Di kalangan masyarakat Islam, masih terdapat ketimpangan yang tajam antara kesalehan individual dan kesalehan sosial.
Banyak orang yang saleh secara individual, namun tidak atau kurang saleh secara sosial.
Kesalehan
individual menunjuk pada prilaku orang-orang yang lebih menekankan dan
mementingkan pelaksanaan ibadah ritual, seperti salat, puasa, zakat,
haji, zikir, dan lainnya. Kesalehan individusal sering juga disebut
kesalehan ritual.
Disebut kesalehan ritual/individual karena
lebih mementingkan untuk melaksanakan ibadah yang bersifat ritual,
semata-mata berhubungan dengan Tuhan dan kepentingan diri sendiri,
sementara pada saat yang sama tidak memiliki kepekaan sosial dan kurang
menerapkan nilai-nilai Islami dalam kehidupan bermasyarakat.
Pendek kata, hanya mementingkan hablum minallah, tidak disertai hablum minan nas.
Sedangkan
kesalehan sosial menunjuk pada perilaku orang-orang yang sangat peduli
dengan nilai-nilai Islami, yang bersifat sosial.
Bersikap santun
pada orang lain, suka menolong, menghargai hak sesama; perhatian pada
masalah-masalah umat, memiliki kepedulian sosial, dan seterusnya.
Kesalehan
sosial dengan demikian adalah suatu bentuk kesalehan yang tak cuma
ditandai oleh pelaksanaan ibadah formil dan ritual semata seperti rukuk
dan sujud, puasa dan haji, melainkan juga ditandai oleh seberapa besar
seseorang memiliki kepekaan sosial dan berbuat kebaikan untuk
orang-orang di sekitarnya.
Sehingga keberadaannya dirasakan sebagai rahmatan lil alamin.
Dalam
Islam, sebenarnya kedua corak kesalehan itu merupakan suatu kemestian
yang tak dapat ditawar, keduanya harus dimiliki seorang Muslim, baik
kesalehan individual maupun kesalehan sosial.
Agama mengajarkan
Udkhuluu fis silmi kaffah, bahwa kesalehan dalam Islam mestilah secara
total! Saleh secara individual (ritual) juga saleh secara sosial.
Karena
ibadah ritual selain bertujuan pengabdian diri pada Allah juga
bertujuan untuk mengarahkan dan membentuk karakteristik jiwa yang baik,
membentuk kepribadian yang Islami, sehingga punya dampak positif
terhadap kehidupan sosial, atau hubungan sesama manusia.
Dalam
sebuah hadis dikisahkan, suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita
tentang seorang yang rajin salat di malam hari dan puasa di siang hari,
tetapi lidahnya menyakiti tetangganya.
Apa komentar Nabi
tentang dia, singkat saja. ‘’Ia di neraka,’’ kata Nabi. Hadis ini
memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup. Ibadah
ritual mesti dibarengi dengan kesalehan sosial.
Dalam hadis lain
juga diceritakan, seorang sahabat pernah memuji kesalehan orang lain di
depan Nabi. Nabi bertanya, ‘’Mengapa ia kau sebut sangat saleh?’’ tanya
Nabi. Sahabat itu menjawab,
‘’Karena, tiap saya masuk masjid
ini dia sudah salat dengan khusyuk dan tiap saya sudah pulang, dia masih
saja khusyuk berdoa’’.
‘’Lho, lalu siapa yang memberinya makan
dan minum?’’ tanya Nabi lagi. ‘’Kakaknya,’’ sahut sahabat tersebut.
Lalu kata Nabi, ‘’Kakaknya itulah yang layak disebut saleh’’.
Sahabat
itu terdiam, karena sebuah pengertian baru terbentuk dalam benaknya,
bahwa ukuran kesalehan tidak hanya dilihat dari ketaatan dan kesungguhan
seseorang dalam menjalankan ibadah ritual, karena ini sifatnya hanya
individual dan sebatas hubungan dengan Allah (hablum minallah), tetapi
kesalehan juga dilihat dari dampak kongkritnya dalam kehidupan
bermasyarakat.
Kesalehan sangat tergantung pada tindakan nyata
seseorang, dalam hubungannya dengan sesama manusia (hablum minan nas);
juga sangat tergantung pada sikap serta perilakunya terhadap alam, baik
hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya agar keseimbangan alam pun tetap
terjaga (hablum minal alam).
Agaknya karena pemahaman seperti
ini pula, maka ketika seorang Kiyai pernah ditanya santrinya, ‘’Kiyai
seperti apa sih yang disebut orang saleh?’’ Kiyai itu menjawab, ‘’Orang
yang menyeimbangkan usholi dan usaha’’.
Artinya orang saleh
adalah orang yang mampu menyeimbangkan antara ibadah ritual dan perilaku
sosialnya. Artinya tidak hanya rajin beribadah, tetapi berperilaku baik
pada sesama sebagai manifestasi dari ibadahnya itu.
Islam bukan
agama individual. Ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad adalah agama
yang dimaksudkan sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin).
Agama yang tidak hanya untuk kepentingan penyembahan dan
pengabdian diri pada Allah semata tetapi juga menjadi rahmat bagi
semesta alam. Karena itu, dalam Alquran kita jumpai fungsi manusia yang
bersifat ganda, bukan hanya sebagai abdi Allah tetapi juga sebagai
khalifatullah.
Khalifatullah berarti memegang amanah untuk
memelihara, memanfaatkan, melestarikan dan memakmurkan alam semesta ini,
karena itu mengandung makna hablum minan nas, wa hablum minal alam.
Bagaimana
mungkin kita bisa membuat alam ini lestari, makmur dan penuh kedamaian
bila kita tidak memiliki sikap yang baik terhadap sesama manusia maupun
pada alam semesta.
Dalam rangka itu, maka hampir tidak ada
ibadah yang dianjurkan dalam Islam yang tidak memiliki nilai atau efek
sosial, yang dimaksudkan antara lain untuk tahzib, ta’dib dan tazkiyat
al-nafs.
Tahzib berarti mengarahkan jiwa, ta’dib berarti
membentuk karakteristik jiwa yang baik, serta tazkiyat al-nafs yang
berarti untuk penyucian jiwa.
Artinya semua ibadah itu pada
akhirnya ditujukan untuk membentuk dan mengarahkan perilaku orang yang
melakukan ibadah itu ke arah kebaikan, sehingga pada akhirnya memberi
dampak sosial pada masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Dari
sini dapat kita simpulkan bahwa kesalehan individual semestinya
melahirkan kesalehan sosial. Namun dalam kenyataannya, selama ini
terkesan bahwa banyak orang yang ibadah ritualnya baik tetapi ternyata
tidak memberi bekas dalam perilaku sosialnya.
Salat, puasa, dan
ibadah ritual lainnya jalan terus tetapi perilaku buruk lainnya juga
jalan terus, seperti sikap iri, dengki, mengambil hak orang lain, kurang
bertanggung jawab pada tugas, kurang amanah, kurupsi, kurang memiliki
etos dan semangat kerja, serta sikap yang melukai dan menyakitkan orang
lain.
Ia asyik dan rajin beribadah, tetapi lupa bahwa
sesungguhnya ibadah itu bukan hanya semata-mata untuk Allah tetapi juga
dimaksudkan agar nili-nilai dari ibadah itu menjadi rahmat bagi semesta
alam, manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan dan sebagainya.
Begitu
pula dalam ibadah puasa. Puasa implikasi sosialnya juga sangat jelas.
Puasa dengan segala kesibukan aktivitas ritualnya, diharapkan dapat
mendidik manusia mengendalikan gejolak nafsunya, menahan dan
mengendalikan dirinya.
Pelajaran menahan diri ini merupakan esensi yang sangat penting bagi pembinaan kesalehan sosial.
Dengan
menahan diri dari berbagai kesenangan duniawi (makan, minum dan
hubungan seksual) saat berpuasa seseorang akan mampu merasakan derita
mereka yang kurang beruntung.
Sehingga wajar sekali jika
seseorang, karena satu dan lain hal, tidak mampu melakukan ibadah puasa
tersebut, di antaranya dapat diganti dengan fidyah (memberi makan kepada
orang miskin). Ini mengajarkan kepada kita untuk memupuk kepekaan dan
kesadaran sosial.
Untuk itu marilah tunaikan ibadah Ramadan ini
dengan sebaik mungkin seraya menghayati nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya, sehingga diharapkan puasa kita dapat meraih fungsinya sebagai
sarana untuk mengarahkan (tahzib), membentuk karakteristik jiwa
(ta’dib), serta medium latihan untuk berupaya menjadi manusia yang kamil
dan paripurna (tadrib), yang pada esensinya bermuara pada tujuan akhir
puasa, yaitu takwa.
Takwa dalam pengertian yang lebih umum
adalah melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala
larangan-Nya. Takwa berarti kesalehan total yang mencakup ‘’kesalehan
ritual’’ dan ‘’kesalehan sosial’’.
Dan marilah kita terus
berusaha, berharap dan berdoa agar derajat takwa yang diraih selama
sebulan berpuasa dapat pula kita pertahankan pada bulan-bulan
berikutnya. Amin Ya rabbal alamin.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar