Dalam sejarah kurikulum di Indonesia, kita mengenal beberapa
kurikulum. Pada Masa orde lama, di kenal kurikulum 1947, 1952 dan 1964.
Masa orde baru muncul kurikulum 1975 yang disempurnakan menjadi
Kurikulum CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) dan disempurnakan lagi menjadi
kurikulum 1994. Era reformasi, muncul kurikulum 2004, yang diberi nama
kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Selama masa berlakunya, KBK ini
mengalami perubahan pada pola standar isi dan standar kompetensi
sehingga melahirkan kurikulum baru yang diberi nama Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP)
Setiap kurikulum yang pernah dipakai masing-masing memiliki kelebihan
dan kelemahan. Kelebihan KTSP dibandingkan dengan kurikulum
pendahulunya adalah bahwa KTSP dapaty mendorong terwujudnya otonomi
penyelenggaraan pendidikan oleh Sekolah. Dengan otonomi tersebut,
sekolah bersama dengan komite sekolah dapat secara bersama-sama
merumuskan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi
lingkungan sekolah tersebut. Dalam merumuskan KTSP, sekolah tidak bisa
berjalan sendiri tetapi harus bermitra dengan stakeholder pendidikan,
misalnya, dunia industri, kerajinan, pariwisata, petani, nelayan,
organisasi profesi, dan sebagainya agar kurikulum yang dibuat oleh
sekolah benar-benar mampu menjawab dan memenuhi kebutuhan di daerah di
mana sekolah tersebut berada.
KTSP juga dapat mendorong guru dan kepala sekolah untuk meningkatkan
kreativitas mereka dalam penyelenggaraan program pendidikan. Sekolah
dan guru diberi keleluasaan untuk merancang, mengembangkan, dan
mengimplementasikan KTSP tersebut sesuai dengan situasi, kondisi, dan
potensi keunggulan lokal yang bisa dimunculkan oleh sekolah. Sekolah dan
guru dapat dengan leluasa mengembangkan standar yang lebih tinggi dari
standar isi dan standar kompetensi lulusan yang telah ditentukan. KTSP
juga memberikan ruang bagi setiap sekolah untuk lebih menitikberatkan
dan mengembangkan mata pelajaran tertentu yang akseptabel bagi kebutuhan
siswa. Sekolah dan guru memiliki kebebasan yang luar biasa untuk
mengembangkan kompetensi siswanya sesuai dengan lingkungan dan kultur
daerahnya.,karena KTSP tidak mengatur secara rinci kegiatan belajar
mengajar di kelas.
Dalam penerapannya, KTSP menemui banyak kendala seperti masih
minimnya kualitas guru dan sekolah. Sebagian besar guru belum bisa
diharapkan memberikan kontribusi pemikiran dan ide-ide kreatif untuk
menjabarkan KTSP tersebut baik di atas kertas maupun di depan kelas.
Selain disebabkan oleh rendahnya kualifikasi, juga disebabkan pola
kurikulum lama yang terlanjur mengekang kreativitas guru. Tidak
tersedianya sarana dan prasarana yang lengkap dan representatif juga
merupakan kendala yang banyak dijumpai di lapangan, banyak satuan
pendidikan yang minim alat peraga, laboratorium serta fasilitas
penunjang yang menjadi syarat utama pemberlakuan KTSP.
Terlepas dari kendala tersebut, pada masa awal pemberlakuan KTSP
cukup membawa angin segar pada sistem pendidikan di Indonesia. Secara
prinsip, KTSP dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi,
kerakteristik daerah dan sosial budaya masyarakat setempat. KTSP
dianggap sebagai kurikulum otonom yang berbasis kerakyatan, karena dalam
KTSP dijamin adanya muatan kearifan lokal, guru juga diberikan
kesempatan untuk memaksimalkan segala potensi yang ada dimasing-masing
daerah.
KTSP terbukti sangat ideal dalam tataran konsep tertulis, namun
ternyata tidak demikian dalam tataran praktek. KTSP yang dianggap
sebagai kurikulum yang otonomi (desentralisasi), karena disusun oleh
setiap satuan pendidikan, namun pada kenyataannya tetap saja bersifat
sentralisme, yaitu melalui penyeragaman-penyeragaman, standar isi dan
kompetensinya telah ditentukan oleh pusat. Standarisasi kelulusan
setiap peserta didik tetap diukur dengan menggunakan UAN yang nota bene
bersifat nasional. Ini jelas kontradiktif dengan semangat KTSP yang
mengakomodir kearifan lokal sebagai komponen penting pendidikan.
Merupakan tindakan tidak tepat apabila kualitas pendidikan di desa
disamakan dengan kualitas pendidikan di kota. Hal tersebut sudah dapat
dipastikan bahwa KTSP yang bersifat otonom (desentralis), akan ‘MATI
KUTU” dan tidak ada artinya jika berhadapan dengan UAN yang sangat
sentralistik.
Bagaimana dengan kita..? Kita tidak boleh hanya berkeluh kesah,
menyalahkan, dan mengkritik. Tapi, Mari kita singsingkan lengan baju dan
berbuat sesuatu. Jangan “gadaikan” masa depan penerus dan harapan
bangsa hanya karena secuil kendala dan kelemahan, Lakukan apa yang bisa
kita lakukan, jangan menunggu orang lain, lakukan sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar