Halaman

Sabtu, 28 Januari 2012

POLIGAMI TANPA IZIN ISTRI PERTAMA???

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Saya suami yang mempunyai 2 orang anak dan 2 orang istri...
Akan tetapi pernikahan saya dgn istri yg kedua tidak diketahui oleh orang tua saya dan istri pertama saya (tanpa seizin mereka). Saya menikah lagi karena keinginan tuk tidak mendekati zina... tapi sekarang-sekarang ini istri pertama dan orang tua saya sudah mengetahui saya menikah lagi. yang menjadi pertanyaan saya
  1. Salahkah pernikahan saya yg ke dua
  2. Istri pertama tidak mau dimadu dan meminta cerai sedangkan saya tidak menginginkan perceraian
  3. Hak asuh anak harus dgn siapa anak saya dua-duanya dari istri pertama. anak pertama usia 10 th yang kedua 3 tahun.
  4. Bagaimana cara saya meyakinkan istri pertama saya itu untuk tetap tidak bercerai.
trima kasih untuk memberikan solusi atas permasalahan saya ini. saya ucapkan trima kasih smoga ustad dan saya slalu dalam rido Ilahi.
assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Abi
Abi

Jawaban

Wa’alaikumussalam Wr Wb
Poligami Tanpa Seizin Isteri Pertama
Poligami merupakan sesuatu yang disyariatkan didalam islam, sebagaimana firman Allah swt :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا (3)
Artinya : “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An Nisa : 3)
Poligami bukanlah sebuah kewajiban didalam islam namun bagi siapa yang memiliki kemampuan untuk melakukannya tanpa berbuat zhalim didalamnya maka dibolehkan baginya berpoligami. Sebaliknya bagi siapa yang tidak mampu berlaku adil atau akan berbuat zhalim jika dirinya berpoligami maka hendaklah tidak menambah isterinya lebih dari satu.
Dan terhadap apa yang anda alami yaitu berpoligami dikarenakan khawatir terjatuh didalam kemaksiatan dan perzinahan atau menjaga kesucian diri anda maka poligami yang anda lakukan dibenarkan agama dengan keharusan bagi anda untuk berlaku adil terhadap kedua isteri anda dalam bermalam, tempat tinggal, nafkah dan sejenisnya meskipun tanpa seizin atau ridho isteri pertama anda.
Al Lajnah ad Daimah ketika ditanya tentang permasalahan ini maka dijawab,”Tidaklah ada keharusan bagi seorang suami jika hendak menikah dengan yang kedua mendapatkan ridho dari isteri pertamanya. Akan tetapi diantara keutamaan akhlak dan kebaikan didalam mu’asyarah (pergaulaan suami isteri) adalah meminimalisir dampaknya serta meringankan sakit hatinya yang merupakan tabiat para wanita dalam perkara seperti ini. Hal demikian bisa dengan menampakkan wajah yang berseri-seri, kehangatan ketika bertemu dan keindahan perkataan atau sejumlah harta jika memang hal demikian dituntut untuk mendapatkan keredhoannya. (al Lajnah ad Daimah li al Buhuts al Ilmiyah wa al Ifta’ No. 2036)
Isteri Pertama Minta Dicerai Karena Tidak Ingin Dimadu
Dalam kondisi anda yang demikian maka tidak seharusnya isteri anda menolak poligami yang anda lakukan karena apa yang anda lakukan sejalan dengan apa yang disyariatkan Allah swt didalam al Qur’an dan perbuatan Rasul-Nya didalam as Sunnah.
Memang menjadi tabiat wanita adanya kecemburuan didalam dirinya ketika terdapat wanita selainnya di dalam kehidupan rumah tangganya bahkan kecemburuan ini juga ada didalam diri para isteri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi hendaklah dirinya tidak dikuasai oleh kecemburuannya itu untuk melanggar apa-apa yang telah disyariatkan Allah swt.
Jadi tidak seharusnya bagi isteri anda menuntut perceraian dikarenakan poligami anda karena alasan semacam ini bukanlah yang dibenarkan baginya.
Abu Daud meriwayatkan dari Tsauban, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Siapapun wanita yang meminta cerai kepada suaminya bukan karena kesalahan, maka haram baginya bau surga."
Untuk itu hendaklah berusaha menasehati isteri anda agar mengurungkan niatnya tersebut karena hal tersebut tidaklah disukai Allah dan Rasul-Nya. Dan sesungguhnya diantara ciri seorang wanita mukminah adalah tunduk dengan segala ketetapan dan aturan Allah swt seperti disebutkan didalam firman-Nya :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ (36)
Artinya : “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS. Al Ahzab : 36)
Hal terpenting lainnya yang juga tidak boleh anda lupakan adalah berdoa kepada Allah swt agar diluruhkan hatinya dan menerima segala ketetapan-Nya dengan ridho dan penyerahan diri yang penuh.
Jika seluruh upaya anda diatas untuk menyadarkan isteri pertama anda tidak berhasil dan dirinya tetap besikukuh agar anda menceraikannya maka hendaklah anda meminta petunjuk kepada Allah swt kemudian bermusyawarahlah dan mintalah masukan serta nasehat dari orang-orang alim dan bijak yang dekat dengan anda. Lalu ambilah keputusan yang paling tepat dan paling bermanfaat buat anda berdua apakah bercerai atau tidak.
Hak Asuh Anak
Adapun jika terjadi perceraian maka hak asuh anak anda yang berusia 3 tahun ada pada ibunya selama dirinya belum menikah dengan lelaki lain, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Baihaqi dari Abdullah bin ‘Amr disebutkan bahwa seorang wanita berkata, “Ya Rasul Allah, sesungguhnya anak saya ini, perut sayalah yang telah mengandungnya, dan payudara sayalah yang telah menjadi minumannya dan haribaankulah yang melindunginya. Tapi bapaknya telah menceraikan aku dan hendak menceraikan anakku pula dari sisiku.” Maka bersabdalah Rasulullah saw. : “Engkaulah yang lebih berhak akan anak itu, selagi belum kawin (dengan orang lain).”
Adapun anak anda yang berusia 10 tahun—telah melewati usia tamyiz—maka diberikan pilihan kepadanya : apakah dirinya tetap bersama anda ataukah bersama ibunya tergantung mana yang lebih maslahat bagi si anak.
Para ulama Syafi’i berpendapat bahwa pengasuhan berlangsung hingga si anak mencapai usia tamyiz baik si anak itu laki-laki atau perempuan. Jika ia telah mencapai usia tamyiz—sekitar usia 7 atau 8 tahun—maka diberikan pilihan kepadanya antara ayahnya atau ibunya. Jika si anak memilih salah satu dari keduanya maka si anak diberikan kepadanya dan jika si anak menarik kembali dan memilih yang kedua maka si anak dipindahkan kepadanya.
Demikianlah (perlakuan terhadapnya) setiap kali dia merubah pilihannya karena terkadang terjadi perubahan keadaan pada diri si pengasuh atau perubahan pendapat pada diri si anak setelah ia menentukan pilihannya kecuali jika hal (perubahan) itu terlalu sering sehingga diyakini bahwa sebabnya adalah masih kurang tamyiznya maka ia ditetapkan bersama ibunya dan pilihannya diabaikan. Dan jika si anak menolak memberikan pilihan maka si ibu lebih utama karena ibu lebih memilki rasa sayang dan yang menyertainya selama ini.. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 6128 – 6129)
Wallahu A’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar