingga untuk menghindari jawaban “tidak mengerti", dia menjawab “tidak tahu”.
2) informan sebenarnya sedang berpikir memberikan jawaban, tetapi karena suasana tidak nyaman dia menjawab “tidak tahu”.
3) pertanyaannya bersifat personal yang mengganggu privasi informan, sehingga jawaban “tidak tahu’ dianggap lebih aman
4) informan memang betul-betul tidak tahu jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Karena itu, jawaban “tidak tahu" merupakan jawaban sebagai data penelitian yang benar dan sungguh yang perlu dipertimbangkan oleh peneliti.
2. Observasi
Selain wawancara, observasi juga merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang sangat lazim dalam metode penelitian kualitatif. Observasi hakikatnya merupakan kegiatan dengan menggunakan pancaindera, bisa penglihatan, penciuman, pendengaran, untuk memperoleh informasi yang diperlukan untuk menjawab masalah penelitian. Hasil observasi berupa aktivitas, kejadian, peristiwa, objek, kondisi atau suasana tertentu, dan perasaan emosi seseorang. Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran riil suatu peristiwa atau kejadian untuk menjawab pertanyaan penelitian.
Bungin (2007: 115-117) mengemukakan beberapa bentuk observasi, yaitu: 1). Observasi partisipasi, 2). observasi tidak terstruktur, dan 3). observasi kelompok. Berikut penjelasannya:
1) Observasi partisipasi adalah (participant observation) adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan di mana peneliti terlibat dalam keseharian informan.
2) Observasi tidak terstruktur ialah pengamatan yang dilakukan tanpa menggunakan pedoman observasi, sehingga peneliti mengembangkan pengamatannya berdasarkan perkembangan yang terjadi di lapangan.
3) Observasi kelompok ialah pengamatan yang dilakukan oleh sekelompok tim peneliti terhadap sebuah isu yang diangkat menjadi objek penelitian.
3. Dokumen
Selain melalui wawancara dan observasi, informasi juga bisa diperoleh lewat fakta yang tersimpan dalam bentuk surat, catatan harian, arsip foto, hasil rapat, cenderamata, jurnal kegiatan dan sebagainya. Data berupa dokumen seperti ini bisa dipakai untuk menggali infromasi yang terjadi di masa silam. Peneliti perlu memiliki kepekaan teoretik untuk memaknai semua dokumen tersebut sehingga tidak sekadar barang yang tidak bermakna.
4. Focus Group Discussion
Metode terakhir untuk mengumpulkan data ialah lewat Diskusi terpusat (Focus Group Discussion), yaitu upaya menemukan makna sebuah isu oleh sekelompok orang lewat diskusi untuk menghindari diri pemaknaan yang salah oleh seorang peneliti. Misalnya, sekelompok peneliti mendiskusikan hasil UN 2011 di mana nilai rata-rata siswa pada matapelajaran bahasa Indonesia rendah. Untuk menghindari pemaknaan secara subjektif oleh seorang peneliti, maka dibentuk kelompok diskusi terdiri atas beberapa orang peneliti. Dengan beberapa orang mengkaji sebuah isu diharapkan akan diperoleh hasil pemaknaan yang lebih objektif.
----Selamat Mencoba ---
Malang, 9 Juni, 2011
Daftar Pustaka
Bungin, M. Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Creswell, John W., Vicki L. Plano Clark. 2007. Designing and Conducting Mixed Methods Research.Thousand Oaks: SAGE Publications
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi (ed.). 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3S
Yunus, Hadi Sabari. 2010. Metodologi Penelitian Wilayah Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
|
Kebaikan adalah bagian dari nilai universal, marilah kita budayakan berbuat kebaikan dalam setiap langkah dan derap kehidupan kita. Saudaraku... Selamat menikmati buah dari kebaikan...
Halaman
▼
Kamis, 27 September 2012
METODE PENGUMPULAN DATA PENELITIAN KUALITATIF
PENELITIAN KUALITATIF
KULIAH 1
METODE PENELITIAN
KUALITATIF
Penulis : Dr. Uhar Suharsaputra
1. Pendahuluan
Setiap kegiatan penelitian sejak awal sudah harus
ditentukan dengan jelas pendekatan/desain penelitian apa yang akan diterapkan,
hal ini dimaksudkan agar penelitian tersebut dapat benar-benar mempunyai landasan
kokoh dilihat dari sudut metodologi penelitian, disamping pemahaman hasil
penelitian yang akan lebih proporsional apabila pembaca mengetahui
pendekatan yang diterapkan.
Obyek dan masalah penelitian memang mempengaruhi
pertimbangan-pertimbangan mengenai pendekatan, desain ataupun metode penelitian
yang akan diterapkan. Tidak semua obyek dan masalah penelitian bisa didekati
dengan pendekatan tunggal, sehingga diperlukan pemahaman pendekatan lain yang
berbeda agar begitu obyek dan masalah yang akan diteliti tidak pas atau kurang
sempurna dengan satu pendekatan maka pendekatan lain dapat digunakan, atau
bahkan mungkin menggabungkannya.
Secara umum pendekatan penelitian atau sering juga
disebut paradigma
penelitian yang cukup dominan adalah paradigma penelitian kuantitatif dan
penelitian kualitatif. Dari segi
peristilahan para akhli nampak menggunakan istilah atau penamaan yang
berbeda-beda meskipun mengacu pada hal yang sama, untuk itu guna menghindari
kekaburan dalam memahami kedua pendekatan ini, berikut akan dikemukakan
penamaan yang dipakai
para akhli dalam penyebutan kedua istilah tersebut seperti terlihat
dalam tabel 1 berikut ini :
Tabel
1.
Quantitative and Qualitative Research :
Alternative Labels
Quantitative
|
Qualitative
|
Authors
|
Rasionallistic
|
Naturalistic
|
Guba &Lincoln (1982)
|
Inquiry from the Outside
|
Inquiry from the inside
|
Evered & Louis (1981)
|
functionalist
|
Interpretative
|
Burrel & Morgan (1979)
|
Positivist
|
Constructivist
|
Guba (1990)
|
Positivist
|
Naturalistic-ethnographic
|
Hoshmand
(1989)
|
Sumber : Julia
Brannen (Ed): 1992 : 58)
Sementara itu Noeng Muhadjir (1994 : 12)
mengemukakan beberapa nama yang dipergunakan para ahli tentang metodologi penelitian kualitatif yaitu: grounded
research, ethnometodologi, paradigma naturalistik, interaksi simbolik,
semiotik, heuristik, hermeneutik, atau holistik . perbedaan tersebut
dimungkinkan karena perbedaan titik tekan dalam melihat permasalahan serta
latar brlakang disiplin ilmunya, istilah grounded research lebih berkembang dilingkungan sosiologi dengan tokohnya
Strauss dan Glaser (untuk
di Indonesia istilah ini diperkenalkan/dipopulerkan oleh Stuart A. Schleigel
dari Universitas California yang pernah menjadi tenaga ahli pada Pusat Latihan
Penelitian Ilmu-ilmu soaial Banda Aceh
pada tahun 1970-an),
ethnometodologi lebih berkembang di lingkungan antropologi dan
ditunjang antara lain oleh Bogdan ,
interaksi simbolik lebih berpengaruh di pantai barat Amerika Serikat dikembangkan
oleh Blumer, Paradigma naturalistik dikembangkan antara lain oleh Guba yang
pada awalnya memperoleh pendidikan dalam fisika, matematika dan penelitian kuantitatif.
Secara lebih rinci Patton (1990 : 88)
mengemukakan-penamaan- macam-macam penelitian kualitatif (Qualitative inquiry)
berdasarkan tradisi teoritisnya yang
diuraikan dalam bentuk tabel sebagai berikut :
Tabel
1.
variety
in qualitative Inquiry : Theoritical traditions
No
|
Perspektif
|
Akar
Ilmu
|
Pertanyaan
Utama
|
1
|
Ethnography
|
Anthropology
|
Apa kebudayaan masyarakat ini ?
|
2
|
Phenomenology
|
Philosophy
|
Apa struktur dan esensi pengalaman atas gejala-gejala ini bagi
masyarakat tersebut?
|
3
|
Heuristics
|
Psikologi Humanistik
|
Apa pengalaman saya mengenai gejala-gejala ini dan apa pengalaman
essensial bagi yang lain yang juga mengalami gejala ini secara intens ?
|
4
|
Ethnomethodology
|
Sosiology
|
Bagaimana orang memahami kegiatan sehari-hari mereka sehingga
berprilaku dengan cara yang dapat diterima secara sosial ?
|
5
|
Symbolic interactionism
|
Psikologi sosial
|
Apa simbul dan pemahaman umum yang telah muncul dan memberikan makna
bagi interaksi sosial masyarakat ?
|
6
|
Echological Psychology
|
Psikologi lingkungan
|
Bagaimana orang-orang mencapai
tujuan mereka melalui prilaku tertentu dalam lingkungan yang tertentu ?
|
7
|
System theory
|
interdisipliner
|
Bagaimana dan kenapa sistem ini
berfungsi secara keseluruhan ?
|
8
|
Chaos theory: non -linier dynamics
|
Fisika teoritis : ilmu-ilmu alam
|
Apa yang mendasari keteraturan gejala-gejala yang tak teratur jika ada
?
|
9
|
Hermeneutics
|
Teologi, filsafat, kritik sastra
|
Apa kondisi-kondisi yang melahirkan prilaku atau produk yang
dihasilkan yang memungkinkan penafsiran makna ?
|
10
|
Orientaional, qualitative
|
Ideologi, ekonomi politik
|
Bagimana perspektif ideologi seseorang berujud dalam suatu gejala ?
|
Dalam perkembangannya, belakangan ini nampaknya
istilah penelitian kualitatif telah menjadi
istilah yang dominan dan baku, meskipun mengacu pada istilah yang
berbeda dengan pemberian karakteristik yang
berbeda pula, namun bila dikaji lebih jauh semua itu lebih bersifat
saling melengkapi/memperluas dalam suatu bingkai metodologi penelitian kualitatif.
Oleh karena itu dalam wacana metodologi penelitian, umumnya diakui terdapat dua paradigma utama dalam
metodologi penelitian yakni paradigma
positivist (penelitian kuantitatif) dan paradigma naturalistik (penelitian
kualitatif), ada ahli yang memposisikannya secara diametral, namun ada juga
yang mencoba menggabungkannya baik dalam makna integratif maupun bersifat
komplementer, namun apapun kontroversi yang terjadi kedua jenis penelitian
tersebut memiliki perbedaan-perbedaan baik dalam tataran filosofis/teoritis
maupun dalam tataran praktis
pelaksanaan penelitian, dan justru
dengan perbedaan tersebut akan nampak kelebihan dan kekurangan masing-masing,
sehingga seorang peneliti akan dapat lebih mudah memilih metode yang akan
diterapkan apakah metode kuantitatif atau metode kualitatif dengan
memperhatikan obyek penelitian/masalah yang akan diteliti serta mengacu pada
tujuan penelitian yang telah ditetapkan.
Meskipun dalam tataran praktis perbedaan antara
keduanya seperti nampak sederhana dan hanya bersifat teknis, namun secara esensial keduanya mempunyai landasan
epistemologis/filosofis yang sangat berbeda. Penelitian kuantitatif merupakan
pendekatan penelitian yang mewakili paham positivisme, sementara itu penelitian
kualitatif merupakan pendekatan
penelitian yang mewakili paham naturalistik (fenomenologis). Untuk lebih memahami landasan filosofis kedua
paham tersebut, berikut ini akan diuraiakan secara ringkas kedua aliran faham
tersebut.
1.1.
Positivisme
Positivisme
merupakan aliran filsafat yang dinisbahkan/ bersumber dari pemikiran Auguste Comte seorang
folosof yang lahir di Montpellier
Perancis pada tahun 1798, ia seorang yang sangat miskin, hidupnya banyak
mengandalkan sumbangan dari murid dan teman-temannya antara lain dari folosof inggeris John Stuart Mill
(juga seorang akhli ekonomi), ia meninggal pada tahun 1857. meskipun demikian
pemikiran-pemikirannya cukup berpengaruh yang dituangkan dalam
tulisan-tulisannya antara lain Cours de Philosophie Positive (Kursus
filsafat positif) dan Systeme de Politique Positive (Sistem politik
positif).
Salah satu buah pikirannya yang sangat penting dan
berpengaruh adalah tentang tiga tahapan/tingkatan cara berpikir manusia dalam
berhadapan dengan alam semesta yaitu : tingkatan Teologi, tingkatan Metafisik,
dan tingkatan Positif
Tingkatan Teologi (Etat
Theologique). Pada tingkatan ini manusia belum bisa memahami hal-hal yang berkaitan dengan sebab akibat.
Segala kejadian dialam semesta merupakan akibat dari suatu perbuatan Tuhan dan
manusia hanya bersifat pasrah, dan yang dapat dilakukan adalah memohon pada
Tuhan agar dijauhkan dari berbagai bencana. Tahapan ini terdiri dari tiga
tahapan lagi yang berevolusi yakni dari tahap animisme, tahap politeisme,
sampai dengan tahap monoteisme.
Tingkatan Metafisik (Etat
Metaphisique). Pada dasarnya tingkatan ini merupakan suatu variasi dari
cara berfikir teologis, dimana Tuhan atau Dewa-dewa diganti dengan
kekuatan-kekuatan abstrak misalnya dengan istilah kekuatan alam. Dalam tahapan
ini manusia mulai menemukan keberanian
dan merasa bahwa kekuatan yang menimbulkan bencana dapat dicegah dengan
memberikan berbagai sajian-sajian sebagai penolak bala/bencana.
Tingkatan Positif (Etat
Positive). Pada tahapan ini manusia sudah menemukan pengetahuan yang cukup
untuk menguasai alam. Jika pada tahapan pertama manusia selalu dihinggapi rasa
khawatir berhadapan dengan alam semesta, pada tahap kedua manusia mencoba
mempengaruhi kekuatan yang mengatur alam semesta, maka pada tahapan positif
manusia lebih percaya diri, dengan ditemukannya hukum-hukum alam, dengan
bekal itu manusia mampu
menundukan/mengatur (pernyataan ini mengindikasikan adanya pemisahan antara
subyek yang mengetahui dengan obyek yang diketahui) alam serta memanfaatkannya untuk kepentingan
manusia, tahapan ini merupakan tahapan dimana manusia dalam hidupnya lebih
mengandalkan pada ilmu pengetahuan.
Dengan memperhatikan tahapan-tahapan sepertti
dikemukakan di atas nampak bahwa istilah positivisme mengacu pada tahapan
ketiga (tahapan positif/pengetahuan positif) dari pemikiran Comte. Tahapan
positif merupakan tahapan tertinggi, ini berarti dua tahapan sebelumnya merupakan tahapan yang
rendah dan primitif, oleh karena itu filsafat Positivisme merupakan filsafat
yang anti metafisik, hanya fakta-fakta saja yang dapat diterima. Segala sesuatu
yang bukan fakta atau gejala (fenomin) tidak mempunyai arti, oleh karena itu
yang penting dan punya arti hanya satu yaitu mengetahui (fakta/gejala) agar
siap bertindak (savoir pour prevoir).
Manusia harus menyelidiki dan mengkaji berbagai
gejala yang terjadi beserta hubungan-hubungannya diantara gejala-gejala
tersebut agar dapat meramalkan apa yang akan terjadi, Comte menyebut
hubungan-hubungan tersebut dengan konsep-konsep dan hukum-hukum yang bersifat
positif dalam arti berguna untuk diketahui karena benar-benar nyata bukan
bersifat spekulasi seperti dalam metafisika.
1.2.
Fenomenologi
Edmund Husserl
adalah filosof yang mengmbangkan metode Fenomenologi, dia lahir di Prostejov Cekoslowakia dan mengajar di
berbagai Universitas besar Eropa, meninggal pada tahun 1938 di Freiburg. Hasil
pemikirannya dapat diselamatkan dari kaum Nazi, dengan membawa seluruh buku dan
tulisannya ke Universitas Leuven Belgia,
sehingga kemudian dapat dikembangkan lebih lanjut oleh murid-muridnya. Diantara
tulisan-tulisan pentangnya adalah : Logische Untersuchungen
(Penyeliddikan-penyelidikan Logis) dan Ideen zu
einer reinen Phanomenologie und Phanomenologischen Philosophie
(gagasan-gagasan untuk suatu fenomenologi murni dan filsafat fenomenologi)
Dalam faham fenomenologi sebagaimana diungkapkan
oleh Husserl, bahwa kita harus kembali kepada benda-benda itu sendiri (zu
den sachen selbst), obyek-obyek harus diberikan kesempatan untuk berbicara melalui deskripsi
fenomenologis guna mencari hakekat gejala-gejala (Wessenchau). Husserl
berpendapat bahwa kesadaran bukan bagian dari kenyataan melainkan asal kenyataan, dia menolak
bipolarisasi antara kesadaran dan alam,
antara subyek dan obyek, kesadaran tidak menemukan obyek-obyek, tapi
obyek-obyek diciptakan oleh kesadaran.
Kesadaran merupakan sesuatu yang bersifat
intensionalitas (bertujuan), artinya kesadaran tidak dapat dibayangkan tanpa
sesuatu yang disadari. Supaya kesadaran timbul perlu diandaikan tiga hal
yaitu : ada subyek, ada obyek, dan
subyek yang terbuka terhadap obyek-obyek. Kesadaran tidak bersifat pasif karena
menyadari sesuatu berarti mengubah sesuatu, kesadaran merupakan suatu tindakan,
terdapat interaksi antara tindakan kesadaran dan obyek kesadaran, namun yang
ada hanyalah kesadaran sedang obyek kesadaran pada dasarnya diciptakan oleh
kesadaran.
Berkaitan dengan hakekat obyek-obyek, Husserl
berpandapat bahwa untuk menangkap hakekat obyek-obyek diperlukan tiga macam
reduksi guna menyingkirkan semua hal yang mengganggu dalam mencapai wessenchau
yaitu: Reduksi pertama.
Menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif, sikap kita harus obyektif, terbuka
untuk gejala-gejala yang harus diajak bicara. Reduksi kedua.
Menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diperoleh dari sumber
lain, dan semua teori dan hipotesis yang sudah ada Reduksi ketiga.
Menyingkirkan seluruh tradisi pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah dikatakan
orang lain harus, untuk sementara, dilupakan, kalau reduksi-reduksi ini berhasil, maka gejala-gejala akan
memperlihaaaatkan dirinya sendiri/dapat menjadi fenomin
1.3.
Perbandingan tataran Filosofis
Kedua aliran filsafat tersebut terus berkembang
dengan dukungan prngikut-pengikutnya, yang dalam wacana metodologi penelitian
telah mendorong lahirnya paradigma penelitian kuantitatif (positivisme) dan
paradigma penelitian kualitatif (fenomenologi). Kedua paradigma pendekatan
penelitian tersebut nampak sekali mempunyai asumsi/aksioma dasar filosofis dan
paradigma berbeda yang menurut Lincoln
dan Guba perbedaan tersebut terletak dalam asumsi/aksioma tentang
kenyataan, hubungan pencari tahu dengan tahu (yang diketahui), generalisasi,
kausalitas, dan masalah nilai, untuk lebih rincinya dapat dilihat dalam tabel
berikut :
Dalam pandangan positivisme dari sudut ontologi
meyakini bahwa realitas merupakan suatu yang tunggal dan dapat
dipecah-pecah untuk dipelajari/dipahami
secara bebas, obyek yang diteliti bisa dieliminasikan dari obyek-obyek lainnya,
sedangkan dalam pandangan fenomenologi kenyataan itu merupakan suatu yang utuh,
oleh karena itu obyek harus dilihat dalam suatu konteks natural tidak dalam
bentuk yang terfragmentasi.
Dari sudut epistemologi, positivisme mensyaratkan
adanya dualisme antara subyek peneliti dengan obyek yang ditelitinya, pemilahan
ini dimaksudkan agar dapat diperoleh hasil yang obyektif, sementara itu dalam
pandangan Fenomenologis subyek dan obyek tidak dapat dipisahkan dan aktif
bersama dalam memahami berbagai gejala. Dari sudut aksiologi, positivisme
mensyaratkan agar penelitian itu bebas nilai agar dicapai obyektivitas
konsep-konsep dan hukum-hukum sehingga tingkat keberlakuannya bebas tempat dan
waktu, sedangkan dalam pandangan fenomenologi penelitian itu terikat oleh nilai
sehinggan hasil suatu penelitian harus dilihat sesuai konteks.
Untuk lebih jelasnya berikut ini akan dikemukakan
perbandingan antara paradigma positivisme dan paradigma alamiah (fenomenologi)
dengan mengacu pada pendapat Lincoln dan Guba, sebagaimana terlihat dalam tabel
berikut :
Tabel
2.
Perbedaan
Aksioma Paradigma Positivisme dan Alamiah
No
|
Aksioma
Tentang
|
Paradigma
Positivisme
|
Paradigma
Alamiah/Kualitatif
|
1
|
Hakikat
kenyatan
|
Kenyataan
adalah tunggal, nyata dan fragmentaris
|
Kenyataan
adalah ganda,dibentuk, dan me-rupakan
keutuhan
|
2
|
Hubungan
pencari tahu dan yang tahu
|
Pencari
tahu dengan yang tahu adalah bebas, jadi ada dualisme
|
Pencari
tahu dengan yang tahu aktif bersama, jadi tidak dapat dipisahkan
|
3
|
Kemungkinan
Generalisasi
|
Generalisasi
atas dasar bebas-waktu dan bebas-konteks (pernyataan nomotetik)
|
Hanya
waktu dan konteks yang mengikat hipotesis kerja (pernyataan idiografis) yang
dimungkinkan
|
4
|
Kemungkinan
hubungan sebab akibat
|
Terdapat
penyebab sebenarnya yang secara temporer terhadap, atau secara simultan
terhadap akibatnya
|
Setiap
keutuhan berada dalam keadaan mempe-ngaruhi secara bersama-sama sehingga
sukar mem-bedakan mana sebab dan mana akibat
|
5
|
Peranan
nilai
|
Inkuirinya bebas nilai
|
Inkuirinya terikat nilai
|
(Sumber : Lexy J. Moleong : 2000 : 31)
1.4.
Perbandingan tataran Metodologis
Memahami landasan filosofis penelitian kualitatif
dalam perbandingannya dengan penelitian kuantitatif merupakan hal yang penting
sebagai dasar bagi pemahaman yang tepat
terhadap penelitian kualitatif, namun demikian bagi seorang peneliti
penguasaan dalam tingkatan operasional lebih diperlukan lagi agar dalam
pelaksanaan penelitian tidak terjadi kerancuan metodologis, dan penelitian
benar-benar dilaksanakan dalam suatu bingkai pendekatan yang jelas dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Dalam tataran metodologis perbedaan landasan
filosofis terrefleksikan dalam perbedaan metode penelitian, dimana positivisme
dimanifestasikan dalam metode penelitian kuantitatif sedangkan fenomenologi dimanifestasikan
dalam metode penelitian kualitatif. Kedua pendekatan ini sering diposisikan
secara diametral, meskipun belakangan ini terdapat upaya untuk menggabungkannya
baik dalam bentuk paralelisasi maupun kombinasi, adapun perbedaan antara metode
kuantitatif dengan kualitatif adalah sebagai berikut :
Tabel
3.
Perbedaan
Metode Kuantitatif dengan Kualitatif
No
|
Metode
Kuantitatif
|
Metode
Kualitatif
|
1
|
Menggunakan
hiopotesis yang ditentukan sejak awal
penelitian
|
Hipotesis
dikembangkan sejalan dengan penelitian/saat penelitian
|
2
|
Definisi
yang jelas dinyatakan sejak awal
|
Definisi
sesuai konteks atau saat penelitian berlangsung
|
3
|
Reduksi
data menjadi angka-angka
|
Deskripsi
naratif/kata-kata, ungkapan atau pernyataan
|
4
|
Lebih
memperhatikan reliabilitas skor yang diperoleh melalui instrumen penelitian
|
Lebih
suka menganggap cukup dengan reliabilitas penyimpulan
|
5
|
Penilaian
validitas menggunakan berbagai prosedur dengan mengandalkan hitungan
statistik
|
Penilaian
validitas melalui pengecekan silang atas sumber informasi
|
6
|
Mengunakan
deskripsi prosedur yang jelas (terinci)
|
Menggunakan
deskripsi prosedur secara naratif
|
7
|
sampling
random
|
Sampling
purposive
|
8
|
Desain/kontrol
statistik atas variabel eksternal
|
Menggunakan
analisis logis dalam mengontrol
variabel ekstern
|
9
|
Menggunakan
desain khusus untuk mengontrol bias prosedur
|
Mengandalkan
peneliti dalam mengontrol bias
|
10
|
Menyimpulkan
hasil menggunakan statistik
|
Menyimpulkan
hasil secara naratif/kata-kata
|
11
|
Memecah
gejala-gejala menjadi bagian-bagian untuk dianalisis
|
Gejala-gejala
yang terjadi dilihat dalam perspektif keseluruhan
|
12
|
Memanipulasi
aspek, situasi atau kondisi dalam mempelajari gejala yang kompleks
|
Tidak
merusak gejala-gejala yang terjadi secara alamiah /membiarkan keadaan
aslinya
|
(diadaptasi dari Jack R. Fraenkel & Norman E. Wallen. 1993 : 380)