BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan holistik merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual. Secara historis, pendidikan holistik sebetulnya bukan hal yang baru.
Pembelajaran holistik (holistic learning) adalah
pendekatan pembelajaran yang berfokus pada pemahaman informasi dan mengkaitkannya dengan topik-topik lain sehingga terbangun kerangka pengetahuan. Dalam pembelajaran holistik, diterapkan prinsip bahwa siswa akan belajar lebih efektif jika semua aspek pribadinya (pikiran, tubuh dan jiwa) dilibatkan dalam pengalaman siswa.
Sekolah hendaknya menjadi tempat peserta didik dan guru bekerja guna mencapai tujuan yang saling menguntungkan. Komunikasi yang terbuka dan jujur sangat penting, perbedaan individu dihargai dan kerjasama lebih utama dari pada kompetisi.
Gagasan pendidikan holistik telah mendorong terbentuknya model-model pendidikan alternatif, yang mungkin dalam penyelenggaraannya sangat jauh berbeda dengan pendidikan pada umumnya, salah satunya adalah homeschooling, yang saat ini sedang berkembang, termasuk di Indonesia.
B. Definisi Pendekatan Pembelajaran Holistik
Beberapa tokoh klasik perintis pendidikan holistik, diantaranya : Jean Rousseau, Ralph Waldo Emerson, Henry Thoreau, Bronson Alcott, Johann Pestalozzi, Friedrich Froebel dan Francisco Ferrer. Berikutnya, kita mencatat beberapa tokoh lainnya yang dianggap sebagai pendukung pendidikan holistik, adalah : Rudolf Steiner, Maria Montessori, Francis Parker, John Dewey, John Caldwell Holt, George Dennison Kieran Egan, Howard Gardner, Jiddu Krishnamurti, Carl Jung, Abraham Maslow, Carl Rogers, Paul Goodman, Ivan Illich, dan Paulo Freire.
Pemikiran dan gagasan inti dari para perintis pendidikan holistik sempat tenggelam sampai dengan terjadinya loncatan paradigma kultural pada tahun 1960-an. Memasuki tahun 1970-an mulai ada gerakan untuk menggali kembali gagasan dari kalangan penganut aliran holistik. Kemajuan yang signifikan terjadi ketika dilaksanakan konferensi pertama pendidikan Holistik Nasional yang diselenggarakan oleh Universitas California pada bulan Juli 1979, dengan menghadirkan The Mandala Society dan The National Center for the Exploration of Human Potential. Enam tahun kemudian, para penganut pendidikan holistik mulai memperkenalkan tentang dasar pendidikan holistik dengan sebutan 3 R’s, akronim dari relationship, responsibility dan reverence. Berbeda dengan pendidikan pada umumnya, dasar pendidikan 3 R’s ini lebih diartikan sebagai writing, reading dan arithmetic atau di Indonesia dikenal dengan sebutan calistung (membaca, menulis dan berhitung).
Jika merujuk pada pemikiran Abraham Maslow, maka pendidikan harus dapat mengantarkan peserta didik untuk memperoleh aktualisasi diri (self-actualization) yang ditandai dengan adanya: (1) kesadaran; (2) kejujuran; (3) kebebasan atau kemandirian; dan (4) kepercayaan.
Pendidikan holistik memperhatikan kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spritual. Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif, oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan bagaimana orang belajar.
Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan strategi pembelajaran holistik, diantaranya: (1) menggunakan pendekatan pembelajaran transformatif; (2) prosedur pembelajaran yang fleksibel; (3) pemecahan masalah melalui lintas disiplin ilmu, (4) pembelajaran yang bermakna, dan (5) pembelajaran melibatkan komunitas di mana individu berada.
Dalam pendidikan holistik, peran dan otoritas guru untuk memimpin dan mengontrol kegiatan pembelajaran hanya sedikit dan guru lebih banyak berperan sebagai sahabat, mentor, dan fasilitator. Forbes (1996) mengibaratkan peran guru seperti seorang teman dalam perjalanan yang telah berpengalaman dan menyenangkan.
C. Rumusan Masalah
Ada beberapa teknik pembelajaran holistik:
• Mengajukan pertanyaan: Siswa menanyakan beberapa hal seperti: [1] Apa yang sedang dipelajari? [2] Apa hubungannya dengan topik-topik lain dalam bab yang sama? [3] Apa hubungannya dengan topik-topik lain dalam mata pelajaran yang sama? [4] Adakah hubungannya dengan topik-topik dalam mata pelajaran lain? [5] Adakah hubungannya dengan sesuatu dalam kehidupan sehari-hari?
• Memvisualkan informasi: Guru mengajak siswa untuk menyajikan informasi dalam bentuk gambar, diagram, atau sketsa. Objek atau situasi yang terkait dengan informasi disajikan dalam gambar; sedangkan hubungan informasi itu dengan topik-topik lain dinyatakan dengan diagram. Gambar atau diagram tidak harus indah atau tepat, yang penting bisa mewakili apa yang dibayangkan oleh siswa. Jadi gambar atau diagram dapat berupa sketsa atau coretan kasar. Setelah siswa memvisualkan informasi, mereka dapat diminta menerangkan maksud gambar, diagram, atau sketsa yang dibuatnya.
• Merasakan informasi: Jika informasi tidak dapat atau sukar divisualkan, siswa dapat menangkapnya dengan menggunakan indera lainnya. Misalnya dengan meraba, mengecap, membau, mendengar, atau memperagakan.
D. Tujuan
Tujuan pendidikan holistik adalah membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demoktaris dan humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui pendidikan holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri (learning to be).
Dalam arti dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan karakter dan emosionalnya (Basil Bernstein).
Ada sejumlah tujuan terkait dengan pendekatan ini, antara lain:
* Pemecahan masalah
* Menganalisis pengalaman, kasus
* Mengerjakan rencana strategis
* Melahirkan gagasan kreatif
* Mencari dan menjaring informasi
* Merumuskan pertanyaan
* Menciptakan model mental
* Menerapkan gagasan bagus pada pekerjaan.
* Menciptakan makna pribadi
* Meramalkan implikasi suatu gagasan.
BAB II
Teori Pendekatan Pembelajaran Holistik
Belakangan ini ada sebuah teori belajar aktif yang dinamakan teori holistik. Dave Meier dalam bukunya The Accelerated Learning Handbook (Kaifa, 2002), mengemukakan bahwa konsep guru mengenai siapa manusia yang diajarinya (murid) menentukan sekali terhadap kegiatan belajar yang direncanakan dan dikelolanya. Meier mengkritik kecenderungan pendidikan di Barat yang memandang manusia hanya sebagai tubuh dan pikiran. Aktivitas tubuh dan pikiran dipisahkan dalam kegiatan belajar. Pembelajaran sangat kaku. Selain itu pembelajaran individual amat ditekankan. Cara berpikir ilmiah pun sangat diutamakan. Peranan media cetak dalam belajar seperti buku sumber utama sangat ditekankan.
A. Teori Dave Meier
Dari penelitiannya, Dave Meier berpendapat bahwa manusia memiliki empat dimensi yakni: tubuh atau somatis (S), pendengaran atau auditori (A), penglihatan atau visual (V), dan pemikiran atau intelek (I). Bertolak dari pandangan ini ia mengajukan model pembelajaran aktif yang disingkat SAVI (somatis, auditori, visual dan intelektual). Dengan pemahaman ini beliau mengajukan sejumlah prinsip pokok dalam belajar, yakni:
1 – Belajar melibatkan seluruh tubuh dan pikiran
2 – Belajar adalah berkreasi, bukan mengkonsumsi.
3 – Kerjasama membantu proses belajar.
4 – Pembelajaran berlangsung pada banyak tingkatan secara simultan.
5 – Belajar berasal dari mengerjakan pekerjaan itu sendiri.
6 – Emosi positif sangat membantu pembelajaran.
7 – Otak-citra menyerap informasi secara langsung dan otomatis.
Sekarang, marilah kita simak pokok-pokok pikiran Meier, bagaimana prinsip kegiatan belajar berdasarkan prinsip SAVI itu. Pertama, belajar somatis, belajar dengan bergerak dan berbuat. Apa sajakah yang dapat dilakukan? Jawabnya ialah:
* Membuat model dalam suatu proses.
* Secara fisik menggerakkan berbagai komponen dalam suatu proses atau sistem
* Menciptakan bagan, diagram, piktogram.
* Memeragakan suatu proses, sistem, atau seperangkat konsep.
* Mendapatkan pengalaman, lalu membicarakannya dan merefleksikannya.
* Melengkapi suatu proyek yang memerlukan kegiatan fisik.
* Menjalankan belajar aktif (simulasi,permainan belajar,dan lain-lain)
*Melakukan tinjauan lapangan. Lalu menuliskan, menggambar dan membicarakan apa yang dipelajari.
* Mewawancarai orang di luar kelas.
* Dalam tim, menciptakan pelatihan pembelajaran aktif bagi seluruh kelas.
Kedua, belajar auditori (A), kegiatan mendengar dan berbicara. Apa saja yang dilakukan dalam kegiatan?
* Membaca keras dari bahan sumber.
* Membaca paragraf dan memberikan maknanya.
* Membuat rekaman suara sendiri.
* Menceritakan buku yang dibaca.
* Membicarakan apa yang dipelajari dan bagaimana menerapkannya.
* Meminta pelajar memperagakan sesuatu dan menjelaskan apa yang dilakukan.
* Bersama-sama membaca puisi, menyanyi.
Ketiga, belajar visual (V), kegiatan melihat, mengamati, memperhatikan. Apa sajakah kegiatan dalam pendekatan ini?
* Mengamati gambar dan memaknainya.
* Memperhatikan grafik atau membuatnya.
* Melihat benda tiga dimensi.
* Menonton video, film.
* Kreasi piktogram
* Pengamatan lapangan
* Dekorasi warna-warni
Keempat, belajar intelektual (I), kegiatan mencipta, merenungkan, memaknai, memecahkan masalah. Ada sejumlah kegiatan terkait dengan pendekatan ini, antara lain:
* Pemecahan masalah
* Menganalisis pengalaman, kasus
* Mengerjakan rencana strategis
* Melahirkan gagasan kreatif
* Mencari dan menjaring informasi
* Merumuskan pertanyaan
* Menciptakan model mental
* Menerapkan gagasan bagus pada pekerjaan.
* Menciptakan makna pribadi
* Meramalkan implikasi suatu gagasan.
B. Teori Wilhelm Dilthey
Istilah holistik bisa ditelusuri dari pandangan filsuf Jerman, Wilhelm Dilthey (1833-1911). Dilthey hidup pada masa ketika filsafat idealisme Hegel sedang jatuh dan ditumbangkan oleh positivisme. Pemikiran ilmu alam yang ditandai metode erklaren (eksplanasi) menjadi pemikiran yang mendominasi seluruh bangunan ilmiah. Dilthey lalu mengembangkan pemikiran tentang verstehen (understanding) sebagai bentuk gugatan pada ilmu yang terlampau positivistik. Verstehen dilahirkan dalam bingkai kritik sejarah dan ikhtiar memunculkan human science.
C. Teori Dilthey
Menurut Dilthey, holistik adalah hubungan melingkar antara part (sebagian) dan whole (keseluruhan). Ia mendefenisikan holistik sebagai perputaran antara part (bagian) dan whole (keseluruhan) dalam memahami sesuatu. Part (bagian) bisa dipahami ketika direlasikan dengan part yang lain hingga membentuk totalitas atau whole (keseluruhan). Pemikiran Diltey tentang holistik ini menjadi bagian penting dari penjelasannya tentang lingkar hermeneutik (hermeneutical circle). Mengacu Webster’s Dictionary, holistik juga dipakai dalam ranah biologi dan kesehatan. Holistik dimaknai sebagai teori tentang pentingnya melihat seluruh aspek tubuh manusia baik menyangkut fisik, mental, hingga kondisi sosial dalam pencegahan penyakit. Holistik adalah sebuah totalitas dari keseluruhan aspek fisik dan nonfisik manusia. Asumsinya adalah bagian tubuh manusia tidak mungkin berdiri sendiri, melainkan memiliki relasi (hubungan yang sangat erat dengan bagian tubuh lainnya.
Pada ranah ilmiah, konsep holistik banyak dipakai sebagai bentuk kritikan pada perspektif Cartesian-Newtonian yang senantiasa melihat alam sebagai sesuatu yang terpisah-pisah atau terpencar-pencar. Perspektif Cartesian-Newtonian ini tidak melihat alam semesta dan manusia sebagai sesuatu yang terintegrasi atau memiliki kaitan erat. Kehadiran perspektif holistik sebagai bentuk counter discourse (wacana tanding) dan memberikan pemahaman tentang adanya aspek yang saling terkait antara manusia dan alam serta pahaman akan leburnya batas-batas yang ketat di antara displin ilmu.
Dalam ranah antropologi, holistik serta komparasi menjadi konsep yang sangat sentral. Dalam konteks ini, holistik adalah adanya totalitas atau keterkaitan antara berbagai aspek dalam menjelaskan tentang manusia dan masyarakat. Dalam ranah ilmu sosial, holistik berawal dari gagasan yang tumbuh subur pada disiplin ilmu biologi. Ilmuwan sosial asal Inggris, Herbert Spencer (1820-1903) membangun analogi holistik pada biologi dan diterapkan untuk melihat masyarakat. Pemikirannya kerap disebut sebagai analogi organik. Ia mengatakan kalau kemajuan sosial adalah konsekuensi dari evolusi sistem sosial. Spencer memandang masyarakat berkembang seperti hewan atau organisme tumbuhan.
Ia menganalisis pokok adaptif sosial budaya yaitu organisasi sosial, ekonomi, agama, dan politik. Menurutnya, keempat unsur ini memiliki analogi dengan aspek biologi tubuh manusia yaitu politik dengan sistem saraf, ekonomi dengan sistem pencernaan, organisasi sosial dengan sistem peredaran darah, hingga agama dengan sistem pernapasan. Pemikiran ini melihat bahwa masing-masing organ pada manusia memiliki keterkaitan antara struktur dan fungsi masing-masing. Ada relasi atau hubungan yang sifatnya fungsional. Pemikiran Spencer tentang hubungan antara struktur dan fungsi ini menjadi salah satu argumen dari aliran struktural fungsional dalam antropologi. Pemikiran dari aspek biologi ini juga mempengaruhi pemikiran dari pendiri aliran fungsionalis struktural dalam antropologi yaitu AR Radcliffe Brown. Brown berpendapat dalam setiap kebiasaan dan kepercayaan dalam masyarakat mempunyai fungsi tertentu, yang bertujuan untuk melestarikan struktur masyarakat yang bersangkutan – susunan bagian-bagiannya yang teratur – sehingga masyarakat tersebut dapat tetap lestari.
Nah, keempat bentuk adaptif sosial budaya itu menyebabkan paradigma struktural fungsional kuat. Keempatnya menjadi penopang sebab memiliki relasi satu sama lain. Gagasan fungsionalisme struktural cenderung bersifat ajek (statis) sehingga menganggap struktur sosial cenderung ekuilibrium (seimbang). Ketika dihadapkan pada isu perubahan, maka fungsionalisme struktural seakan tidak mampu memberikan penjelasan yang memadai. Inilai yang menyebabkan lahirnya berbagai kritikan sebagaimana yang disuarakan penganut paradigma konflik.
Isu perubahan sudah mulai mencuat sejak akhir abad ke-20. Masyarakat memasuki fase baru sejarah yang kian kompleks. Batasan etnisitas, bangsa kian mengalami pergeseran. Wacana globalisasi kian menguat hingga menyebabkan terjadinya peleburan batas kenegaraan atau disebut Appadurai (2004) sebagai deteritorialisasi. Appadurai melihat aktivitas kebudayaan yang kerap disebutnya sebagai imaginary atau proses imajinasi sosial. Menurutnya, iamajinasi itu dibentuk dari lima dimensi mengalirnya kebudayaan global yaitu Ethnoscapes, Mediascapes, Technoscapes, Financescapes, ideoscapes.
Istilah scape, digunakan untuk menggambarkan secara lebih dalam konstruksi perspektif yang ada dalam sejarah, linguistik, dan politik, yang diperankan secara berbeda oleh sejumlah aktor dalam konteks nation-state, multinasional, komunitas diasporik. Ini juga termasuk kelompok sub nasional yang berpindah-pindah seperti halnya agama ataupun ekonomi politik. Gagasan ini berasal dari Benedict Anderson yang terkenal dengan tesisnya tentang imagined community atau komunitas terbayang.
Pola-pola restrukturisasi ekonomi, rasionalisasi, migrasi, dan mobilitas ini melahirkan identitas baru, baik etnik, reginal, nasional, dan migran yang berorientasi pada konsumen dan media. Mike Fischer dan Marcus (1986) menyebut pristiwa ini sebagai krisis representasi yang harus segera mendapatkan respon dari para antropolog. Ini menyebabkan terjadinya pergeseran pada etnografi. Menurut Marcus, harus ada imajinasi ulang (reimagining) terhadap frame holistik agar etnografi senantiasa sensitif dalam merespon perubahan dari lanskap dunia yang terus berubah.
Jika sebelumnya, perspektif tentang holistik hanya terbatas pada satu struktur sosial, kini harus mengalami pergeseran. Robert Thornton (1988:288) mengatakan, pandangan holistik harus bergeser pada upaya untuk mengenali totalitas yang ada pada satu kebudayaan. Pandangan holistik menuntut seorang peneliti antropologi untuk mengkaji setiap aspek idiosinkratik dari suatu kebudayaan. Idiosinkratik bisa didefinisikan sebagai penjelasan tentang hal-hal yang spesifik atau unik dalam setiap kebudayaan. Artinya, seorang peneliti memfokuskan dirinya untuk mengkaji satu kebudayaan dan menggali informasi yang sebanyak-banyaknya serta melihat keterkaitan antara setiap aspek dalam kebudayaan tersebut.
Pandangan holistik harus ditempatkan sebagai kritik dan pengkajian sebuah kebudayaan secara menyeluruh atau totalitas dan ditempatkan pada relasinya dengan unsur lain. Kata Marcus, ini berarti etnografi akan lebuh banyak “berbicara lebih jauh” (say more) di banding apa yang ada di permukaan. Analisa holistik yang sangat mendalam membatasi peneliti hanya mengkaji satu kebudayaan saja karena tidak ada kebudayaan lain yang dapat diperbandingkan untuk semua unsur detail dari kebudayaan yang dikaji.
BAB III
Implikasi Teori Pendekatan Pembelajaran Holistik Dalam Praksis Pembelajaran
A. Paradigma holistik
Paradigma holistik memperhitungkan berbagai faktor secara menyeluruh , bukan hanya melihat sebagian (partial) saja.
Contohnya untuk menangani banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau di pulau Jawa, orang harus melihat bahwa faktor utama adalah karena jumlah penduduk pulau Jawa sudah melampaui daya dukungnya sehingga usaha pelestarian lingkungan , dan normalisasi sungai sulit sekali dilakukan.
Pemecahanya harus melihat secara keseluruhan terkait juga dengan masalah lain, misalnya kemacetan lalu lintas dan menggunungnya sampah/polusi.
Pemecahan dengan memakai paradigma holistik :
Pindahkan pusat ekonomidan industri ke luar pulau Jawa sehingga terjadi transmigrasi alami. Jika hal ini terjadi maka pengaturan pelestarian hutan, pengembalian daerah resapan, penghijauan dan normalisasi sungai akan mudah dilakukan.
Dengan pemahaman ini beliau mengajukan sejumlah prinsip pokok dalam belajar, yakni:
1 – Belajar melibatkan seluruh tubuh dan pikiran.
2 – Belajar adalah berkreasi, bukan mengkonsumsi.
3 – Kerjasama membantu proses belajar.
4 – Pembelajaran berlangsung pada banyak tingkatan secara simultan.
5 – Belajar berasal dari mengerjakan pekerjaan itu sendiri.
6 – Emosi positif sangat membantu pembelajaran.
7 – Otak-citra menyerap informasi secara langsung dan otomatis.
Sekarang, marilah kita simak pokok-pokok pikiran Meier, bagaimana prinsip kegiatan belajar berdasarkan prinsip SAVI itu.
Pertama, belajar somatis, belajar dengan bergerak dan berbuat. Apa sajakah yang dapat dilakukan? Jawabnya ialah:
* Membuat model dalam suatu proses.
* Secara fisik menggerakkan berbagai komponen dalam suatu proses atau sistem
* Menciptakan bagan, diagram, piktogram.
* Memeragakan suatu proses, sistem, atau seperangkat konsep.
* Mendapatkan pengalaman, lalu membicarakannya dan merefleksikannya.
* Melengkapi suatu proyek yang memerlukan kegiatan fisik.
* Menjalankan pelatihan belajar aktif (simulasi, permainan belajar, dan lain-lain)
* Melakukan tinjauan lapangan. Lalu menuliskan, menggembar dan membicarakan apa yang dipelajari.
* Mewawancarai orang di luar kelas.
* Dalam tim, menciptakan pelatihan pembelajaran aktif bagi seluruh kelas.
Kedua, belajar auditori (A), kegiatan mendengar dan berbicara. Apa saja yang dilakukan dalam kegiatan?
* Membaca keras dari bahan sumber.
* Membaca paragraf dan memberikan maknanya.
* Membuat rekaman suara sendiri.
* Menceritakan buku yang dibaca.
* Membicarakan apa yang dipelajari dan bagaimana menerapkannya.
* Meminta pelajar memperagakan sesuatu dan menjelaskan apa yang dilakukan.
* Bersama-sama membaca puisi, menyanyi.
Ketiga, belajar visual (V), kegiatan melihat, mengamati, memperhatikan. Apa sajakah kegiatan dalam pendekatan ini?
* Mengamati gambar dan memaknainya.
* Memperhatikan grafik atau membuatnya.
* Melihat benda tiga dimensi.
* Menonton video, film.
* Kreasi piktogram
* Pengamatan lapangan
* Dekorasi warna-warni
Keempat, belajar intelektual (I), kegiatan mencipta, merenungkan, memaknai, memecahkan masalah. Ada sejumlah kegiatan terkait dengan pendekatan ini, antara lain:
* Pemecahan masalah
* Menganalisis pengalaman, kasus
* Mengerjakan rencana strategis
* Melahirkan gagasan kreatif
* Mencari dan menjaring informasi
* Merumuskan pertanyaan
* Menciptakan model mental
* Menerapkan gagasan bagus pada pekerjaan.
* Menciptakan makna pribadi
* Meramalkan implikasi suatu gagasan.
B. Metode Pembelajaran Holistik
Pembelajaran holistik dapat dilaksanakan dengan 2 macam metode:
• Belajar melalui keseluruhan bagian otak: Bahan palajaran dipelajari dengan melibatkan sebanyak mungkin indera; juga melibatkan berbagai tingkatan keterlibatan, yaitu: indera, emosional, dan intelektual.
• Belajar melalui kecerdasan majemuk (multiple intelligences): Siswa mempelajari materi pelajaran dengan menggunakan jenis kecerdasan yang paling menonjol dalam dirnya.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembelajaran holistik (holistic learning) adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada pemahaman informasi dan mengkaitkannya dengan topik-topik lain sehingga terbangun kerangka pengetahuan. Dalam pembelajaran holistik, diterapkan prinsip bahwa siswa akan belajar lebih efektif jika semua aspek pribadinya (pikiran, tubuh dan jiwa) dilibatkan dalam pengalaman siswa.
Sekolah hendaknya menjadi tempat peserta didik dan guru bekerja guna mencapai tujuan yang saling menguntungkan. Komunikasi yang terbuka dan jujur sangat penting, perbedaan individu dihargai dan kerjasama lebih utama dari pada kompetisi.
Gagasan pendidikan holistik telah mendorong terbentuknya model-model pendidikan alternatif, yang mungkin dalam penyelenggaraannya sangat jauh berbeda dengan pendidikan pada umumnya, salah satunya adalah homeschooling, yang saat ini sedang berkembang, termasuk di Indonesia.
Pendidikan holistik memperhatikan kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spritual. Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif, oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan bagaimana orang belajar.
Dari berbagai uraian di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
- Belajar melibatkan seluruh tubuh dan pikiran.
- Belajar adalah berkreasi, bukan mengkonsumsi.
- Kerjasama membantu proses belajar.
- Pembelajaran berlangsung pada banyak tingkatan secara simultan.
- Belajar berasal dari mengerjakan pekerjaan itu sendiri.
- Emosi positif sangat membantu pembelajaran.
- Otak-citra menyerap informasi secara langsung dan otomatis.
B. Saran
Pertama, belajar somatis, belajar dengan bergerak dan berbuat. Apa sajakah yang dapat dilakukan? Jawabnya ialah:
* Membuat model dalam suatu proses.
* Secara fisik menggerakkan berbagai komponen dalam suatu proses atau sistem
* Menciptakan bagan, diagram, piktogram.
* Memeragakan suatu proses, sistem, atau seperangkat konsep.
* Mendapatkan pengalaman, lalu membicarakannya dan merefleksikannya.
* Melengkapi suatu proyek yang memerlukan kegiatan fisik.
* Menjalankan pelatihan belajar aktif (simulasi, permainan belajar, dan lain-lain)
* Melakukan tinjauan lapangan. Lalu menuliskan, menggembar dan membicarakan
DAFTAR PUSTAKA
Suryadi, Ace. Pendidikan, Investasi SDM, dan Pengembangan: Isu.Teori dan Aplikasi. Pusat Informatika Balitbang Dikbud. Jakarta.2010
Tilaar, H.A.R., Peta Permasalahan Pendidikan Dewa Ini, Perlunya Visi dan Rencana Strategi Pendidikan dan pelatihan Nasional berorientasi Masa Depan, Seminar Ilmiah ISKA, November 2009.
Tilaar, H.A.R., Pengembangan Sumber Daya manusia dalam Era Globalisasi, Grasindo, Jakarta, 2008.
Haddad, Wadi D., The Dynamich of Education Policymaking. The World Bank, Washington, D.C.
Tilaar, H.A.R., Pengembangan SDM Indonesia Unggul Menghadapi masyarakat Kompetitif Era Globalisasi, Pidato Ilmiah pada Acara Wisuda Tinggi Manajemen Bandung, 26 Agustus 2010.
Tilaar, H.A.R., Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi, Grasindo, Jakarta, 2009.
Tilaar, H.A.R., In Search of New Paradigms in Educational Management and Leadership based on Indigenous Culture: The Indonesian Case, Keynote speech, First Asean/ASEAN Symposium on Educational Manajemen and Leadership, Genting Highlands, Kuala Lumpur, 27-29 Agust, 2009.
Tilaar, H.A.R., Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional: Dalam Perspektif Abad 21. Indonesia Tera, 21 Maret 2008. (Ippank)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan holistik merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual. Secara historis, pendidikan holistik sebetulnya bukan hal yang baru.
Pembelajaran holistik (holistic learning) adalah
pendekatan pembelajaran yang berfokus pada pemahaman informasi dan mengkaitkannya dengan topik-topik lain sehingga terbangun kerangka pengetahuan. Dalam pembelajaran holistik, diterapkan prinsip bahwa siswa akan belajar lebih efektif jika semua aspek pribadinya (pikiran, tubuh dan jiwa) dilibatkan dalam pengalaman siswa.
Sekolah hendaknya menjadi tempat peserta didik dan guru bekerja guna mencapai tujuan yang saling menguntungkan. Komunikasi yang terbuka dan jujur sangat penting, perbedaan individu dihargai dan kerjasama lebih utama dari pada kompetisi.
Gagasan pendidikan holistik telah mendorong terbentuknya model-model pendidikan alternatif, yang mungkin dalam penyelenggaraannya sangat jauh berbeda dengan pendidikan pada umumnya, salah satunya adalah homeschooling, yang saat ini sedang berkembang, termasuk di Indonesia.
B. Definisi Pendekatan Pembelajaran Holistik
Beberapa tokoh klasik perintis pendidikan holistik, diantaranya : Jean Rousseau, Ralph Waldo Emerson, Henry Thoreau, Bronson Alcott, Johann Pestalozzi, Friedrich Froebel dan Francisco Ferrer. Berikutnya, kita mencatat beberapa tokoh lainnya yang dianggap sebagai pendukung pendidikan holistik, adalah : Rudolf Steiner, Maria Montessori, Francis Parker, John Dewey, John Caldwell Holt, George Dennison Kieran Egan, Howard Gardner, Jiddu Krishnamurti, Carl Jung, Abraham Maslow, Carl Rogers, Paul Goodman, Ivan Illich, dan Paulo Freire.
Pemikiran dan gagasan inti dari para perintis pendidikan holistik sempat tenggelam sampai dengan terjadinya loncatan paradigma kultural pada tahun 1960-an. Memasuki tahun 1970-an mulai ada gerakan untuk menggali kembali gagasan dari kalangan penganut aliran holistik. Kemajuan yang signifikan terjadi ketika dilaksanakan konferensi pertama pendidikan Holistik Nasional yang diselenggarakan oleh Universitas California pada bulan Juli 1979, dengan menghadirkan The Mandala Society dan The National Center for the Exploration of Human Potential. Enam tahun kemudian, para penganut pendidikan holistik mulai memperkenalkan tentang dasar pendidikan holistik dengan sebutan 3 R’s, akronim dari relationship, responsibility dan reverence. Berbeda dengan pendidikan pada umumnya, dasar pendidikan 3 R’s ini lebih diartikan sebagai writing, reading dan arithmetic atau di Indonesia dikenal dengan sebutan calistung (membaca, menulis dan berhitung).
Jika merujuk pada pemikiran Abraham Maslow, maka pendidikan harus dapat mengantarkan peserta didik untuk memperoleh aktualisasi diri (self-actualization) yang ditandai dengan adanya: (1) kesadaran; (2) kejujuran; (3) kebebasan atau kemandirian; dan (4) kepercayaan.
Pendidikan holistik memperhatikan kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spritual. Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif, oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan bagaimana orang belajar.
Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan strategi pembelajaran holistik, diantaranya: (1) menggunakan pendekatan pembelajaran transformatif; (2) prosedur pembelajaran yang fleksibel; (3) pemecahan masalah melalui lintas disiplin ilmu, (4) pembelajaran yang bermakna, dan (5) pembelajaran melibatkan komunitas di mana individu berada.
Dalam pendidikan holistik, peran dan otoritas guru untuk memimpin dan mengontrol kegiatan pembelajaran hanya sedikit dan guru lebih banyak berperan sebagai sahabat, mentor, dan fasilitator. Forbes (1996) mengibaratkan peran guru seperti seorang teman dalam perjalanan yang telah berpengalaman dan menyenangkan.
C. Rumusan Masalah
Ada beberapa teknik pembelajaran holistik:
• Mengajukan pertanyaan: Siswa menanyakan beberapa hal seperti: [1] Apa yang sedang dipelajari? [2] Apa hubungannya dengan topik-topik lain dalam bab yang sama? [3] Apa hubungannya dengan topik-topik lain dalam mata pelajaran yang sama? [4] Adakah hubungannya dengan topik-topik dalam mata pelajaran lain? [5] Adakah hubungannya dengan sesuatu dalam kehidupan sehari-hari?
• Memvisualkan informasi: Guru mengajak siswa untuk menyajikan informasi dalam bentuk gambar, diagram, atau sketsa. Objek atau situasi yang terkait dengan informasi disajikan dalam gambar; sedangkan hubungan informasi itu dengan topik-topik lain dinyatakan dengan diagram. Gambar atau diagram tidak harus indah atau tepat, yang penting bisa mewakili apa yang dibayangkan oleh siswa. Jadi gambar atau diagram dapat berupa sketsa atau coretan kasar. Setelah siswa memvisualkan informasi, mereka dapat diminta menerangkan maksud gambar, diagram, atau sketsa yang dibuatnya.
• Merasakan informasi: Jika informasi tidak dapat atau sukar divisualkan, siswa dapat menangkapnya dengan menggunakan indera lainnya. Misalnya dengan meraba, mengecap, membau, mendengar, atau memperagakan.
D. Tujuan
Tujuan pendidikan holistik adalah membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demoktaris dan humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui pendidikan holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri (learning to be).
Dalam arti dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan karakter dan emosionalnya (Basil Bernstein).
Ada sejumlah tujuan terkait dengan pendekatan ini, antara lain:
* Pemecahan masalah
* Menganalisis pengalaman, kasus
* Mengerjakan rencana strategis
* Melahirkan gagasan kreatif
* Mencari dan menjaring informasi
* Merumuskan pertanyaan
* Menciptakan model mental
* Menerapkan gagasan bagus pada pekerjaan.
* Menciptakan makna pribadi
* Meramalkan implikasi suatu gagasan.
BAB II
Teori Pendekatan Pembelajaran Holistik
Belakangan ini ada sebuah teori belajar aktif yang dinamakan teori holistik. Dave Meier dalam bukunya The Accelerated Learning Handbook (Kaifa, 2002), mengemukakan bahwa konsep guru mengenai siapa manusia yang diajarinya (murid) menentukan sekali terhadap kegiatan belajar yang direncanakan dan dikelolanya. Meier mengkritik kecenderungan pendidikan di Barat yang memandang manusia hanya sebagai tubuh dan pikiran. Aktivitas tubuh dan pikiran dipisahkan dalam kegiatan belajar. Pembelajaran sangat kaku. Selain itu pembelajaran individual amat ditekankan. Cara berpikir ilmiah pun sangat diutamakan. Peranan media cetak dalam belajar seperti buku sumber utama sangat ditekankan.
A. Teori Dave Meier
Dari penelitiannya, Dave Meier berpendapat bahwa manusia memiliki empat dimensi yakni: tubuh atau somatis (S), pendengaran atau auditori (A), penglihatan atau visual (V), dan pemikiran atau intelek (I). Bertolak dari pandangan ini ia mengajukan model pembelajaran aktif yang disingkat SAVI (somatis, auditori, visual dan intelektual). Dengan pemahaman ini beliau mengajukan sejumlah prinsip pokok dalam belajar, yakni:
1 – Belajar melibatkan seluruh tubuh dan pikiran
2 – Belajar adalah berkreasi, bukan mengkonsumsi.
3 – Kerjasama membantu proses belajar.
4 – Pembelajaran berlangsung pada banyak tingkatan secara simultan.
5 – Belajar berasal dari mengerjakan pekerjaan itu sendiri.
6 – Emosi positif sangat membantu pembelajaran.
7 – Otak-citra menyerap informasi secara langsung dan otomatis.
Sekarang, marilah kita simak pokok-pokok pikiran Meier, bagaimana prinsip kegiatan belajar berdasarkan prinsip SAVI itu. Pertama, belajar somatis, belajar dengan bergerak dan berbuat. Apa sajakah yang dapat dilakukan? Jawabnya ialah:
* Membuat model dalam suatu proses.
* Secara fisik menggerakkan berbagai komponen dalam suatu proses atau sistem
* Menciptakan bagan, diagram, piktogram.
* Memeragakan suatu proses, sistem, atau seperangkat konsep.
* Mendapatkan pengalaman, lalu membicarakannya dan merefleksikannya.
* Melengkapi suatu proyek yang memerlukan kegiatan fisik.
* Menjalankan belajar aktif (simulasi,permainan belajar,dan lain-lain)
*Melakukan tinjauan lapangan. Lalu menuliskan, menggambar dan membicarakan apa yang dipelajari.
* Mewawancarai orang di luar kelas.
* Dalam tim, menciptakan pelatihan pembelajaran aktif bagi seluruh kelas.
Kedua, belajar auditori (A), kegiatan mendengar dan berbicara. Apa saja yang dilakukan dalam kegiatan?
* Membaca keras dari bahan sumber.
* Membaca paragraf dan memberikan maknanya.
* Membuat rekaman suara sendiri.
* Menceritakan buku yang dibaca.
* Membicarakan apa yang dipelajari dan bagaimana menerapkannya.
* Meminta pelajar memperagakan sesuatu dan menjelaskan apa yang dilakukan.
* Bersama-sama membaca puisi, menyanyi.
Ketiga, belajar visual (V), kegiatan melihat, mengamati, memperhatikan. Apa sajakah kegiatan dalam pendekatan ini?
* Mengamati gambar dan memaknainya.
* Memperhatikan grafik atau membuatnya.
* Melihat benda tiga dimensi.
* Menonton video, film.
* Kreasi piktogram
* Pengamatan lapangan
* Dekorasi warna-warni
Keempat, belajar intelektual (I), kegiatan mencipta, merenungkan, memaknai, memecahkan masalah. Ada sejumlah kegiatan terkait dengan pendekatan ini, antara lain:
* Pemecahan masalah
* Menganalisis pengalaman, kasus
* Mengerjakan rencana strategis
* Melahirkan gagasan kreatif
* Mencari dan menjaring informasi
* Merumuskan pertanyaan
* Menciptakan model mental
* Menerapkan gagasan bagus pada pekerjaan.
* Menciptakan makna pribadi
* Meramalkan implikasi suatu gagasan.
B. Teori Wilhelm Dilthey
Istilah holistik bisa ditelusuri dari pandangan filsuf Jerman, Wilhelm Dilthey (1833-1911). Dilthey hidup pada masa ketika filsafat idealisme Hegel sedang jatuh dan ditumbangkan oleh positivisme. Pemikiran ilmu alam yang ditandai metode erklaren (eksplanasi) menjadi pemikiran yang mendominasi seluruh bangunan ilmiah. Dilthey lalu mengembangkan pemikiran tentang verstehen (understanding) sebagai bentuk gugatan pada ilmu yang terlampau positivistik. Verstehen dilahirkan dalam bingkai kritik sejarah dan ikhtiar memunculkan human science.
C. Teori Dilthey
Menurut Dilthey, holistik adalah hubungan melingkar antara part (sebagian) dan whole (keseluruhan). Ia mendefenisikan holistik sebagai perputaran antara part (bagian) dan whole (keseluruhan) dalam memahami sesuatu. Part (bagian) bisa dipahami ketika direlasikan dengan part yang lain hingga membentuk totalitas atau whole (keseluruhan). Pemikiran Diltey tentang holistik ini menjadi bagian penting dari penjelasannya tentang lingkar hermeneutik (hermeneutical circle). Mengacu Webster’s Dictionary, holistik juga dipakai dalam ranah biologi dan kesehatan. Holistik dimaknai sebagai teori tentang pentingnya melihat seluruh aspek tubuh manusia baik menyangkut fisik, mental, hingga kondisi sosial dalam pencegahan penyakit. Holistik adalah sebuah totalitas dari keseluruhan aspek fisik dan nonfisik manusia. Asumsinya adalah bagian tubuh manusia tidak mungkin berdiri sendiri, melainkan memiliki relasi (hubungan yang sangat erat dengan bagian tubuh lainnya.
Pada ranah ilmiah, konsep holistik banyak dipakai sebagai bentuk kritikan pada perspektif Cartesian-Newtonian yang senantiasa melihat alam sebagai sesuatu yang terpisah-pisah atau terpencar-pencar. Perspektif Cartesian-Newtonian ini tidak melihat alam semesta dan manusia sebagai sesuatu yang terintegrasi atau memiliki kaitan erat. Kehadiran perspektif holistik sebagai bentuk counter discourse (wacana tanding) dan memberikan pemahaman tentang adanya aspek yang saling terkait antara manusia dan alam serta pahaman akan leburnya batas-batas yang ketat di antara displin ilmu.
Dalam ranah antropologi, holistik serta komparasi menjadi konsep yang sangat sentral. Dalam konteks ini, holistik adalah adanya totalitas atau keterkaitan antara berbagai aspek dalam menjelaskan tentang manusia dan masyarakat. Dalam ranah ilmu sosial, holistik berawal dari gagasan yang tumbuh subur pada disiplin ilmu biologi. Ilmuwan sosial asal Inggris, Herbert Spencer (1820-1903) membangun analogi holistik pada biologi dan diterapkan untuk melihat masyarakat. Pemikirannya kerap disebut sebagai analogi organik. Ia mengatakan kalau kemajuan sosial adalah konsekuensi dari evolusi sistem sosial. Spencer memandang masyarakat berkembang seperti hewan atau organisme tumbuhan.
Ia menganalisis pokok adaptif sosial budaya yaitu organisasi sosial, ekonomi, agama, dan politik. Menurutnya, keempat unsur ini memiliki analogi dengan aspek biologi tubuh manusia yaitu politik dengan sistem saraf, ekonomi dengan sistem pencernaan, organisasi sosial dengan sistem peredaran darah, hingga agama dengan sistem pernapasan. Pemikiran ini melihat bahwa masing-masing organ pada manusia memiliki keterkaitan antara struktur dan fungsi masing-masing. Ada relasi atau hubungan yang sifatnya fungsional. Pemikiran Spencer tentang hubungan antara struktur dan fungsi ini menjadi salah satu argumen dari aliran struktural fungsional dalam antropologi. Pemikiran dari aspek biologi ini juga mempengaruhi pemikiran dari pendiri aliran fungsionalis struktural dalam antropologi yaitu AR Radcliffe Brown. Brown berpendapat dalam setiap kebiasaan dan kepercayaan dalam masyarakat mempunyai fungsi tertentu, yang bertujuan untuk melestarikan struktur masyarakat yang bersangkutan – susunan bagian-bagiannya yang teratur – sehingga masyarakat tersebut dapat tetap lestari.
Nah, keempat bentuk adaptif sosial budaya itu menyebabkan paradigma struktural fungsional kuat. Keempatnya menjadi penopang sebab memiliki relasi satu sama lain. Gagasan fungsionalisme struktural cenderung bersifat ajek (statis) sehingga menganggap struktur sosial cenderung ekuilibrium (seimbang). Ketika dihadapkan pada isu perubahan, maka fungsionalisme struktural seakan tidak mampu memberikan penjelasan yang memadai. Inilai yang menyebabkan lahirnya berbagai kritikan sebagaimana yang disuarakan penganut paradigma konflik.
Isu perubahan sudah mulai mencuat sejak akhir abad ke-20. Masyarakat memasuki fase baru sejarah yang kian kompleks. Batasan etnisitas, bangsa kian mengalami pergeseran. Wacana globalisasi kian menguat hingga menyebabkan terjadinya peleburan batas kenegaraan atau disebut Appadurai (2004) sebagai deteritorialisasi. Appadurai melihat aktivitas kebudayaan yang kerap disebutnya sebagai imaginary atau proses imajinasi sosial. Menurutnya, iamajinasi itu dibentuk dari lima dimensi mengalirnya kebudayaan global yaitu Ethnoscapes, Mediascapes, Technoscapes, Financescapes, ideoscapes.
Istilah scape, digunakan untuk menggambarkan secara lebih dalam konstruksi perspektif yang ada dalam sejarah, linguistik, dan politik, yang diperankan secara berbeda oleh sejumlah aktor dalam konteks nation-state, multinasional, komunitas diasporik. Ini juga termasuk kelompok sub nasional yang berpindah-pindah seperti halnya agama ataupun ekonomi politik. Gagasan ini berasal dari Benedict Anderson yang terkenal dengan tesisnya tentang imagined community atau komunitas terbayang.
Pola-pola restrukturisasi ekonomi, rasionalisasi, migrasi, dan mobilitas ini melahirkan identitas baru, baik etnik, reginal, nasional, dan migran yang berorientasi pada konsumen dan media. Mike Fischer dan Marcus (1986) menyebut pristiwa ini sebagai krisis representasi yang harus segera mendapatkan respon dari para antropolog. Ini menyebabkan terjadinya pergeseran pada etnografi. Menurut Marcus, harus ada imajinasi ulang (reimagining) terhadap frame holistik agar etnografi senantiasa sensitif dalam merespon perubahan dari lanskap dunia yang terus berubah.
Jika sebelumnya, perspektif tentang holistik hanya terbatas pada satu struktur sosial, kini harus mengalami pergeseran. Robert Thornton (1988:288) mengatakan, pandangan holistik harus bergeser pada upaya untuk mengenali totalitas yang ada pada satu kebudayaan. Pandangan holistik menuntut seorang peneliti antropologi untuk mengkaji setiap aspek idiosinkratik dari suatu kebudayaan. Idiosinkratik bisa didefinisikan sebagai penjelasan tentang hal-hal yang spesifik atau unik dalam setiap kebudayaan. Artinya, seorang peneliti memfokuskan dirinya untuk mengkaji satu kebudayaan dan menggali informasi yang sebanyak-banyaknya serta melihat keterkaitan antara setiap aspek dalam kebudayaan tersebut.
Pandangan holistik harus ditempatkan sebagai kritik dan pengkajian sebuah kebudayaan secara menyeluruh atau totalitas dan ditempatkan pada relasinya dengan unsur lain. Kata Marcus, ini berarti etnografi akan lebuh banyak “berbicara lebih jauh” (say more) di banding apa yang ada di permukaan. Analisa holistik yang sangat mendalam membatasi peneliti hanya mengkaji satu kebudayaan saja karena tidak ada kebudayaan lain yang dapat diperbandingkan untuk semua unsur detail dari kebudayaan yang dikaji.
BAB III
Implikasi Teori Pendekatan Pembelajaran Holistik Dalam Praksis Pembelajaran
A. Paradigma holistik
Paradigma holistik memperhitungkan berbagai faktor secara menyeluruh , bukan hanya melihat sebagian (partial) saja.
Contohnya untuk menangani banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau di pulau Jawa, orang harus melihat bahwa faktor utama adalah karena jumlah penduduk pulau Jawa sudah melampaui daya dukungnya sehingga usaha pelestarian lingkungan , dan normalisasi sungai sulit sekali dilakukan.
Pemecahanya harus melihat secara keseluruhan terkait juga dengan masalah lain, misalnya kemacetan lalu lintas dan menggunungnya sampah/polusi.
Pemecahan dengan memakai paradigma holistik :
Pindahkan pusat ekonomidan industri ke luar pulau Jawa sehingga terjadi transmigrasi alami. Jika hal ini terjadi maka pengaturan pelestarian hutan, pengembalian daerah resapan, penghijauan dan normalisasi sungai akan mudah dilakukan.
Dengan pemahaman ini beliau mengajukan sejumlah prinsip pokok dalam belajar, yakni:
1 – Belajar melibatkan seluruh tubuh dan pikiran.
2 – Belajar adalah berkreasi, bukan mengkonsumsi.
3 – Kerjasama membantu proses belajar.
4 – Pembelajaran berlangsung pada banyak tingkatan secara simultan.
5 – Belajar berasal dari mengerjakan pekerjaan itu sendiri.
6 – Emosi positif sangat membantu pembelajaran.
7 – Otak-citra menyerap informasi secara langsung dan otomatis.
Sekarang, marilah kita simak pokok-pokok pikiran Meier, bagaimana prinsip kegiatan belajar berdasarkan prinsip SAVI itu.
Pertama, belajar somatis, belajar dengan bergerak dan berbuat. Apa sajakah yang dapat dilakukan? Jawabnya ialah:
* Membuat model dalam suatu proses.
* Secara fisik menggerakkan berbagai komponen dalam suatu proses atau sistem
* Menciptakan bagan, diagram, piktogram.
* Memeragakan suatu proses, sistem, atau seperangkat konsep.
* Mendapatkan pengalaman, lalu membicarakannya dan merefleksikannya.
* Melengkapi suatu proyek yang memerlukan kegiatan fisik.
* Menjalankan pelatihan belajar aktif (simulasi, permainan belajar, dan lain-lain)
* Melakukan tinjauan lapangan. Lalu menuliskan, menggembar dan membicarakan apa yang dipelajari.
* Mewawancarai orang di luar kelas.
* Dalam tim, menciptakan pelatihan pembelajaran aktif bagi seluruh kelas.
Kedua, belajar auditori (A), kegiatan mendengar dan berbicara. Apa saja yang dilakukan dalam kegiatan?
* Membaca keras dari bahan sumber.
* Membaca paragraf dan memberikan maknanya.
* Membuat rekaman suara sendiri.
* Menceritakan buku yang dibaca.
* Membicarakan apa yang dipelajari dan bagaimana menerapkannya.
* Meminta pelajar memperagakan sesuatu dan menjelaskan apa yang dilakukan.
* Bersama-sama membaca puisi, menyanyi.
Ketiga, belajar visual (V), kegiatan melihat, mengamati, memperhatikan. Apa sajakah kegiatan dalam pendekatan ini?
* Mengamati gambar dan memaknainya.
* Memperhatikan grafik atau membuatnya.
* Melihat benda tiga dimensi.
* Menonton video, film.
* Kreasi piktogram
* Pengamatan lapangan
* Dekorasi warna-warni
Keempat, belajar intelektual (I), kegiatan mencipta, merenungkan, memaknai, memecahkan masalah. Ada sejumlah kegiatan terkait dengan pendekatan ini, antara lain:
* Pemecahan masalah
* Menganalisis pengalaman, kasus
* Mengerjakan rencana strategis
* Melahirkan gagasan kreatif
* Mencari dan menjaring informasi
* Merumuskan pertanyaan
* Menciptakan model mental
* Menerapkan gagasan bagus pada pekerjaan.
* Menciptakan makna pribadi
* Meramalkan implikasi suatu gagasan.
B. Metode Pembelajaran Holistik
Pembelajaran holistik dapat dilaksanakan dengan 2 macam metode:
• Belajar melalui keseluruhan bagian otak: Bahan palajaran dipelajari dengan melibatkan sebanyak mungkin indera; juga melibatkan berbagai tingkatan keterlibatan, yaitu: indera, emosional, dan intelektual.
• Belajar melalui kecerdasan majemuk (multiple intelligences): Siswa mempelajari materi pelajaran dengan menggunakan jenis kecerdasan yang paling menonjol dalam dirnya.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembelajaran holistik (holistic learning) adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada pemahaman informasi dan mengkaitkannya dengan topik-topik lain sehingga terbangun kerangka pengetahuan. Dalam pembelajaran holistik, diterapkan prinsip bahwa siswa akan belajar lebih efektif jika semua aspek pribadinya (pikiran, tubuh dan jiwa) dilibatkan dalam pengalaman siswa.
Sekolah hendaknya menjadi tempat peserta didik dan guru bekerja guna mencapai tujuan yang saling menguntungkan. Komunikasi yang terbuka dan jujur sangat penting, perbedaan individu dihargai dan kerjasama lebih utama dari pada kompetisi.
Gagasan pendidikan holistik telah mendorong terbentuknya model-model pendidikan alternatif, yang mungkin dalam penyelenggaraannya sangat jauh berbeda dengan pendidikan pada umumnya, salah satunya adalah homeschooling, yang saat ini sedang berkembang, termasuk di Indonesia.
Pendidikan holistik memperhatikan kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spritual. Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif, oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan bagaimana orang belajar.
Dari berbagai uraian di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
- Belajar melibatkan seluruh tubuh dan pikiran.
- Belajar adalah berkreasi, bukan mengkonsumsi.
- Kerjasama membantu proses belajar.
- Pembelajaran berlangsung pada banyak tingkatan secara simultan.
- Belajar berasal dari mengerjakan pekerjaan itu sendiri.
- Emosi positif sangat membantu pembelajaran.
- Otak-citra menyerap informasi secara langsung dan otomatis.
B. Saran
Pertama, belajar somatis, belajar dengan bergerak dan berbuat. Apa sajakah yang dapat dilakukan? Jawabnya ialah:
* Membuat model dalam suatu proses.
* Secara fisik menggerakkan berbagai komponen dalam suatu proses atau sistem
* Menciptakan bagan, diagram, piktogram.
* Memeragakan suatu proses, sistem, atau seperangkat konsep.
* Mendapatkan pengalaman, lalu membicarakannya dan merefleksikannya.
* Melengkapi suatu proyek yang memerlukan kegiatan fisik.
* Menjalankan pelatihan belajar aktif (simulasi, permainan belajar, dan lain-lain)
* Melakukan tinjauan lapangan. Lalu menuliskan, menggembar dan membicarakan
DAFTAR PUSTAKA
Suryadi, Ace. Pendidikan, Investasi SDM, dan Pengembangan: Isu.Teori dan Aplikasi. Pusat Informatika Balitbang Dikbud. Jakarta.2010
Tilaar, H.A.R., Peta Permasalahan Pendidikan Dewa Ini, Perlunya Visi dan Rencana Strategi Pendidikan dan pelatihan Nasional berorientasi Masa Depan, Seminar Ilmiah ISKA, November 2009.
Tilaar, H.A.R., Pengembangan Sumber Daya manusia dalam Era Globalisasi, Grasindo, Jakarta, 2008.
Haddad, Wadi D., The Dynamich of Education Policymaking. The World Bank, Washington, D.C.
Tilaar, H.A.R., Pengembangan SDM Indonesia Unggul Menghadapi masyarakat Kompetitif Era Globalisasi, Pidato Ilmiah pada Acara Wisuda Tinggi Manajemen Bandung, 26 Agustus 2010.
Tilaar, H.A.R., Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi, Grasindo, Jakarta, 2009.
Tilaar, H.A.R., In Search of New Paradigms in Educational Management and Leadership based on Indigenous Culture: The Indonesian Case, Keynote speech, First Asean/ASEAN Symposium on Educational Manajemen and Leadership, Genting Highlands, Kuala Lumpur, 27-29 Agust, 2009.
Tilaar, H.A.R., Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional: Dalam Perspektif Abad 21. Indonesia Tera, 21 Maret 2008. (Ippank)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar