Halaman

Sabtu, 16 Juni 2012

HOLISTIK DAN KTSP


Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional, kurikulum yang berlaku sejak tahun ajaran 2006/2007 adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 2004 (KBK) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan/sekolah (Muslich, 2007). Terdapat 12 acuan operasional yang harus dipenuhi dalam penyusunan KTSP. Dua dari 12 acuan operasional yang ada tersebut berkaitan dengan pengetahuan lokal masyarakat setempat, yaitu: keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan, dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
            Komponen KTSP terdiri dari Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL). SI merupakan cakupan materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. SI mencakup kerangka dasar dan struktur kurikulum, Standar Kompetensi (SK) dan Standar Dasar (SD) setiap mata pelajaran pada setiap semester dari setiap jenis jenjang pendidikan dasar dan menengah.  SKL merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap pengetahuan dan ketermapilan.
Pendidikan Holistik
Pendidikan holistik adalah suatu metode pendidikan yang membangun manusia secara keseluruhan dan utuh dengan mengembangkan semua potensi manusia yang mencakup potensi sosial-emosi, potensi intelektual, potensi moral atau karakter, kreatifitas, dan spiritual. Tujuan pendidikan holistik adalah untuk membentuk manusia holistik. Manusia holistik adalah manusia yang mampu mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam dirinya. Potensi yang ada dalam diri manusia meliputi potensi akademik, potensi fisik, potensi sosial, potensi kreatif, potensi emosi dan potensi spiritual (Megawangi, et. al., 2005). Manusia holistik selalu menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari sebuah sistem kehidupan yang luas, sehingga selalu ingin memberikan kontribusi positif kepada lingkungan hidupnya (Megawangi, et. al., 2005). Manusia holistik dan berkarakter merupakan social capital bagi perkembangan suatu bangsa.  Terdapat tiga prinsip pendidikan holistik, yaitu: keterkaitan (connectedness) mengungkapkan bahwa ada hubungan antara satu bagian dan bagian lainnya dalam suatu sistem, keutuhan (wholeness) merupakan prinsip yang memperhatikan semua segi dalam kehidupan secara menyeluruh dan utuh, proses menjadi (being) prinsip ini ditonjolkan dengan pendekatan proses, siswa diaktifkan untuk mencari, menemukan dan berkembang sesuai dengan keputusan dan tanggungjawabnya (Latifah, 2008).
Aplikasi Konsep Pendidikan Holistik dalam Kurikulum
Pendidikan holistik merupakan sesuatu yang baru dalam sistem pendidikan di Indonesia, terutama implementasinya pada kurikulum yang ada. Terdapat beberapa aplikasi untuk menerapkan pendidikan holistik pada kurikulum yang berlaku di Indonesia saat ini. Aplikasi pendidikan holistik tersebut antara lain (Megawangi, et.al., 2005):
1.      Inquiry-Based Learning – pendekatan yang merangsang minat anak atau rasa keingintahuan anak – implementasinya pada kegiatan belajar mengajar adalah dengan memberikan materi yang dapat merangsang minat anak, baik dalam bentuk pertanyaan, keingintahuan, dan keinginan untuk mencoba atau membuat eksperimen.
2.      Collaborative dan Cooperative Learning. Collaborative learning adalah metode yang melibatkan siswa dalam diskusi dalam upaya untuk mencari sebuah solusi yang sedang dipelajari. Implementasi collaborative learning melalui metode cooperative learning, yaitu siswa bekerja bersama-sama dalam kelompok kecil dan melakukan tugas yang sudah terstruktur.
3.      Integrated Learning atau pembelajaran terintegrasi/ terpadu merupakan suatu pembelajaran yang memadukan berbagai materi dalam satu sajian pembelajaran. Inti pembelajaran ini adalah agar siswa memahami keterkaitan antara satu materi dengan materi lain, antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lain.
Kearifan Lokal
Menurut Kat (2006) kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Intinya, kearifan lokal adalah proses bagaimana pengetahuan dihasilkan, disimpan, diterapkan, dikelola, dan diwariskan dalam sebuah masyarakat. Contoh kearifan lokal dalam masyarakat Bali adalah Subak. Subak adalah organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur sistem pengairan sawah yang digunakan dalam cocok tanam padi di Bali. Contoh lain, dalam masyarakat Dawan (Timor) dikenal ritual Fua Pah yang merupakan sebuah tradisi pemujaan kepada Uis Pah (Raja Dunia, Sang Penguasa Tanah) dengan cara memberikan sesaji berupa hewan korban. Tahapan dalam ritual Fua Pah: (1) menebas hutan (lef nono//tafek hau ana), (2) membakar hutan (polo nopo//sifo nopo), (3) menanam (lef boen no’o), pertumbuhan tanaman (eka ho’e), (4) panenan perdana (tasana mate), (5) panenan berakhir (tnibun bola’if ma aen tauf  ( Taum, Y.Y, 2008).
Social Capital
Djohan (2007) mendefinisikan social capital sebagai suatu keadaan yang membuat masyarakat atau sekelompok orang bergerak untuk mencapai tujuan bersama, yang dalam prosesnya gerakan itu ditopang oleh nilai dan norma yang khas, yaitu trust, saling memberi dan menerima, toleransi, penghargaan, partisipasi, kerjasama dan proaktif, serta nilai-nilai positif yang dapat membawa kemajuan bersama. Djohan (2007) menyebutkan bahwa terdapat tujuh unsur penopang social capital, yaitu: partisipasi sosial (Social Participation), timbal-balik (Reciprocity), saling percaya (Trust), penerimaan atas keberagaman (Acceptance of Diversity), perasaan berharga (Sense of  Efficacy), norma dan nilai, serta kerjasama dan proaktif (Cooperation and Proactivity). Robert Putnam, menyebutkan bahwa social capital mempunyai tiga pilar utama sebagai aset dalam pengembangan masyarakat. Ketiga pilar ini adalah kepercayaan, norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat, serta jaringan sosial yang terjalin dalam sistem sosial (Winter dalam Alfiasari, 2008). Satu penelitian yang telah dilakukan mendapatkan hasil bahwa social capital terbukti sangat membantu dalam pembangunan pedesaan (ADB dalam Syahyuti, 2006).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar