Bentuk kalimat perintah (imperativ) mencakup command (suruhan) dan request (permohonan). Kalimat berbentuk
command selalu diawali verb-1 atau be untuk menyuruh, dan berawalan
don’t untuk melarang. Verb – 1, di sini dapat diterjemahkan dengan
bentuk kata kerja dasar dalam bahasa Indonesianya, atau dengan
menambahkan akhiran –lah pada kata kerja dasar bahasa Indonesia
tersebut. Kata be tidak diterjemahkan ke dalam kata apapun,
penerjemahannya dimulai dengan kata yang hadir tepat setelah be secara
apa adanya, atau dapat pulang menambahkan akhiran – lah pada kata yang
bersangkutan. Kata don’t diterjemahkan dengan jangan.
Contoh :
Go!:Pergi!, Pergilah!
Sit down!:Duduklah!
Don’t love me!:Jangan cintai saya!
Don’t be the worst!:Jangan jadi yang terburuk!
A.Kata please yang dirangkai dengan bentuk command diterjemahkan dengan kata tolong atau silahkan.
-Please go! / Go, please!
Tolong pergilah! / Silahkan pergi!
-Please love me! / Love me, please!
Tolong cintailah saya!
-Please be on time! / Be on time, please!
Tolong tepat waktulah!
-Please be the best! / Be the best, please!
Tolong jadilah yang terbaik!
B.Dalam bahasa korespondensi, kata please lazimnya diterjemahkan dengan kata harap.
-Please send us the samples of your latest product.
Harap kirim contoh-contoh produk terbaru Anda.
C.Ungkapan No + Noun/Verb – ing dinyatakan dengan dilarang ....
-No smoking -->Dilarang merokok.
-No entrance --->Dilarang masuk.
D.Ungkapan Never + Verb-1/be diterjemahkan dengan jangan sekali-kali ... atau jangan pernah ....
-Never come back here anymore.
Jangan sekali-kali datang ke sini lagi.
-Never hope anything from me.
Jangan pernah mengharapkan sesuatu dari saya.
E.Ungkapan kata let’s ....! atau let us ...! diterjemahkan dengan Ayo ...! atau Mari ...!
-Let’s go home! / Let us go home!
Ayo/mari [kita] pulang!
Permohonan dengan tindak kesopanan berbahasa atau polite request adalah bentuk permohonan dengan memunculkan ungkapan-ungkapan seperti please yang diawali kalimat menggunakan
modal would/could/can/will yang biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia menjadi Dapatkah kiranya ...? Bisakah ....? Sudikah ....?
Tidak keberatankan ....?
-Will you .................., please? Will you please ..........?
Won’t you .................., please? Won’t you please ..........?
(Maukah .......?)
-Would you mind ..............., please?
(Keberatankan ........?)
F.Kata kerja/tobe yang mengikuti ungkapan-ungkapan ini adalah dengan
bare infinitive (V1/be). Khusus ungkapan Would you mind ...... please?,
kata kerja yang digunakan harus dalam bentuk ving dan being.
-Would you go, please? / Will you please go?
Won’t you go, please? / Won’t you please go?
(Maukah Anda pergi?)
-Would you like to be patient, please?
(Berkenankah Anda untuk bersabar?)
G.Ungkapan perintah (command)
atau permohonan (request) yang diikuti dengan penegasan dinyatakan
dengan bentuk tag question (will you) –yang dalam bahasa Indonesia
lazimnya diterjemahkan dengan kata-kata Maukan? Atau tolonglah! Atau
dong! Dinyatakan dengan will you dalam pola question tag.
-Give me money, will you!
(Beri saya uang, tolonglah!)
-Come here, will you?
( Ke sini dong!)
(Sumber : Djuhaeri, O. Setiawan.2004. Teknik dan Panduan Menerjemahkan : Bahasa Inggris – Bahasa Indonesia. CV. Yrama Widya)
Kebaikan adalah bagian dari nilai universal, marilah kita budayakan berbuat kebaikan dalam setiap langkah dan derap kehidupan kita. Saudaraku... Selamat menikmati buah dari kebaikan...
Halaman
▼
Kamis, 28 Juni 2012
KALIMAT PERINTAH (5)
Kalimat Perintah adalah kalimat yang di dalamnya berisi perintah kepada orang lain untuk melakukan sesuatu.
Ada beberapa macam kalimat perintah, diantaranya yaitu :
1. Kalimat Perintah Biasa
contoh :
1. Diam !
2. Makan Makanan itu !
3. Jangan Menangis !
2. Kalimat Perintah Permintaan.
contoh :
1.Tolong ambilkan pulpen itu !
2. Bolehkah saya menginap di rumah Anda !
3. Rawatlah tanaman itu dengan baik !
3. Kalimat Perintah Ajakan.
contoh :
1. Ayo kita belajar bersama !
2. Mari Bernyanyi !
3. Alangkah baiknya kalau kita bermusyawarah dahulu !
4. Kalimat Perintah Harapan / permohonan.
contoh :
1. Saya harap bapak hadir di hari ulang tahun saya !
2. Harap tenang sejenak !
3. Saya mohon maaf jika telah melakukan kesalahan kepada Anda !
5. Kalimat Perintah Sindirin.
contoh :
1. Kerjakan sendiri tugas itu, kalau kamu bisa !
2.Cepat makan sana sampai perut meleduk !
3. pukul dia, kalau kamu berani !
6. kalimat Perintah Larangan
Contoh :
1. Jangan duduk di kursi itu !
2. Jangan Melawan !
3. Dilarang Merokok di Area ini !.
7 Kalimat Perintah Bersyarat
contoh :
1. Bantulah anak itu bekerja, pasti pekerjaannya akan selesai !
2. Minumlah obat itu, agar sakitmu lekas sembuh !
3. Ajarilah ia membaca, tentu ia akan pandai membaca
Ada beberapa macam kalimat perintah, diantaranya yaitu :
1. Kalimat Perintah Biasa
contoh :
1. Diam !
2. Makan Makanan itu !
3. Jangan Menangis !
2. Kalimat Perintah Permintaan.
contoh :
1.Tolong ambilkan pulpen itu !
2. Bolehkah saya menginap di rumah Anda !
3. Rawatlah tanaman itu dengan baik !
3. Kalimat Perintah Ajakan.
contoh :
1. Ayo kita belajar bersama !
2. Mari Bernyanyi !
3. Alangkah baiknya kalau kita bermusyawarah dahulu !
4. Kalimat Perintah Harapan / permohonan.
contoh :
1. Saya harap bapak hadir di hari ulang tahun saya !
2. Harap tenang sejenak !
3. Saya mohon maaf jika telah melakukan kesalahan kepada Anda !
5. Kalimat Perintah Sindirin.
contoh :
1. Kerjakan sendiri tugas itu, kalau kamu bisa !
2.Cepat makan sana sampai perut meleduk !
3. pukul dia, kalau kamu berani !
6. kalimat Perintah Larangan
Contoh :
1. Jangan duduk di kursi itu !
2. Jangan Melawan !
3. Dilarang Merokok di Area ini !.
7 Kalimat Perintah Bersyarat
contoh :
1. Bantulah anak itu bekerja, pasti pekerjaannya akan selesai !
2. Minumlah obat itu, agar sakitmu lekas sembuh !
3. Ajarilah ia membaca, tentu ia akan pandai membaca
KALIMAT PERINTAH (4)
Kalimat Perintah
Kalimat perintah adalah kalimat yang berisi permintaan/menyuruh orang lain untuk melakukan sesuatu yang kita kehendaki. Sebab itu perintah meliputi suruhan yang keras hingga ke permintaan yang sangat halus. Begitu pula perintah dapat ditafsirkan sebagai mengijinkan seseorang mengerjakan sesuatu atau menyatakan syarat untuk terjadinya sesuatu , malahan sampai kepada tafsiran makna ejekan atau sindiran.
Suatu perintah dapat pula berbalik dari menyuruh menjadi mencegah atau melarang.
Macam-macam kalimat perintah:
1. perintah biasa
- usirlah ayam itu!
- pergilah dari sini!
- selesaikan ujian bahasa Indonesia itu dengan baik!
2. permintaan
- tolong bantu saya mendorong mobil ini ke rumah!
- coba ambilkan gelas itu!
3. izin
- ambillah buah mangga itu semaumu!
- tinggalkan saja kalau kau tak mau!
4. ajakan
- mari kita jaga kebersihan rumah kita!
- baiklah kamu mencari ibumu di hutan sana!
5. syarat
- tanyakanlah kepadanya, tentu ia akan menerangkan kepadamu
6. cemooh/sindiran
- buatlah sendiri kalau engkau bisa!
- tangakaplah jika engkau berani!
7. larangan
- jangan lewat jalan ini!
- jangan bicara seenak perutmu!
Ciri-ciri kalimat perintah:
1. intonasi keras, terutama perintah biasa dan larangan
2. kata kerja yang mendukung kalimat biasanya kata kerja dasar
3. menggunakan partikel pengeras: lah
KALIMAT PERINTAH (3)
Kalimat Perintah
Kalimat perintah adalah kalimat yang mengandung perintah atau permintaan agar orang lain melakukan suatu hal yang diinginkan oleh orang yang memerintah.
Suatu perintah dapat ditafsirkan sebagai hal mengizinkan seseorang
untuk mengerjakan sesuatu, atau menyatakan syarat untuk terjadinya
sesuatu, malahan sampai kepada tafsiran (konotasi) ejekan atau sindiran.
Perintah dapat pula berbalik dari menyuruh berbuat sesuatu menjadi
mencegah atau melarang berbuat sesuatu. Makna mana yang didukung oleh
kalimat perintah tersebut, tergantung pula dari situasi yang
dimasukinya. Berbeda dengan kalimat deklaratif dan kalimat tanya,
kalimat perintah mengandung ciri-ciri sebagai berikut:
- Menggunakan intonasi keras, terutama perintah biasa dan larangan
- kata kerja yang mendukung isi perintah itu biasanya kata dasar
- mempergunakan partikel pengeras -lah
1. PERINTAH BIASA
Perintah biasa bervariasi, dari perintah yang lunak sampai perintah yang sangat keras, dengan menggunakan intonasi yang bervariasi. Misalnya :
- Usir anjing itu!
- Usirlah anjing itu!
- Pergi!
- Pergilah dari sini!
- Kerjakanlah soal-soal ini dengan baik!
2. PERMINTAAN
Permintaan adalah semacam perintah yang halus, di mana sikap orang yang menyuruh lebih merendah dari perintah yang biasa. Ada bermacam-macam tingkat permintaan yang dapat dibedakan dengan sejumlah kata atau ungkapan. Misalnya:
- Coba dengarkan baik-baik!
- Tolong bawa buku itu kesitu!
- Harap berdiri!
- Kalau boleh, bantulah anak itu!
- Kalau dapat, bacalah buku ityu dengan tamat!
- Dapatkah saudara membacakan saya buku itu?
3. PERINTAH MENGIZINKAN
Adalah perintah biasa, hanya ada bagian yang ditambahkan yang menyatakan izin itu. Misalnya:
- Ambillah buku itu, seberapa kausuka!
- Masuklah ke dalam, kalau Tuan perlu!
4. PERINTAH AJAKAN
Biasanya didahului oleh kata-kata ajakan seperti marilah, baiklah. Misalkan :
- Marilah kita istirahat sebentar!
- Baiklah kamu menyusuli dia ke sana!
5. PERINTAH BERSYARAT
Adalah semacam perintah yang mengandung syarat untuk terpenuhinya suatu hal. Misalkan :
- Tanyakanlah kepadanya, tentu ia akan menerangkannya kepadamu!
- Bantulah dia, pasti pekerjaan itu akan terselesaikan!
6. PERINTAH SINDIRAN
Adalah perintah yang mengandung ejekan karena kita yakin bahwa yang diperintah tidak mampu melaksanakan hal yang diperintahkan. Misalkan :
- Kerjakanlah itu sendiri, kalau memang kamu ahli!
- Pukulah dia, kalau kamu berani!
7. PERINTAH LARANGAN
Bersifat negatif, yaitu melarang seseorang melakukan sesuatu hal. Bila larangan itu bersifat umum atau resmi, digunakan kata dilarang, dan bila larangan itu bersifat khusus atau tidak resmi, digunakan kata jangan. Misalkan :
- Dilarang merokok!
- Jangan membawa makanan dari luar!
KALIMAT PERINTAH DAN CONTOHNYA
Kalimat
perintah dapat dibedakan menjadi perintah biasa, perintah permintaan, perintah
mengizinkan, perintah ajakan, perintah bersyarat, perintah sindiran, dan
perintah larangan. Sekarang, kita akan mempelajari berbagai macam perintah
tersebut.
A. Perintah Biasa
Perintah biasa bervariasi, dari perintah yang lunak sampai perintah yang sangat keras. Intonasi yang dipergunakan pun bervariasi.
Contoh:
- Usir anjing itu!
- Usirlah anjing itu!
- Pergi!
- Pergilah dari sini!
- Masuk!
- Kerjakan soal – soal ini sebaik – baiknya!
B. Perintah Permintaan
Perintah permintaan adalah perintah yang halus. Orang yang menyuruh bersikap merendah.
Contoh :
- Coba dengarkan baik-baik!
- Tolong bawa buku itu ke sini!
- Harap berdiri!
- Kalau boleh, bantulah anak itu!
- Kalau ada waktu, bacalah buku ini!
- Bolehkan saya duduk di sini!
- Saya minta dengan hormat, supaya anda pergi dari sini!
C. Perintah mengizinkan
Perintah mengizinkan adalah perintah biasa yang ditambahkan dengan pernyataan yang mengungkapkan pemberian izin.
Contoh :
- Ambilkan buku itu, seberapa kau suka!
- Makanlah, semampu anda!
D. Perintah Ajakan
Perintah ajakan biasanya didahului oleh kata – kata ajakan seperti marilah, baiklah.
Contoh :
- Marilah kita berdoa lebih dulu!
- Baiklah kamu jalan duluan!
E. Perintah bersyarat
Perintah bersyarat adalah perintah yang mengandung syarat untuk terpenuhi sesuatu hal
Contoh :
- Tanyakanlah kepadanya, tentu ia akan menerangkan kepadamu !
- Bantulah dia, pasti pekerjaannya akan segera selesai!
F. Perintah Sindiran
Perintah sindiran adalah perintah yang mengandung ejekan karena yakin bahwa yang diperintah tidak mampu melaksanakan yang diperintahkan
Contoh :
- Kerjakan sendiri, kalau kamu bisa!
- Dekatilah anjing itu, kalau kamu berani!
G. Perintah Larangan
Perintah larangan adalah perintah yang melarang seseorang melakukan sesuatu hal. Bila larangan itu bersifat umum atau resmi digunakan kata dilarang. Bila larangan itu bersifat khusus atau tidak resmi digunakan kata jangan.
Contoh :
- Dilarang membuang sampah disini!
- Jangan merokok!
Perintah yang kita terima dari orang lain, belum tentu dapat kita pahami dengan benar sehingga kita harus cermat dalam menerima perintah dari siapa pun, misalkan, anda sebagai karyawan dalam suatu perusahaan mendapat perintah dari direktur untuk menginformasikan sesuatu kepada sesama karyawan yang lain. Untuk dapat menyampaikan perintah direktur, anda harus mampu merumuskan kembali perintah tersebut dalam bahasa yang tepat.
Contoh (1)
Direktur : saya minta, kalian semua membuat laporan kerja tertulis! Paling lambat saya terima sebelum makan siang.
Karyawan : Baik, pak. Akan saya sampaikan perintah Bapak kepada karyawan-karyawan lain.
Contoh (2)
Karyawan : Pak Direktur meminta kita untuk membuat laporan tertulis, paling lambat dikumpulkan sebelum makan siang.
Karyawan : Hah...kan baru dua hari yang lalu kita buat laporan.
A. Perintah Biasa
Perintah biasa bervariasi, dari perintah yang lunak sampai perintah yang sangat keras. Intonasi yang dipergunakan pun bervariasi.
Contoh:
- Usir anjing itu!
- Usirlah anjing itu!
- Pergi!
- Pergilah dari sini!
- Masuk!
- Kerjakan soal – soal ini sebaik – baiknya!
B. Perintah Permintaan
Perintah permintaan adalah perintah yang halus. Orang yang menyuruh bersikap merendah.
Contoh :
- Coba dengarkan baik-baik!
- Tolong bawa buku itu ke sini!
- Harap berdiri!
- Kalau boleh, bantulah anak itu!
- Kalau ada waktu, bacalah buku ini!
- Bolehkan saya duduk di sini!
- Saya minta dengan hormat, supaya anda pergi dari sini!
C. Perintah mengizinkan
Perintah mengizinkan adalah perintah biasa yang ditambahkan dengan pernyataan yang mengungkapkan pemberian izin.
Contoh :
- Ambilkan buku itu, seberapa kau suka!
- Makanlah, semampu anda!
D. Perintah Ajakan
Perintah ajakan biasanya didahului oleh kata – kata ajakan seperti marilah, baiklah.
Contoh :
- Marilah kita berdoa lebih dulu!
- Baiklah kamu jalan duluan!
E. Perintah bersyarat
Perintah bersyarat adalah perintah yang mengandung syarat untuk terpenuhi sesuatu hal
Contoh :
- Tanyakanlah kepadanya, tentu ia akan menerangkan kepadamu !
- Bantulah dia, pasti pekerjaannya akan segera selesai!
F. Perintah Sindiran
Perintah sindiran adalah perintah yang mengandung ejekan karena yakin bahwa yang diperintah tidak mampu melaksanakan yang diperintahkan
Contoh :
- Kerjakan sendiri, kalau kamu bisa!
- Dekatilah anjing itu, kalau kamu berani!
G. Perintah Larangan
Perintah larangan adalah perintah yang melarang seseorang melakukan sesuatu hal. Bila larangan itu bersifat umum atau resmi digunakan kata dilarang. Bila larangan itu bersifat khusus atau tidak resmi digunakan kata jangan.
Contoh :
- Dilarang membuang sampah disini!
- Jangan merokok!
Perintah yang kita terima dari orang lain, belum tentu dapat kita pahami dengan benar sehingga kita harus cermat dalam menerima perintah dari siapa pun, misalkan, anda sebagai karyawan dalam suatu perusahaan mendapat perintah dari direktur untuk menginformasikan sesuatu kepada sesama karyawan yang lain. Untuk dapat menyampaikan perintah direktur, anda harus mampu merumuskan kembali perintah tersebut dalam bahasa yang tepat.
Contoh (1)
Direktur : saya minta, kalian semua membuat laporan kerja tertulis! Paling lambat saya terima sebelum makan siang.
Karyawan : Baik, pak. Akan saya sampaikan perintah Bapak kepada karyawan-karyawan lain.
Contoh (2)
Karyawan : Pak Direktur meminta kita untuk membuat laporan tertulis, paling lambat dikumpulkan sebelum makan siang.
Karyawan : Hah...kan baru dua hari yang lalu kita buat laporan.
KALIMAT PERINTAH (2)
Kalimat perintah adalah kalimat yang berisi perintah kepada orang lain untuk melakukan sesuatu
Kalimat perintah dibedakan atas kalimat perintah halus dan kalimat perintah kasar.
Kalimat perintah halus ditandai oleh
a. Intonasi lemah
b. Penghilangan tanda seru
c. Pemakaikan partikel ‘lah’
d. Memakai kata penghalus contohnya maaf, tolong, sebaiknya, silakan, harap, mohon, sudilah kiranya,
e. Pemakaian struktur kalimat Tanya
Menurut isi kalimat perintah dibedakan atas :
a. Perintah biasa
b. Ajakan
c. Permintaan
d. Harapan / permohonan
e. Surukan
f. Sindiran
g. Larangan
Kalimat perintah adalah kalimat yang berisi perintah kepada orang lain untuk melakukan sesuatu
Kalimat perintah dibedakan atas kalimat perintah halus dan kalimat perintah kasar.
Kalimat perintah halus ditandai oleh
a. Intonasi lemah
b. Penghilangan tanda seru
c. Pemakaikan partikel ‘lah’
d. Memakai kata penghalus contohnya maaf, tolong, sebaiknya, silakan, harap, mohon, sudilah kiranya,
e. Pemakaian struktur kalimat Tanya
Kalimat perintah dibedakan atas kalimat perintah halus dan kalimat perintah kasar.
Kalimat perintah halus ditandai oleh
a. Intonasi lemah
b. Penghilangan tanda seru
c. Pemakaikan partikel ‘lah’
d. Memakai kata penghalus contohnya maaf, tolong, sebaiknya, silakan, harap, mohon, sudilah kiranya,
e. Pemakaian struktur kalimat Tanya
Menurut isi kalimat perintah dibedakan atas :
a. Perintah biasa
b. Ajakan
c. Permintaan
d. Harapan / permohonan
e. Surukan
f. Sindiran
g. Larangan
Kalimat perintah adalah kalimat yang berisi perintah kepada orang lain untuk melakukan sesuatu
Kalimat perintah dibedakan atas kalimat perintah halus dan kalimat perintah kasar.
Kalimat perintah halus ditandai oleh
a. Intonasi lemah
b. Penghilangan tanda seru
c. Pemakaikan partikel ‘lah’
d. Memakai kata penghalus contohnya maaf, tolong, sebaiknya, silakan, harap, mohon, sudilah kiranya,
e. Pemakaian struktur kalimat Tanya
KALIMAT PERINTAH (1)
Kalimat Perintah
Yang disebut perintah adalah menyuruh
orang lain untuk melakukan sesuatu yang kita kehendaki. Perintah
meliputi suruhan yang keras hingga ke permintaan yang sangat halus.
Begitu pula suatu perintah dapat ditafsirkan sebagai pernyataan
mengijinkan seseorang untuk mengerjakan sesuatu, atau menyatakan syarat
untuk terjadinya sesuatu, malahan sampai kepada tafsiran makna ejekan
atau sindiran.
Suatu perintah dapat pula berbalik dari
menyuruh berbuat sesuatu menjadi mencegah atau melarang berbuat sesuatu.
Makna mana yang didukung oleh kalimat perintah tersebut, tergantung
pula dari situasi yang dimasukinya.
Karena itu kita dapat merinci kemungkinan kalimat perintah menjadi:
a. Perintah biasa
Contoh: Usirlah anjing itu!!
Pergilah dari sini!
b. Permintaan. Dalam permintaan sikap orang yang menyuruh lebih merendah.
Contoh: Tolong sampaikan kepadanya, bahwa ia boleh datang besok!
Coba ambilkan buku itu!
c. Ijin; memperkenankan seseorang untuk berbuat seuatu.
Contoh: Ambillah buku itu seberapa kau suka!
Masuklah ke dalam jika Anda mau!
d. Ajakan.
Contoh: Marilah kita beristirahat sebentar!
Baiknya kamu menyusul dia ke sana !
e. Syarat; semacam perintah yang mengandung syarat untuk terpenuhinya suatu hal.
Contoh: Tanyakanlah kepadanya, tentu ia akan menerangkannya kepadamu!
f. Cemooh atau sindiran; perintah yang mengandung ejekan, karena kita yakin bahwa yang diperintah tak akan melakukannya.
Contoh: Buatlah itu sendiri, kalau kau bisa!
Pukulah ia kalau kau berani!
g. Larangan: semacam perintah yang mencegah berbuat sesuatu.
Contoh: Jangan lewat sini!
Jangan bicara!
Setelah mengadakan perincian isi
bermacam-macam kalimat perintah, baiknya kita melihat ciri-ciri kalimat
perintah, agar lebih jelas perbedaan antara kalimat perintah, kalimat
tanya, dan kalimat berita.
Ciri-ciri suatu kalimat perintah:
a. Intonasi keras (terutama perintah biasa dan larangan).
b. Kata kerja yang mendukung isi perintah itu biasanya merupakan kata dasar.
c. Mempergunakan partikel pengeras –lah.
Sabtu, 16 Juni 2012
TRAINING PEMBELAJARAN HOLISTIK BERBASIS KARAKTER
I. PENDAHULUAN
Latar belakang
Berdasarkan fakta yang telah kita saksikan sendiri dan dikalangan masyarakat itu sendiri,banyak terjadi perilaku beresiko seperti alkohol,obat obatan,dan sex bebas,tawuran antar pelajar, antar desa/kelompok/suku, pembunuhan sadis baik terhadap sesama, juga terhadap saudara sendiri, malah terhadap orang tunya sendiri. dan masih banyak perilaku terpuruk dari bangsa kita pada saat ini..
10 tanda kemunduran bangsa THOMAS RICKONA
1.Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja
2.Penggunaan bahasa dan kata kata yang buruk
3.Pengaruh per grup yang kuat dalam tindak kekerasan
4.Meningkat nya perilaku yang merusak diri seperi narkoba,sex bebas,dan alkohol.
5.Kaburnya pedoman moral baik dan buruk
6.Penurunan etos kerja
7.Rendah nya rasa hormat kepada orang tua dan guru
8.Rendah nya rasa tanggung jawab baik sebagai individu maupun warga negara.
9.Ketidakjujuran yang telah membudaya
10.Ada nya rasa saling curiga dan kebencian diantara sesama.
Seminar pendidikan karakter INDONESIA HERITAGE FOUNDATION membagun bangsa berkarakter.
TUJUAN
Pendidikan karakter di taman kanak kanak bertujuan untuk menanamkan moral /karakter kepada anak sejak usia dini .
Kualitas karakter sangat menentukan kemajuan bangsa.
1.Jujur dan dapat diandalkan
2.Bila dipercaya dan tepat waktu
3.Bisa menyesuaikan diri dengan rang ain
4.Bisa bekerjasama dengan atasan
5.Bisa menerima dan menjalankan kewajiban
6.Mempunyai motivasi kuat untuk terus belajar dan meningkatkan kualitas diri
7.Berpikir bahwa diri nya berharga
Perlu nya pendidikan karakter pada usia dini
1.Usia paling efektif membangun karakter di bawah 10 tahun
2.Kematangan kepribadian seseorang dipengaruhi oleh pengalaman masa kecil
3.Pendidikan berkarakter mengoptimalkan fungsi otak kiri dan otak kanan sehingga menekan
pengaruh tak tengah {instink hewani}
4.Kesiapan anak masuk SD ditentukan oleh kecerdasan emosi bukan kemampuan baca tulis
Faktor faktor penyebab kegagalan anak bukan aspek kognitif tetapi karakter,aspek karakter ,aspek karakter penentu keberhasilan percaya diri,ingin tahu,motivasi,kontrol diri,kerjasama,persahabatan,empati,kemampuan untuk fokus,dan komunikasi.
II. PENERAPAN PILAR KARAKTER
PILAR 1.cinta tuhan dan segala ciptaan nya
Ajarkan anak mengucapkan kata pujian terhada Allah ketika melihat sesuatu yang indah,ketika mendapatkan nikmat ucapkan “Subhanallah”dan Alhamdulillah” ketika mendapatkan sesuatu atau ucapan kekaguman dan mencakupkan anak pada perasaan terhadap kebesaran tuhan atas nikmat setelah diberikan kepada mereka,serta memberi nya tanggung jawab dan merasa betap penting nya keberadaan anak daam keluarga.
PILAR 2. kemandirian dan tanggung jawab
Tunjukkan penghargaan terhadap usaha anak,dan berikan motivasi agar anak mencoba,minta pertimbangan anak mengenai pertanyaan.Setiap anak,jangan mengomentari kekurangan anak pada orang lain,jangan menggunakan kalimat negatif terhadap anak,perlu nya kerjasama orang tua dan guru,jangan mematikan harapan keinginan anak.
PILAR 3.kejujuran /amanah dan diplomatis
Agar pilar terlaksana dan dapat dimengerti oleh anak,berikan contoh yang baik,ingatkan anak selalu jujur baik dalam perkataan maupun daam perbuatan .Bila ada kejadian dikelas yang menuntut suatu kejujuran ingatkan anak tentang kejujuran.Hargai setiap perbuatan dan perkataan anak yang bersikap jujur baik dengan pujian maupun dengan penghargaan lain nya.
PILAR 4. hormat dan santun
1.Latih dan biasakan bermain bersama dengan rekan nya
2.Tumbuhkan rasa keyakinan pada anak perbuataan yang baik seperti sikap sopan santun akan
disayangi orang tua,guru,dan teman.
3.Bimbing anak jika melakukan kesalahan dan beri konsekwensi dari perbutan tersebut
4.Ajak anak sesekali menonton film berkarakter dan bimbing anak tersebut
PILAR 5. dermawan,suka menolong dan gotong royong
1.Biasakan anak untuk berbagi dengan teman nya
2.Biasakan daam kegiatan anak untuk bekerja sama dan bergotong royong dan berikan pengertian tentang kemudahan dan kesuksesan dalam bekerja sama dan bergotong royong dalam mencapai suatu tujuan.
3.Setiap akhir kegiatan biasakan untuk membersihkan secara gotong royong
4.Berikan penghargaan kepada anak yang bersikap dermawan,tolong menolong,dan kerjasama
PILAR 6.percaya diri,kreatif,dan pekerja keras
1.Setiap anak yang berbuat baik berikanlah pujian karena nanti nya ia akan termotivasi untuk
melakukan perbuatan yang lebih baik
2.Memberikan pujian kepada anak untuk membangkitkan rasa percaya diri pada anak tersebut
3.Jika anak melakukan kegiatan harapkanlah pada si anak untuk melakukan dengan sempurna
4.Tunjukan kepada anak bahwa diri nya penting dengan perlakuan yang baik
5.jangan pusatkan perhatian pada tingkah laku yang buruk,berpendapat bahwa hal ini akan
mendorong anak akan bekerja keras,hal ini tidak benar
6.Berikanlah tingkah laku yang baik dan percaya diri kepada anak untuk membuat mereka lebih
nyaman
7.Anak yang percaya diri adalah anak yang penuh dengan kecerdasan dan keyakinan tapi tetap menerima kritikan membangun
PILAR 7.kepemimpinan dan keadilan
1.Dorong anak menjadi seorang pemimpin
2.Jika anak yang selalu “ingin menjadi pemimpin” arahkan
3.Optimakan kreatifitas guru untuk mencari metode yang menarik untuk anak
PILAR 8.baik hati dan rendah diri
1.Biasakan anak bermain bersama untuk sosialisasi
2.Berikan konsekwesi dari tindakan tersebut
3.Ajaklah menonton film yang berpesan moral
4.Tumbuhkan keyakinan pada awal bahwa orang yang baik disayangi tuhan
PILAR 9.toleransi,kedamaian dan kesatuan
1.Biasakan anak bermain bersama sehingga anak dapat belajar dan bermain
2.Ajaklah anak dapat mengungkapkan keebihan teman dalam bentuk permainan misalnya “temanku cerminku”. Anak akan mencari kelebihan teman nya dan saling bercermin
3.Ajarkan anak saling menyapa jikalau bertemu dan bersalaman ketika akan berpisah
K 4 kebersihan,kerapian,kesehatan,dan keamanan
1.Guru bias menjadi teladan yang baik kepada anak didik nya sebagai orang yang mencintai kebersihan,kerapian,kesehatan,dan keamanan
2.Lakukan latihan motorik K 4 seperti menyikat gigi {sentra eksprasi},membuat makanan yang sehat{fun cooking},menunjukkan alat yang berbahaya bagi anak
3.Sediakan alat alat yang mendukung K 4 seperti sapu,lap,sisir,kotak P3K,tempat untuk BAB dan BAK
4.Lakukan kunjungan ke rumah anak untuk melihat keberadaan anak dan lingkungan nya terkait dengan penerapan K 4
Berikan penghargaan kepada anak yang teah menunjukkan sikap yang menerapkan K 4 seperti berpakaian rapi dan bersih,mambawa makanan yang bersih dan bergizi d.Catatan : menyanyi,membaca,cerita berkaraktr,dan bermain peran yang cukup efektif untuk menerapkan karakter di daam keas maupun diingkungan anak tingga.
III . PENERAPAN DEVELOPMENTALLY APPROPRIATE PRACTICE {DAP}
Mengapa muncul konsep DAP ?
Kurikulum Amerika tahun 1960-1970 an dianggap gagal menghasilkan siswa yang dapat berpikir kritis dan menyelesaikan masalah kehidupan nya
Mengapa gagal ?
1.Orientasi hanya pada menghafal
2.Lebih banyak menekankan aspek kognitif dari pada aspek lain {social,emosi,spiritual}
3.Pelajaran bersifat abstrak{tidak kongkrit}
4.Guru berceramah,anak mendengar pasif
5.Lebih banyak mengerjakan kegiatan bersifat individuallistis
Mengapa menggunakan DAP ?
Insting alami manusia sejak lahir {poter khine}seperti : menyedot asi {sucking insting}, insting belajar.
KONSEP DAP
1.Memperlakukan anak sebagai individu yang utuh {the whole child}
2.Melibatkan komponen
* Pengetahuan {knowledge}
* Keterampilan {skills}
* Sifat alamiah {dispositions}
* Perasaan {feelings}
Dianggap dapat memperthankan dan bahkan meningkatkan gairah semangat anak anak untuk belajar.
TEORI YANG MENDASARI DAP
1.Pengetahuan anak di bangun melalui pengalaman aksi
2.Setiap pengalaman baru akan membangun,pengertian pengetahuan melalui proses asimilasi dan akomodasi
Teori Piaget {teori perkembangan kognitif}
1.Contouctivism : pemahaman anak di bangun melalui aksi
2.Asimilasi : mengetahui sesuatu karena ada pengalaman sebelum nya
3.akomodasi : proses memodifikasi apa yang diketahui sebelumnya karena menghadapi fenomena yang
baru
Suasana belajar akan lebih efektif dalam seorang anak dihadapkan pada konflik,serta tindakan atau pengalaman nyata sehingga ada proses akomodasi dan asimilasi.Tahap perkembangan kognitif anak usia 18 – 6 atau 7 tahun {free –operational} yaitu mulai berpikir menggunakan symbol / objek kongkrit . Tahap perkembangan kognitif usia 7-12 tahun {concrete – operational} yaitu mulai berpikir abstrak dan logis,tapi masih memerlukan objek kongkrit.
TEORI ERIK ERIKSON {teori perkembangan emosi}
1.Perkembangan emosi positif sangat penting dalam perkembangan jiwa anak selanjut nya sehingga anak percaya diri dan besemangat untuk belajar
2.Sangat tergantung pada peran guru dan orang tua
MITIATIVE NS GUILT (USIA 3,5-6 TAHUN)
1. Pada masa usia ini, anak harus dapat bereksperimen, bereksplorasi, berimajinasi, berani
mengambil resiko, berani mencoba, sehingga anak kreatif dan antusias belajar
2. Anak terlalu banyak dikritik dan disalahkan akan mematikan kreatifitas, karena takut
mencoba
3. Memerlukan suasana belajar yang memberikan kesempatan anak aktif, berimajinasi,
bersosialisasi, dan berkreasi (bukan sebagai objek pasif)
INDUSTRY VERSUS INFERIORITY (USIA 6 TAHUN-AWAL PUBERTAS)
1. Masa paling kritis dalam membangun kepercayaan diri bahwa mereka mampu untuk berkarya
2. Berikan kegiatan permainan yang membuat mereka merasa berhasil melakukannya
3. Memberikan nilai atau rangkin yang dapat menimbulkan a sense of inferiority
Ciptakan kurikulum yang dapat membuat anak merasa mapu mengerjakannya dan tertantang untuk mengetahui lebih lanjut
TEORI FYGOTSKY (TEORI SOSIO-KULTURAL)
1. Cara belajar efektif melalui preaktek nyata (action) terutama dengan bermain
2. Perkembangan intelektual anak mencakup bagaimana mengaitkan bahasa dengan pikiran,
dengan aktif berbicara dan diskusi, anak lebih mngerti konsep berbicara
3. Bahasa merupakan alat Bantu yang efektif dalam proses belajar, bermain dan
bereksplorasi, dapat membantu perkembangan otak, berbahasa, bernalar, dan
bersosialisasi.
BAGIAN-BAGIAN OTAK
Sistem limbic otak:
1. mengontrol kemampuan daya ingat, kemampuan belajar manusia
2. merespon informasi yang diterima panca indera
3. Penyimpan informasi yang berharga
BRAIN BASED LEARNING
1. otak belajar melibatkan seluruh aspek fisiologi manusia
2. kerja otak dipengaruhi oleh emosi
3. otak selalu mencari makna dan arti
4. otak bekerja secara parallel dan simultan
5. kerja otak optimal jika diberi tantangan dan terhambat jika ada ancaman
HOWART GARDNER
1. Kecerdasan adalah multidimensi, setiap manusia mepunyai kecerdasan spesifik dan
kombinasi dari beberapa aspek kecerdasan
2. Definisi kecerdasan yaitu kemampuan untuk menyelesaikan berbagai masalah dalam
kehidupan, dan dapat menghasilkan produk yang berguna dalam berbagai aspek kehidupan
Petunjuk praktik praktis pelaksanaan BAP
1. Merencanakan kurikulum
2. interaksi orangtua, guru, dan anak
3. Hubungan antara rumah dan sekolah
4. evaluasi perkembangan anak
merencanakan kurikulum sesuai BAP
1. mencakup pengembangan seluruh dimensi perkembangan anak, seperti fisik emosi social
spiritual, dan kognitif
2. guru harus memodifikasi kurikulum sesuai dengan akat, minat, kekuatan, kebutuhan, dan
latar belakang anak
3. memperhasilkan proses belajar yang aktif, keterlibatan anak dalam eksplorasi dan interaksi dengan guru dan rekan
4. Kegiatan dan material belajar harus nyata dan relevan dengan kehidupan anak
Hasil studi DAP
1. meningkatkan motivasi anak untuk bereksplorasi, meningkatkan kreatifitas
2. anak mempunyai tingkat stress dan kekhawatiran yang rendah
3. anak lebih kreatif, unggul dalam kemampuan bahasa, membaca dan matematika
Progam pendidikan yang sesuai dengan DAP
1. guru menyediakan beragam kegiatan dan bahan-bahan acara sehingga anak mempunyai
kesemapatan untuk memilih
2. guru harus memberikan peluang anak untuk tercelup dalam kegiatan di kelas dengan
menggunkan bahan-bahan ajaran, maupun diskusi aktif
3. mmeberikan bergam kegiatan secara kelompok atau individu
4. membantu dan mengarahkan anaka yanag masih belum mampu melakukannya
5. berikan motivasi kepada anak untuk berinisiatifkan diri mengulang apa yang sedang
dipelajari
9 PILAR PENDIDIKAN BERBASIS KARAKTER
Indonesia Heritage Foundation telah mengembangkan dan mempraktekkan
sebuah model Pendidikan Holistik Berbasis Karakter untuk TK dan SD.
Model pendidikan ini menerapkan teori-teori sosial, emosi, kognitif,
fisik, moral, dan spiritual. Model ini diharapkan dapat memampukan
setiap anak untuk berkembang sebagai individu yang terintegrasi dengan
baik (secara spiritual, intelektual, sosial, fisik, dan emosi, yang
berpikir kreatif secara mandiri, dan bertanggung jawab).
Pendidikan Holistik Berbasis Karakter
bertujuan untuk membangun seluruh dimensi manusia dengan pendekatan pada
pengalaman belajar yang menyenangkan dan inspiratif untuk anak-anak.
Guru-guru akan diperlengkapi dengan pengetahuan teoritis dan praktis
mengenai “Pendidikan yang Patut dan Menyenangkan”, “Pembelajaran yang
Ramah Otak”, “Kecerdasan Emosi”, “Komunikasi Efektif”, “Penerapan
Pendidikan 9 Pilar Karakter secara Eksplisit (mengetahui, merasakan, dan
melakukan)”, “Kecerdasan Majemuk”, “Pembelajaran Kooperatif”,
“Pembelajaran Kontekstual”, “Pembelajaran Berbasis Pertanyaan”,
“Manajemen Kelas Efektif”, “Pembelajaran Siswa Aktif”, “ Whole Language
”, “Aplikasi Modul Pendidikan Holistik Berbasis Karakter”, “Aplikasi
Modul Karakter di ruang kelas”, “Teknik Bercerita”, “Kreativitas dan
Origami”, dan lain-lain.
Model Pendidikan Holistik Berbasis Karakter
adalah model pendidikan yang tidak hanya memberikan rasa aman untuk
anak, tetapi juga menciptakan suasana belajar yang nyaman dan
menstimulasi suasana belajar untuk anak.
1. Guru harus diberikan training terlebih
dahulu sebelum menerapkan model pembelajaran ini di sekolah. Tujuan
dari training ini adalah memotivasi dan membentuk guru agar dapat
menjadi guru yang ramah dan penyayang yang dapat memotivasi anak serta
dengan tulus dapat memberikan cintanya secara tulus pada anak. Dalam
training, guru akan memperoleh berbagai pengetahuan terbaru yang
aplikatif dapat diterapkan langsung, seperti Pendidikan yang Patut
Menurut Perkembangan Anak ( Developmentally Appropriate Practices ),
Pembelajaran yang Sesuai dengan Kerja Otak ( Brain-based Learning),
Metode Belajar Aktif ( Student Active Learning & Inquiry-based
Learning ), Komunikasi Efektif, Manajemen Kelas, Teknik Bercerita, dll.
Kemampuan guru ini akan membantu anak di sekolah dalam hal:
a. Menumbuhkan rasa percaya diri anak
b. Anak merasa aman dan nyaman
c. Mengembangkan perasaan anak bahwa dirinya memiliki kemampuan dan dihargai sebagai seorang individu yang unik
Hubungan emosional yang kuat antara guru dan
anak akan terjalin dan menjadi modal utama untuk membantu anak-anak di
kelas. Terutama bagi anak-anak yang mengalami trauma, karena dengan
demikian akan terbentuk kepercayaan, juga perasaan aman dan nyaman di
kelas.
2. Model ini memberikan kesempatan yang
luas pada anak untuk mengembangkan seluruh dimensi holistik yang
dimilikinya sebagai dari seorang manusia. Tidak hanya pengembangan aspek
kognitif (otak kiri atau hapalan), tapi juga pengembangan aspek emosi,
sosial, kreativitas, dan spiritualitas (otak kanan) yang keseluruhannya
tercakup di dalam modul pembelajaran. Dengan metode ini, anak-anak yang
mengalami trauma memiliki kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya
baik secara verbal, melalui gambar, permainan, tulisan, ataupun bentuk
lainnya sehingga dapat mengurangi rasa takut dan tidak nyaman.
3. Model pembelajaran ini bertujuan untuk
membentuk karakter positif anak melalui pengembangan 9 Pilar Karakter
secara intensif. Yaitu meliputi aspek mengetahui, mencintai dan
melakukan kebaikan ( knowing, loving, and acting the good ). Metode ini
akan membentuk suasana kelas yang bersahabat, kebersamaan, saling
mendukung dan menghargai dengan sesama temannya.
4. Model ini juga menyediakan alat bantu
mengajar yang sesuai dengan tahap perkembangan anak. Dengan demikian
guru dapat memberikan pengalaman belajar yang konkrit, kontekstual
sehingga merangsang anak belajar secara aktif, menyenangkan dan tanpa
beban. Pada umumnya di kelas yang menggunakan metode lama (klasikal),
anak akhirnya merasa terbebani karena penggunaan alat bantu mengajar
yang tidak sesuai dengan perkembangan anak, metode mengajar yang tidak
sesuai dengan kerja otak, dan cara komunikasi guru yang tidak tepat.
Karena itulah Model Pembelajaran Holistik Berbasis Karakter ini tepat
bagi anak-anak yang mengalami trauma.
5. Anak akan memiliki perasaan bahwa
dirinya memiliki kemampuan karena dalam metode pembelajaran ini anak
diberikan banyak kesempatan untuk melakukan kegiatan belajar nyata
secara langsung ( hands-on activities, seperti misalnya kegiatan
matematika, sains, memasak, berkebun). Perasaan bahwa dirinya mampu akan
berkembang pada tumbuhnya rasa percaya diri. Selain itu akan tumbuh
pula kerja sama diantara anak. Karakter ini akan membantu anak untuk
mengatasi rasa traumanya dan menumbuhkan rasa percaya diri bahwa di masa
depannya nanti ia akan berhasil.
I. Refleksi harian atau apersepsi.
Setiap pagi anak-anak diminta untuk berefleksi selama 20 menit dalam pengajaran pilar pada hari itu. Waktu refleksi ini memberikan anak-anak kesempatan untuk mengekspresikan secara verbal pengetahuan mereka, kecintaan (perasaan), dan bagaimana mereka sudah menerapkan pilar (prinsip dari Dr. Thomas Lickona: mengetahui yang baik, merasakan yang baik, dan melakukan yang baik). Mengajarkan pilar-pilar selama tahun-tahun sekolah, dimana setiap pilar dirotasi setiap dua atau tiga minggu sekali. Sembilan Pilar Karakter adalah:
Setiap pagi anak-anak diminta untuk berefleksi selama 20 menit dalam pengajaran pilar pada hari itu. Waktu refleksi ini memberikan anak-anak kesempatan untuk mengekspresikan secara verbal pengetahuan mereka, kecintaan (perasaan), dan bagaimana mereka sudah menerapkan pilar (prinsip dari Dr. Thomas Lickona: mengetahui yang baik, merasakan yang baik, dan melakukan yang baik). Mengajarkan pilar-pilar selama tahun-tahun sekolah, dimana setiap pilar dirotasi setiap dua atau tiga minggu sekali. Sembilan Pilar Karakter adalah:
1. Cinta Tuhan dan Segenap Ciptaan-Nya
2. Tanggung jawab, Kedisiplinan, dan Kemandirian
3. Kejujuran/ Amanah dan Diplomasi
4. Hormat dan Santun
5. Dermawan, Suka Menolong, dan Gotong-royong/ Kerjasama
6. Percaya Diri, Kreatif, dan Pekerja Keras
7. Kepemimpinan dan Keadilan
8. Baik dan Rendah Hati
9. Toleransi, Kedamaian, dan Kesatuan
Pilar-pilar tersebut dilengkapi tambahan
praktek dari Kerapian, Keamanan, Kebersihan, dan Kesehatan. Manual
pengajaran 9 pilar karater disediakan untuk guru, yang mencakup
mengetahui (knowing), merasakan (feeling), dan melakukan yang baik
(acting the good). Manual ini dilengkapi dengan 112 buku cerita yang
terkait dengan setiap pilar. Ada 10 buku display karakter dan kertas
kerja dengan gambar-gambar berwarna untuk anak.
II. Kurikulum Terintegrasi Berbasis Karakter.
Model ini telah mengadaptasi prinsip-
prinsip pembelajaran terpadu ke dalam pendidikan berbasis karakter.
Menggunakan metode mengajar interdisipliner secara tematis, setiap
pelajaran (subjek) dalam kurikulum telah terintegrasi. Untuk Taman
Kanak-Kanak (TK), ada 6 sampai 7 aktivitas, yang di dalamnya mencakup:
a. Imajinasi -di sentra ini anak dicelupkan dalam kegiatan berfantasi dan berimajinasi untuk merangsang kreativitas.
b. Aktivitas Rancang Bangun – Kurikulumnya
mendorong eksplorasi dan permainan dengan balok-balok kayu (dan
mainan-mainan lain yang sejenis). Kegiatan ini mengembangkan konsep
dasar spatial, logika-matematika dan rasa seni yang mendorong tumbuhnya
karakter percaya diri, kreatif dan pantang menyerah, dan kerjasama.
c. Aktivitas Koordinasi tangan dan mata
(Seni dan Kreativitas). Aspek kurikulum ini mencakup seni yang
memungkinkan anak-anak bekerja dengan tangan mereka. Contohnya,
finger-painting (melukis dengan jari), membentuk tanah liat, dan
mencocok atau melipat kertas. Ini juga mencakup olahraga dan aktivitas
fisik seperti melompat, menendang bola, sepak bola, dan kegiatan lainnya
yang membutuhkan koordinasi bagian-bagian tubuh. Kegiatan ini dirancang
untuk meningkatkan penghargaan diri.
d. Eksplorasi -Aspek kurikulum ini dirancang
untuk menciptakan dan meningkatkan keingintahuan untuk belajar.
Kurikulum ini mengintegrasikan kognitif, sosial, emosi, fisik, dan
pengembangan moral sebagai dasar untuk eksplorasi. Kegiatan ini
merupakan upaya untuk tumbuhnya rasa keingintahuan yang besar sebagai
dasar tumbuhnya karakter cinta kepada Tuhan dan alam semesta, kasih
sayang, kepedulian, kerjasama, pantang menyerah, kerja keras, amanah,
hormat dan santun. Bereksplorasi dengan alam merupakan cara yang dapat
membantu pembentukan jiwa yang penuh kepedulian, kekaguman, cinta dan
kasih sayang.
e. Alam –Aspek kurikulum ini dirancang untuk
menolong anak, tidak hanya balajar tentang alam (berkebun, ternak, atau
kolam ikan), tetapi juga untuk memiliki apresiasi dan penghargaan
terhadap alam. Anak-anak didorong untuk mengamati tanaman-tanaman yang
bertumbuh, memelihara, dan menanamnya, dan juga bertanggung jawab untuk
memberi makan binatang. Melalui kegiatan-kegiatan tersebut, anak-anak
akan belajar tanggung jawab, dapat dipercaya, empati, dan mencintai
seluruh ciptaan Tuhan.
f. Akademik – Akademik sangat penting dalam
mempersiapkan anak-anak TK untuk memasuki Sekolah Dasar (SD). Huruf
alfabet dan angka-angka diperkenalkan dengan cara yang menyenangkan dan
menarik (bukan mengajar membaca, menulis, berhitung).
g. Agama (optional) – Kurikulum dirancang
untuk membantu pengembangan spiritualitas dan atau moralitas. Ini untuk
membantu anak mengembangkan kecintaan pada Tuhan dan ketaatan serta
hormat pada Tuhan.
III. Pembelajaran Menyenangkan, Aktif dan Hands-On .
Setiap aspek kurikulum diterapkan
menggunakan ” Active and Hands-on Learning ” dan pendekatan belajar
kontekstual, yang dapat menciptakan pengalaman belajar yang menyenangkan
dan menantang.
IV. Co-parenting
Para orang tua diberikan pedoman untuk menerapkan setiap pilar karater di rumah. Pada permulaan setiap pilar, masing-masing orang tau diberikan surat pemberitahuan yang berisi informasi pilar, definisi, dan daftar aktivitas yang direkomendasikan, yang dapat dilakukan oleh orang tua di rumah untuk meningkatkan efektivitas pengajaran. Pada akhir periode pilar (2-3 minggu), setiap orang tua diminta untuk mengisi lembar kuesioner, yang menanyakan tentang pnegalaman mereka, perasaan, dan pengamatan atas perkembangan karakter anak mereka.
Para orang tua diberikan pedoman untuk menerapkan setiap pilar karater di rumah. Pada permulaan setiap pilar, masing-masing orang tau diberikan surat pemberitahuan yang berisi informasi pilar, definisi, dan daftar aktivitas yang direkomendasikan, yang dapat dilakukan oleh orang tua di rumah untuk meningkatkan efektivitas pengajaran. Pada akhir periode pilar (2-3 minggu), setiap orang tua diminta untuk mengisi lembar kuesioner, yang menanyakan tentang pnegalaman mereka, perasaan, dan pengamatan atas perkembangan karakter anak mereka.
Metode Evaluasi:
Para siswa dievaluasi dalam hal perkembangan
dalam kepribadian baik (karakter yang baik, kasih sayang, kebaikan,
dll), perkembangan dan keunikan talenta dan bakat, dan perkembangan
dalam kekritisan pribadi. Evaluasi menilai bagaimana para siswa dapat
mengingat informasi, mengerti, menerapkan, menganalisa, dan menyatukan
informasi/pelajaran.
Ujian terstandarisasi dan raport dengan
penilaian angka ( letter-grade ) tidak digunakan. Para siswa tidak
dibandingkan satu dengan yang lain, dan juga tidak diberikan label dalam
cara apapun.
Para siswa menunjukkan prestasi melalui
portofolio, proyek-proyek, pertunjukan, sosio-drama, essay/tulisan,
diskusi perorangan dengan guru dan siswa, tugas pribadi, dan juga
prestasi perorangan dalam seni, musik, matematika, menulis, ilmu
pengetahuan (sains), dll (siswa unggul dalam berbagai bidang/cara yang
berbeda-beda).
Sumber : www[.]ihf[.]or[.]id
TREN PENDIDIKAN INTERNASIONAL-Holistik
TREN PENDIDIKAN INTERNASIONAL
oleh sekolahalam minangkabau pada 4 Juli 2010 pukul 11:27 ·
Paradigma pendidikan yang ada dalam pemahaman orang tua tentang pendidikan sudah patut untuk dirubah, terutama pendidikan untuk usia dini (usia TK dan SD). Paradigma pendidikan yang
berorientasi akademik dan fragmented (terpilah-pilah) seharusnya sudah
mulai berubah menjadi paradigma yang berorientasi kepada pendidikan holistik, yaitu pendidikan yang ditujukan untuk membangun seluruh dimensi manusia: sosial, emosional, motorik, akademik, spiritual, dan kognitif.
Holistik berasal dari kata whole atau menyeluruh. Pendidikan holistik dimaksudkan agar orang berkembang secara menyeluruh, baik dari aspek kognitif, motorik, emosional, maupun spiritual. Pendidikan holistik mulai disadari pada tahun 2000 dan menjadi tren pendidikan internasional hingga saat ini. Di Singapura, pendidikan holistik dimulai pada tahun 2006, sedangkan di Jepang sudah dimulai sejak tahun 2000 dengan prinsip body, mind and soul.
Sistem pendidikan di Indonesia sebenarnya sudah berorientasi kepada pendidikan holistik, walaupun baru bersifat konstitusional. Sedangkan aplikasinya belum semua sekolah yang menjunjung pendidikan holistik. Sistem pendidikan Indonesia masih cenderung akademikal dan ini juga mempengaruhi paradigma yang beredar di kalangan orang tua. Semua diukur dengan nilai – jika nilai anak pada mata pelajaran tertentu buruk maka akan mempengaruhi nilai rata-ratanya, yang pada akhirnya akan mempengaruhi rangking anak dan kemudian anak akan dicap sebagai anak yang bodoh. Kondisi ini kemudian dikaitkan dengan ranking sekolah yang kalau nilai murid-muridnya jelek maka rangking sekolah pun akan turun – sekolah yang tadinya menjadi sekolah unggulan langsung menjadi sekolah ranking 20 besar misalnya. Kemudian orang tua dan sekolah berlomba-lomba memforsir anak untuk mendapatkan nilai yang bagus, menang pada olimpiade A, B dan C, sehingga membuat orang tua bangga dan rangking sekolah bagus kembali.
Ini adalah gambaran riil kondisi pembentukan paradigma orang tua tentang pendidikan, sangat ironik dengan tujuan pendidikan nasional dan pendidikan dasar di Indonesia yaitu “berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia holistik.” Dari cerita di atas, pernahkah kita sebagai orang tua atau guru atau pihak sekolah berpikir dari sudut pandang anak sebagai objek penderita?
Pendidikan untuk anak usia dini (usia TK dan SD) adalah masa-masa paling kritis dalam membangun fondasi untuk berkembangnya manusia holistik. Apabila pada usia dini para siswa sudah mendapatkan pengalaman yang buruk tentang pendidikan, maka tidak akan terwujud motivasi belajarnya di masa depan sehingga sulit untuk menjadi seorang pecinta belajar. Bagaimana agar ia mendapatkan pendidikan yang benar kembali kepada pemahaman orang tua tentang apa itu belajar.
Yang perlu dipahami adalah bahwa belajar bukan hanya duduk di bangku kelas, mendengarkan guru menerangkan, mengerjakan soal-soal, mendapatkan nilai yang bagus dan mengerjakan pekerjaan rumah. Tetapi jauh lebih luas daripada itu. Belajar adalah sebuah proses untuk mendapatkan pengetahuan. Pengetahuan bisa didapatkan dengan cara apa saja. Bermain termasuk aktifitas belajar. Hakikatnya belajar itu adalah merefleksikan pengalaman-pengalaman yang didapatkan dari aktifitas-aktifitas yang dilalui si anak. Bagaimana merefleksikannya merupakan tugas orang tua, guru, sekolah, lingkungan lainnya, yang mendapatkan kesempatan lebih dulu dibandingkan anak dalam mendapatkan pengalaman, untuk membantu anak berpikir pengetahuan atau pelajaran apa yang bisa ia dapatkan dari pengalaman-pengalamannya. Contohnya dengan menjadi tauladan bagi anak karena anak cenderung meniru apalagi pada usia dini. Seperti pepatah mengatakan buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Jika ingin anaknya menjadi kreatif, orang tua pun harus kreatif dan juga sebaliknya, jika ingin anaknya menjadi peniru sejati, maka orang tua pun bersikap sangat intervensi dalam kehidupan anak.
Pendidikan itu harus seimbang, dalam arti kata, tidak akademik terus menerus, tetapi emosional dan spiritual juga harus diperhatikan. Percuma saja jika seorang siswa secara akademik sangat bagus tetapi tidak bisa bersosialisasi dan tidak peka terhadap lingkungan sekitarnya. Ini dapat dilihat bahwa begitu banyak sarjana yang ketika dihadapkan kepada lingkungan kerja dia tidak tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana harus bersikap. Ini merupakan output dari pendidikan yang tidak seimbang, yang hanya terfokus pada nilai dan ijazah tanpa mengindahkan modal aplikatif yang sebenarnya paling dibutuhkan pada kehidupan sehari-hari dan masa depan. Bagaimanapun juga manusia itu adalah makhluk sosial yang sangat bergantung kepada alam dan makhluk lainnya yang ada di bumi.
Pendidikan itu harus sesuai dengan karakter anak. Kita orang dewasa harus bisa memahami bahwa setiap anak itu mempunyai ciri khasnya masing-masing, tidak bisa disama-ratakan. Rambut bisa sama hitam, tetapi isi kepala belum tentu sama. Pendidikan holistik yang ideal adalah pendidikan yang berbasiskan karakter anak. Memang jika diterapkan di sekolah Indonesia yang siswa dalam satu kelasnya bisa mencapai 40 anak dengan pendamping satu orang guru, model pendidikan seperti ini belum bisa diterapkan secara total. Tidak mungkin seorang guru dengan kapasitasnya bisa memperhatikan 40 orang siswa satu per satu. Walaupun tidak bisa diterapkan di sekolah, tetapi sangat memungkinkan untuk diterapkan di rumah atau di lingkungan lainnya. Perlu diingat bahwa pendidikan bisa dilakukan di mana saja. Keluarga merupakan tempat anak mendapatkan pendidikan pertamanya hingga seterusnya. Proses pendidikan anak lebih banyak di dalam keluarga atau lingkungan luar sekolah dibandingkan dengan di sekolah sendiri. Maka dari itu, sekolah sebenarnya hanya berfungsi sebagai pendukung pendidikan anak, bukan sebagai penanggung jawab pendidikan anak. Orang tua dan sekolah harus bekerja sama dalam mendidik anak-anaknya.
Maka bisa disimpulkan dari cerita di atas bahwa paradigma pendidikan kita sekarang ini sudah harus dirubah jika memang kita ingin anak-anak kita maju di masa depannya. Tren pendidikan yang beredar sekarang ini adalah pendidikan holistik, yang bersifat menyeluruh dari aspek-aspek yang ada: emosional, spiritual, kognitif, motorik, dan sosialnya. Jika kita tidak bisa merubah paradigma pendidikan kita menjadi pendidikan yang holistik, maka akan semakin terpuruklah bangsa ini.
Holistik berasal dari kata whole atau menyeluruh. Pendidikan holistik dimaksudkan agar orang berkembang secara menyeluruh, baik dari aspek kognitif, motorik, emosional, maupun spiritual. Pendidikan holistik mulai disadari pada tahun 2000 dan menjadi tren pendidikan internasional hingga saat ini. Di Singapura, pendidikan holistik dimulai pada tahun 2006, sedangkan di Jepang sudah dimulai sejak tahun 2000 dengan prinsip body, mind and soul.
Sistem pendidikan di Indonesia sebenarnya sudah berorientasi kepada pendidikan holistik, walaupun baru bersifat konstitusional. Sedangkan aplikasinya belum semua sekolah yang menjunjung pendidikan holistik. Sistem pendidikan Indonesia masih cenderung akademikal dan ini juga mempengaruhi paradigma yang beredar di kalangan orang tua. Semua diukur dengan nilai – jika nilai anak pada mata pelajaran tertentu buruk maka akan mempengaruhi nilai rata-ratanya, yang pada akhirnya akan mempengaruhi rangking anak dan kemudian anak akan dicap sebagai anak yang bodoh. Kondisi ini kemudian dikaitkan dengan ranking sekolah yang kalau nilai murid-muridnya jelek maka rangking sekolah pun akan turun – sekolah yang tadinya menjadi sekolah unggulan langsung menjadi sekolah ranking 20 besar misalnya. Kemudian orang tua dan sekolah berlomba-lomba memforsir anak untuk mendapatkan nilai yang bagus, menang pada olimpiade A, B dan C, sehingga membuat orang tua bangga dan rangking sekolah bagus kembali.
Ini adalah gambaran riil kondisi pembentukan paradigma orang tua tentang pendidikan, sangat ironik dengan tujuan pendidikan nasional dan pendidikan dasar di Indonesia yaitu “berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia holistik.” Dari cerita di atas, pernahkah kita sebagai orang tua atau guru atau pihak sekolah berpikir dari sudut pandang anak sebagai objek penderita?
Pendidikan untuk anak usia dini (usia TK dan SD) adalah masa-masa paling kritis dalam membangun fondasi untuk berkembangnya manusia holistik. Apabila pada usia dini para siswa sudah mendapatkan pengalaman yang buruk tentang pendidikan, maka tidak akan terwujud motivasi belajarnya di masa depan sehingga sulit untuk menjadi seorang pecinta belajar. Bagaimana agar ia mendapatkan pendidikan yang benar kembali kepada pemahaman orang tua tentang apa itu belajar.
Yang perlu dipahami adalah bahwa belajar bukan hanya duduk di bangku kelas, mendengarkan guru menerangkan, mengerjakan soal-soal, mendapatkan nilai yang bagus dan mengerjakan pekerjaan rumah. Tetapi jauh lebih luas daripada itu. Belajar adalah sebuah proses untuk mendapatkan pengetahuan. Pengetahuan bisa didapatkan dengan cara apa saja. Bermain termasuk aktifitas belajar. Hakikatnya belajar itu adalah merefleksikan pengalaman-pengalaman yang didapatkan dari aktifitas-aktifitas yang dilalui si anak. Bagaimana merefleksikannya merupakan tugas orang tua, guru, sekolah, lingkungan lainnya, yang mendapatkan kesempatan lebih dulu dibandingkan anak dalam mendapatkan pengalaman, untuk membantu anak berpikir pengetahuan atau pelajaran apa yang bisa ia dapatkan dari pengalaman-pengalamannya. Contohnya dengan menjadi tauladan bagi anak karena anak cenderung meniru apalagi pada usia dini. Seperti pepatah mengatakan buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Jika ingin anaknya menjadi kreatif, orang tua pun harus kreatif dan juga sebaliknya, jika ingin anaknya menjadi peniru sejati, maka orang tua pun bersikap sangat intervensi dalam kehidupan anak.
Pendidikan itu harus seimbang, dalam arti kata, tidak akademik terus menerus, tetapi emosional dan spiritual juga harus diperhatikan. Percuma saja jika seorang siswa secara akademik sangat bagus tetapi tidak bisa bersosialisasi dan tidak peka terhadap lingkungan sekitarnya. Ini dapat dilihat bahwa begitu banyak sarjana yang ketika dihadapkan kepada lingkungan kerja dia tidak tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana harus bersikap. Ini merupakan output dari pendidikan yang tidak seimbang, yang hanya terfokus pada nilai dan ijazah tanpa mengindahkan modal aplikatif yang sebenarnya paling dibutuhkan pada kehidupan sehari-hari dan masa depan. Bagaimanapun juga manusia itu adalah makhluk sosial yang sangat bergantung kepada alam dan makhluk lainnya yang ada di bumi.
Pendidikan itu harus sesuai dengan karakter anak. Kita orang dewasa harus bisa memahami bahwa setiap anak itu mempunyai ciri khasnya masing-masing, tidak bisa disama-ratakan. Rambut bisa sama hitam, tetapi isi kepala belum tentu sama. Pendidikan holistik yang ideal adalah pendidikan yang berbasiskan karakter anak. Memang jika diterapkan di sekolah Indonesia yang siswa dalam satu kelasnya bisa mencapai 40 anak dengan pendamping satu orang guru, model pendidikan seperti ini belum bisa diterapkan secara total. Tidak mungkin seorang guru dengan kapasitasnya bisa memperhatikan 40 orang siswa satu per satu. Walaupun tidak bisa diterapkan di sekolah, tetapi sangat memungkinkan untuk diterapkan di rumah atau di lingkungan lainnya. Perlu diingat bahwa pendidikan bisa dilakukan di mana saja. Keluarga merupakan tempat anak mendapatkan pendidikan pertamanya hingga seterusnya. Proses pendidikan anak lebih banyak di dalam keluarga atau lingkungan luar sekolah dibandingkan dengan di sekolah sendiri. Maka dari itu, sekolah sebenarnya hanya berfungsi sebagai pendukung pendidikan anak, bukan sebagai penanggung jawab pendidikan anak. Orang tua dan sekolah harus bekerja sama dalam mendidik anak-anaknya.
Maka bisa disimpulkan dari cerita di atas bahwa paradigma pendidikan kita sekarang ini sudah harus dirubah jika memang kita ingin anak-anak kita maju di masa depannya. Tren pendidikan yang beredar sekarang ini adalah pendidikan holistik, yang bersifat menyeluruh dari aspek-aspek yang ada: emosional, spiritual, kognitif, motorik, dan sosialnya. Jika kita tidak bisa merubah paradigma pendidikan kita menjadi pendidikan yang holistik, maka akan semakin terpuruklah bangsa ini.
Anak itu bagaikan kertas kosong, orang tua dan lingkungannya adalah pelukisnya. Sebagaimana kertas yang mempunyai ukuran, jenis dan bentuk yang berbeda-beda, begitupula anak. Ia mempunyai karakter yang unik. Beda anak beda karakternya. Tidak ada makhluk ciptaan Tuhan yang sama persis, kembar identik pun pasti mempunyai perbedaan.
Sama seperti halnya manusia melukis, lukisan yang satu tidak mungkin sama persis dengan lukisan yang lainnya. Pasti ada perbedaan walaupun hanya sedikit. Begitu juga ketika orang tua mendidik anaknya, tidak mungkin anak yang satu disamakan dengan anak yang lainnya. Pasti ada perbedaan dalam perlakuan baik dari orang tua ke anak maupun sebaliknya. Bagaimanapun juga kertas dan anak mempunyai kapasitasnya masing-masing yang harus dihargai dan dihormati.
by: Miya Maharani Syahrul
dimuat di harian Padang Ekspres 15 Juni 2008
PAUD HOLISTIK
Keberadaan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD ) semakin banyak. Namun, biasanya anak-anak kerap hanya bermain di sana.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Indonesia Heritage Foundation
(IHF), Dr Ratna Megawangi saat launching Labschool PAUD IPB-ISFA, Kota
Bogor, Jumat (9/7). ”Karena itu kami membuka PAUD Holistik berbasis karakter,” kata Ratna.
Menurut Ratna, PAUD Holistik adalah pendidikan untuk membentuk anak menjadi manusia yang utuh (holistik) melalui pengembangan aspek fisik, emosi, sosial, kreatifitas, spritiual, dan kognitif. ”Jadi di PAUD Holistik, emosi dan kreativitas anak dikembangkan begitu juga dengan akademik dan motoriknya,” ujar dia.
Imajinasi anak, lanjut Ratna, akan dibuka dengan aktivitas yang
diberikan di PAUD. Anak-anak berada di PAUD selama tiga jam. ”Di sini
anak akan berani bicara, berkreasi tapi tetap santun. Guru hanya sebagai
fasilitator, tapi para guru juga akan mendapatkan pelatihan pendidikan holistik berbasis karakter,” kata Ratna.
Keunggulan PAUD Holistik ini
antara lain dapat menggali potensi anak, menggunakan dua bahasa
pengantar yakni Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, dan mutu pendidikan internasional.
Selain itu, di Labschool PAUD IPB-ISFA juga dibuka program untuk anak
berkebutuhan khusus. ”Anak juga akan dilatih untuk bisa menceritakan
kembali cerita yang diberikan oleh guru, ini tentunya melatih keberanian
anak dan kreativitas mereka,” kata dia.
PAUD Holistik pertama kali dibuka di Cimanggis, Depok. “Di sana tidak hanya PAUD tapi SD, SMP pun berbasis karakter. Untuk Bogor, merupakan pionir,” jelas Ratna.
Ratna mengatakan, pendidikan holistik berbasis karakter penting karena 80 persen pertumbuhan dan perkembangan otak terjadi di usia dini. ”Pendidikan yang
terlalu berorientasi kepada akademik pada anak-anak usia dini
menyebabkan anak tidak mampu berpikir kritis, tidak dapat menyelesaikan
masalah dan tidak kreatif. Anak juga menjadi tidak suka belajar,”
ujarnya.
Selain itu, sambung Ratna, anak usia dini yang dibekali kecakapan
sosial dan emosional yang baik serta rasa senang untuk belajar terbukti
lebih siap memasuki sekolah dasar. ”Pembentukan karakter di usia dini
akan mempengaruhi karakter anak di masa dewasa,” imbuh Ratna.
Sumber: www.republika.co.id
PENDIDIKAN HOLISTIK Plus
Pendidikan holistik merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual. Secara historis, pendidikan holistik sebetulnya bukan hal yang baru. Beberapa tokoh klasik perintis pendidikan holistik, diantaranya : Jean Rousseau, Ralph Waldo Emerson, Henry Thoreau, Bronson Alcott, Johann Pestalozzi, Friedrich Froebel dan Francisco Ferrer. Berikutnya, kita mencatat beberapa tokoh lainnya yang dianggap sebagai pendukung pendidikan holistik, adalah : Rudolf Steiner, Maria Montessori, Francis Parker, John Dewey, John Caldwell Holt, George Dennison Kieran Egan, Howard Gardner, Jiddu Krishnamurti, Carl Jung, Abraham Maslow, Carl Rogers, Paul Goodman, Ivan Illich, dan Paulo Freire.
Pemikiran dan gagasan inti dari para perintis pendidikan holistik sempat tenggelam sampai dengan terjadinya loncatan paradigma kultural pada tahun 1960-an. Memasuki tahun 1970-an mulai ada gerakan untuk menggali kembali gagasan dari kalangan penganut aliran holistik. Kemajuan yang signifikan terjadi ketika dilaksanakan konferensi pertama pendidikan Holistik Nasional yang diselenggarakan oleh Universitas California pada bulan Juli 1979, dengan menghadirkan The Mandala Society dan The National Center for the Exploration of Human Potential. Enam tahun kemudian, para penganut pendidikan holistik mulai memperkenalkan tentang dasar pendidikan holistik dengan sebutan 3 R’s, akronim dari relationship, responsibility dan reverence. Berbeda dengan pendidikan pada umumnya, dasar pendidikan 3 R’s ini lebih diartikan sebagai writing, reading dan arithmetic atau di Indonesia dikenal dengan sebutan calistung (membaca, menulis dan berhitung).
Tujuan pendidikan holistik adalah membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demoktaris dan humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui pendidikan holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri (learning to be). Dalam arti dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan karakter dan emosionalnya (Basil Bernstein).
Jika merujuk pada pemikiran Abraham Maslow, maka pendidikan harus dapat mengantarkan peserta didik untuk memperoleh aktualisasi diri (self-actualization) yang ditandai dengan adanya: (1) kesadaran; (2) kejujuran; (3) kebebasan atau kemandirian; dan (4) kepercayaan.
Pendidikan holistik memperhatikan kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spritual. Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif, oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan bagaimana orang belajar. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan strategi pembelajaran holistik, diantaranya: (1) menggunakan pendekatan pembelajaran transformatif; (2) prosedur pembelajaran yang fleksibel; (3) pemecahan masalah melalui lintas disiplin ilmu, (4) pembelajaran yang bermakna, dan (5) pembelajaran melibatkan komunitas di mana individu berada.
Dalam pendidikan holistik, peran dan otoritas guru untuk memimpin dan mengontrol kegiatan pembelajaran hanya sedikit dan guru lebih banyak berperan sebagai sahabat, mentor, dan fasilitator. Forbes (1996) mengibaratkan peran guru seperti seorang teman dalam perjalanan yang telah berpengalaman dan menyenangkan.
Sekolah hendaknya menjadi tempat peserta didik dan guru bekerja guna mencapai tujuan yang saling menguntungkan. Komunikasi yang terbuka dan jujur sangat penting, perbedaan individu dihargai dan kerjasama lebih utama dari pada kompetisi.
Gagasan pendidikan holistik telah mendorong terbentuknya model-model pendidikan alternatif, yang mungkin dalam penyelenggaraannya sangat jauh berbeda dengan pendidikan pada umumnya, salah satunya adalah homeschooling, yang saat ini sedang berkembang, termasuk di Indonesia.
Pemikiran dan gagasan inti dari para perintis pendidikan holistik sempat tenggelam sampai dengan terjadinya loncatan paradigma kultural pada tahun 1960-an. Memasuki tahun 1970-an mulai ada gerakan untuk menggali kembali gagasan dari kalangan penganut aliran holistik. Kemajuan yang signifikan terjadi ketika dilaksanakan konferensi pertama pendidikan Holistik Nasional yang diselenggarakan oleh Universitas California pada bulan Juli 1979, dengan menghadirkan The Mandala Society dan The National Center for the Exploration of Human Potential. Enam tahun kemudian, para penganut pendidikan holistik mulai memperkenalkan tentang dasar pendidikan holistik dengan sebutan 3 R’s, akronim dari relationship, responsibility dan reverence. Berbeda dengan pendidikan pada umumnya, dasar pendidikan 3 R’s ini lebih diartikan sebagai writing, reading dan arithmetic atau di Indonesia dikenal dengan sebutan calistung (membaca, menulis dan berhitung).
Tujuan pendidikan holistik adalah membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demoktaris dan humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui pendidikan holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri (learning to be). Dalam arti dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan karakter dan emosionalnya (Basil Bernstein).
Jika merujuk pada pemikiran Abraham Maslow, maka pendidikan harus dapat mengantarkan peserta didik untuk memperoleh aktualisasi diri (self-actualization) yang ditandai dengan adanya: (1) kesadaran; (2) kejujuran; (3) kebebasan atau kemandirian; dan (4) kepercayaan.
Pendidikan holistik memperhatikan kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spritual. Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif, oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan bagaimana orang belajar. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan strategi pembelajaran holistik, diantaranya: (1) menggunakan pendekatan pembelajaran transformatif; (2) prosedur pembelajaran yang fleksibel; (3) pemecahan masalah melalui lintas disiplin ilmu, (4) pembelajaran yang bermakna, dan (5) pembelajaran melibatkan komunitas di mana individu berada.
Dalam pendidikan holistik, peran dan otoritas guru untuk memimpin dan mengontrol kegiatan pembelajaran hanya sedikit dan guru lebih banyak berperan sebagai sahabat, mentor, dan fasilitator. Forbes (1996) mengibaratkan peran guru seperti seorang teman dalam perjalanan yang telah berpengalaman dan menyenangkan.
Sekolah hendaknya menjadi tempat peserta didik dan guru bekerja guna mencapai tujuan yang saling menguntungkan. Komunikasi yang terbuka dan jujur sangat penting, perbedaan individu dihargai dan kerjasama lebih utama dari pada kompetisi.
Gagasan pendidikan holistik telah mendorong terbentuknya model-model pendidikan alternatif, yang mungkin dalam penyelenggaraannya sangat jauh berbeda dengan pendidikan pada umumnya, salah satunya adalah homeschooling, yang saat ini sedang berkembang, termasuk di Indonesia.
MAKALAH TENTANG HOLISTIK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan holistik merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual. Secara historis, pendidikan holistik sebetulnya bukan hal yang baru.
Pembelajaran holistik (holistic learning) adalah
pendekatan pembelajaran yang berfokus pada pemahaman informasi dan mengkaitkannya dengan topik-topik lain sehingga terbangun kerangka pengetahuan. Dalam pembelajaran holistik, diterapkan prinsip bahwa siswa akan belajar lebih efektif jika semua aspek pribadinya (pikiran, tubuh dan jiwa) dilibatkan dalam pengalaman siswa.
Sekolah hendaknya menjadi tempat peserta didik dan guru bekerja guna mencapai tujuan yang saling menguntungkan. Komunikasi yang terbuka dan jujur sangat penting, perbedaan individu dihargai dan kerjasama lebih utama dari pada kompetisi.
Gagasan pendidikan holistik telah mendorong terbentuknya model-model pendidikan alternatif, yang mungkin dalam penyelenggaraannya sangat jauh berbeda dengan pendidikan pada umumnya, salah satunya adalah homeschooling, yang saat ini sedang berkembang, termasuk di Indonesia.
B. Definisi Pendekatan Pembelajaran Holistik
Beberapa tokoh klasik perintis pendidikan holistik, diantaranya : Jean Rousseau, Ralph Waldo Emerson, Henry Thoreau, Bronson Alcott, Johann Pestalozzi, Friedrich Froebel dan Francisco Ferrer. Berikutnya, kita mencatat beberapa tokoh lainnya yang dianggap sebagai pendukung pendidikan holistik, adalah : Rudolf Steiner, Maria Montessori, Francis Parker, John Dewey, John Caldwell Holt, George Dennison Kieran Egan, Howard Gardner, Jiddu Krishnamurti, Carl Jung, Abraham Maslow, Carl Rogers, Paul Goodman, Ivan Illich, dan Paulo Freire.
Pemikiran dan gagasan inti dari para perintis pendidikan holistik sempat tenggelam sampai dengan terjadinya loncatan paradigma kultural pada tahun 1960-an. Memasuki tahun 1970-an mulai ada gerakan untuk menggali kembali gagasan dari kalangan penganut aliran holistik. Kemajuan yang signifikan terjadi ketika dilaksanakan konferensi pertama pendidikan Holistik Nasional yang diselenggarakan oleh Universitas California pada bulan Juli 1979, dengan menghadirkan The Mandala Society dan The National Center for the Exploration of Human Potential. Enam tahun kemudian, para penganut pendidikan holistik mulai memperkenalkan tentang dasar pendidikan holistik dengan sebutan 3 R’s, akronim dari relationship, responsibility dan reverence. Berbeda dengan pendidikan pada umumnya, dasar pendidikan 3 R’s ini lebih diartikan sebagai writing, reading dan arithmetic atau di Indonesia dikenal dengan sebutan calistung (membaca, menulis dan berhitung).
Jika merujuk pada pemikiran Abraham Maslow, maka pendidikan harus dapat mengantarkan peserta didik untuk memperoleh aktualisasi diri (self-actualization) yang ditandai dengan adanya: (1) kesadaran; (2) kejujuran; (3) kebebasan atau kemandirian; dan (4) kepercayaan.
Pendidikan holistik memperhatikan kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spritual. Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif, oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan bagaimana orang belajar.
Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan strategi pembelajaran holistik, diantaranya: (1) menggunakan pendekatan pembelajaran transformatif; (2) prosedur pembelajaran yang fleksibel; (3) pemecahan masalah melalui lintas disiplin ilmu, (4) pembelajaran yang bermakna, dan (5) pembelajaran melibatkan komunitas di mana individu berada.
Dalam pendidikan holistik, peran dan otoritas guru untuk memimpin dan mengontrol kegiatan pembelajaran hanya sedikit dan guru lebih banyak berperan sebagai sahabat, mentor, dan fasilitator. Forbes (1996) mengibaratkan peran guru seperti seorang teman dalam perjalanan yang telah berpengalaman dan menyenangkan.
C. Rumusan Masalah
Ada beberapa teknik pembelajaran holistik:
• Mengajukan pertanyaan: Siswa menanyakan beberapa hal seperti: [1] Apa yang sedang dipelajari? [2] Apa hubungannya dengan topik-topik lain dalam bab yang sama? [3] Apa hubungannya dengan topik-topik lain dalam mata pelajaran yang sama? [4] Adakah hubungannya dengan topik-topik dalam mata pelajaran lain? [5] Adakah hubungannya dengan sesuatu dalam kehidupan sehari-hari?
• Memvisualkan informasi: Guru mengajak siswa untuk menyajikan informasi dalam bentuk gambar, diagram, atau sketsa. Objek atau situasi yang terkait dengan informasi disajikan dalam gambar; sedangkan hubungan informasi itu dengan topik-topik lain dinyatakan dengan diagram. Gambar atau diagram tidak harus indah atau tepat, yang penting bisa mewakili apa yang dibayangkan oleh siswa. Jadi gambar atau diagram dapat berupa sketsa atau coretan kasar. Setelah siswa memvisualkan informasi, mereka dapat diminta menerangkan maksud gambar, diagram, atau sketsa yang dibuatnya.
• Merasakan informasi: Jika informasi tidak dapat atau sukar divisualkan, siswa dapat menangkapnya dengan menggunakan indera lainnya. Misalnya dengan meraba, mengecap, membau, mendengar, atau memperagakan.
D. Tujuan
Tujuan pendidikan holistik adalah membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demoktaris dan humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui pendidikan holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri (learning to be).
Dalam arti dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan karakter dan emosionalnya (Basil Bernstein).
Ada sejumlah tujuan terkait dengan pendekatan ini, antara lain:
* Pemecahan masalah
* Menganalisis pengalaman, kasus
* Mengerjakan rencana strategis
* Melahirkan gagasan kreatif
* Mencari dan menjaring informasi
* Merumuskan pertanyaan
* Menciptakan model mental
* Menerapkan gagasan bagus pada pekerjaan.
* Menciptakan makna pribadi
* Meramalkan implikasi suatu gagasan.
BAB II
Teori Pendekatan Pembelajaran Holistik
Belakangan ini ada sebuah teori belajar aktif yang dinamakan teori holistik. Dave Meier dalam bukunya The Accelerated Learning Handbook (Kaifa, 2002), mengemukakan bahwa konsep guru mengenai siapa manusia yang diajarinya (murid) menentukan sekali terhadap kegiatan belajar yang direncanakan dan dikelolanya. Meier mengkritik kecenderungan pendidikan di Barat yang memandang manusia hanya sebagai tubuh dan pikiran. Aktivitas tubuh dan pikiran dipisahkan dalam kegiatan belajar. Pembelajaran sangat kaku. Selain itu pembelajaran individual amat ditekankan. Cara berpikir ilmiah pun sangat diutamakan. Peranan media cetak dalam belajar seperti buku sumber utama sangat ditekankan.
A. Teori Dave Meier
Dari penelitiannya, Dave Meier berpendapat bahwa manusia memiliki empat dimensi yakni: tubuh atau somatis (S), pendengaran atau auditori (A), penglihatan atau visual (V), dan pemikiran atau intelek (I). Bertolak dari pandangan ini ia mengajukan model pembelajaran aktif yang disingkat SAVI (somatis, auditori, visual dan intelektual). Dengan pemahaman ini beliau mengajukan sejumlah prinsip pokok dalam belajar, yakni:
1 – Belajar melibatkan seluruh tubuh dan pikiran
2 – Belajar adalah berkreasi, bukan mengkonsumsi.
3 – Kerjasama membantu proses belajar.
4 – Pembelajaran berlangsung pada banyak tingkatan secara simultan.
5 – Belajar berasal dari mengerjakan pekerjaan itu sendiri.
6 – Emosi positif sangat membantu pembelajaran.
7 – Otak-citra menyerap informasi secara langsung dan otomatis.
Sekarang, marilah kita simak pokok-pokok pikiran Meier, bagaimana prinsip kegiatan belajar berdasarkan prinsip SAVI itu. Pertama, belajar somatis, belajar dengan bergerak dan berbuat. Apa sajakah yang dapat dilakukan? Jawabnya ialah:
* Membuat model dalam suatu proses.
* Secara fisik menggerakkan berbagai komponen dalam suatu proses atau sistem
* Menciptakan bagan, diagram, piktogram.
* Memeragakan suatu proses, sistem, atau seperangkat konsep.
* Mendapatkan pengalaman, lalu membicarakannya dan merefleksikannya.
* Melengkapi suatu proyek yang memerlukan kegiatan fisik.
* Menjalankan belajar aktif (simulasi,permainan belajar,dan lain-lain)
*Melakukan tinjauan lapangan. Lalu menuliskan, menggambar dan membicarakan apa yang dipelajari.
* Mewawancarai orang di luar kelas.
* Dalam tim, menciptakan pelatihan pembelajaran aktif bagi seluruh kelas.
Kedua, belajar auditori (A), kegiatan mendengar dan berbicara. Apa saja yang dilakukan dalam kegiatan?
* Membaca keras dari bahan sumber.
* Membaca paragraf dan memberikan maknanya.
* Membuat rekaman suara sendiri.
* Menceritakan buku yang dibaca.
* Membicarakan apa yang dipelajari dan bagaimana menerapkannya.
* Meminta pelajar memperagakan sesuatu dan menjelaskan apa yang dilakukan.
* Bersama-sama membaca puisi, menyanyi.
Ketiga, belajar visual (V), kegiatan melihat, mengamati, memperhatikan. Apa sajakah kegiatan dalam pendekatan ini?
* Mengamati gambar dan memaknainya.
* Memperhatikan grafik atau membuatnya.
* Melihat benda tiga dimensi.
* Menonton video, film.
* Kreasi piktogram
* Pengamatan lapangan
* Dekorasi warna-warni
Keempat, belajar intelektual (I), kegiatan mencipta, merenungkan, memaknai, memecahkan masalah. Ada sejumlah kegiatan terkait dengan pendekatan ini, antara lain:
* Pemecahan masalah
* Menganalisis pengalaman, kasus
* Mengerjakan rencana strategis
* Melahirkan gagasan kreatif
* Mencari dan menjaring informasi
* Merumuskan pertanyaan
* Menciptakan model mental
* Menerapkan gagasan bagus pada pekerjaan.
* Menciptakan makna pribadi
* Meramalkan implikasi suatu gagasan.
B. Teori Wilhelm Dilthey
Istilah holistik bisa ditelusuri dari pandangan filsuf Jerman, Wilhelm Dilthey (1833-1911). Dilthey hidup pada masa ketika filsafat idealisme Hegel sedang jatuh dan ditumbangkan oleh positivisme. Pemikiran ilmu alam yang ditandai metode erklaren (eksplanasi) menjadi pemikiran yang mendominasi seluruh bangunan ilmiah. Dilthey lalu mengembangkan pemikiran tentang verstehen (understanding) sebagai bentuk gugatan pada ilmu yang terlampau positivistik. Verstehen dilahirkan dalam bingkai kritik sejarah dan ikhtiar memunculkan human science.
C. Teori Dilthey
Menurut Dilthey, holistik adalah hubungan melingkar antara part (sebagian) dan whole (keseluruhan). Ia mendefenisikan holistik sebagai perputaran antara part (bagian) dan whole (keseluruhan) dalam memahami sesuatu. Part (bagian) bisa dipahami ketika direlasikan dengan part yang lain hingga membentuk totalitas atau whole (keseluruhan). Pemikiran Diltey tentang holistik ini menjadi bagian penting dari penjelasannya tentang lingkar hermeneutik (hermeneutical circle). Mengacu Webster’s Dictionary, holistik juga dipakai dalam ranah biologi dan kesehatan. Holistik dimaknai sebagai teori tentang pentingnya melihat seluruh aspek tubuh manusia baik menyangkut fisik, mental, hingga kondisi sosial dalam pencegahan penyakit. Holistik adalah sebuah totalitas dari keseluruhan aspek fisik dan nonfisik manusia. Asumsinya adalah bagian tubuh manusia tidak mungkin berdiri sendiri, melainkan memiliki relasi (hubungan yang sangat erat dengan bagian tubuh lainnya.
Pada ranah ilmiah, konsep holistik banyak dipakai sebagai bentuk kritikan pada perspektif Cartesian-Newtonian yang senantiasa melihat alam sebagai sesuatu yang terpisah-pisah atau terpencar-pencar. Perspektif Cartesian-Newtonian ini tidak melihat alam semesta dan manusia sebagai sesuatu yang terintegrasi atau memiliki kaitan erat. Kehadiran perspektif holistik sebagai bentuk counter discourse (wacana tanding) dan memberikan pemahaman tentang adanya aspek yang saling terkait antara manusia dan alam serta pahaman akan leburnya batas-batas yang ketat di antara displin ilmu.
Dalam ranah antropologi, holistik serta komparasi menjadi konsep yang sangat sentral. Dalam konteks ini, holistik adalah adanya totalitas atau keterkaitan antara berbagai aspek dalam menjelaskan tentang manusia dan masyarakat. Dalam ranah ilmu sosial, holistik berawal dari gagasan yang tumbuh subur pada disiplin ilmu biologi. Ilmuwan sosial asal Inggris, Herbert Spencer (1820-1903) membangun analogi holistik pada biologi dan diterapkan untuk melihat masyarakat. Pemikirannya kerap disebut sebagai analogi organik. Ia mengatakan kalau kemajuan sosial adalah konsekuensi dari evolusi sistem sosial. Spencer memandang masyarakat berkembang seperti hewan atau organisme tumbuhan.
Ia menganalisis pokok adaptif sosial budaya yaitu organisasi sosial, ekonomi, agama, dan politik. Menurutnya, keempat unsur ini memiliki analogi dengan aspek biologi tubuh manusia yaitu politik dengan sistem saraf, ekonomi dengan sistem pencernaan, organisasi sosial dengan sistem peredaran darah, hingga agama dengan sistem pernapasan. Pemikiran ini melihat bahwa masing-masing organ pada manusia memiliki keterkaitan antara struktur dan fungsi masing-masing. Ada relasi atau hubungan yang sifatnya fungsional. Pemikiran Spencer tentang hubungan antara struktur dan fungsi ini menjadi salah satu argumen dari aliran struktural fungsional dalam antropologi. Pemikiran dari aspek biologi ini juga mempengaruhi pemikiran dari pendiri aliran fungsionalis struktural dalam antropologi yaitu AR Radcliffe Brown. Brown berpendapat dalam setiap kebiasaan dan kepercayaan dalam masyarakat mempunyai fungsi tertentu, yang bertujuan untuk melestarikan struktur masyarakat yang bersangkutan – susunan bagian-bagiannya yang teratur – sehingga masyarakat tersebut dapat tetap lestari.
Nah, keempat bentuk adaptif sosial budaya itu menyebabkan paradigma struktural fungsional kuat. Keempatnya menjadi penopang sebab memiliki relasi satu sama lain. Gagasan fungsionalisme struktural cenderung bersifat ajek (statis) sehingga menganggap struktur sosial cenderung ekuilibrium (seimbang). Ketika dihadapkan pada isu perubahan, maka fungsionalisme struktural seakan tidak mampu memberikan penjelasan yang memadai. Inilai yang menyebabkan lahirnya berbagai kritikan sebagaimana yang disuarakan penganut paradigma konflik.
Isu perubahan sudah mulai mencuat sejak akhir abad ke-20. Masyarakat memasuki fase baru sejarah yang kian kompleks. Batasan etnisitas, bangsa kian mengalami pergeseran. Wacana globalisasi kian menguat hingga menyebabkan terjadinya peleburan batas kenegaraan atau disebut Appadurai (2004) sebagai deteritorialisasi. Appadurai melihat aktivitas kebudayaan yang kerap disebutnya sebagai imaginary atau proses imajinasi sosial. Menurutnya, iamajinasi itu dibentuk dari lima dimensi mengalirnya kebudayaan global yaitu Ethnoscapes, Mediascapes, Technoscapes, Financescapes, ideoscapes.
Istilah scape, digunakan untuk menggambarkan secara lebih dalam konstruksi perspektif yang ada dalam sejarah, linguistik, dan politik, yang diperankan secara berbeda oleh sejumlah aktor dalam konteks nation-state, multinasional, komunitas diasporik. Ini juga termasuk kelompok sub nasional yang berpindah-pindah seperti halnya agama ataupun ekonomi politik. Gagasan ini berasal dari Benedict Anderson yang terkenal dengan tesisnya tentang imagined community atau komunitas terbayang.
Pola-pola restrukturisasi ekonomi, rasionalisasi, migrasi, dan mobilitas ini melahirkan identitas baru, baik etnik, reginal, nasional, dan migran yang berorientasi pada konsumen dan media. Mike Fischer dan Marcus (1986) menyebut pristiwa ini sebagai krisis representasi yang harus segera mendapatkan respon dari para antropolog. Ini menyebabkan terjadinya pergeseran pada etnografi. Menurut Marcus, harus ada imajinasi ulang (reimagining) terhadap frame holistik agar etnografi senantiasa sensitif dalam merespon perubahan dari lanskap dunia yang terus berubah.
Jika sebelumnya, perspektif tentang holistik hanya terbatas pada satu struktur sosial, kini harus mengalami pergeseran. Robert Thornton (1988:288) mengatakan, pandangan holistik harus bergeser pada upaya untuk mengenali totalitas yang ada pada satu kebudayaan. Pandangan holistik menuntut seorang peneliti antropologi untuk mengkaji setiap aspek idiosinkratik dari suatu kebudayaan. Idiosinkratik bisa didefinisikan sebagai penjelasan tentang hal-hal yang spesifik atau unik dalam setiap kebudayaan. Artinya, seorang peneliti memfokuskan dirinya untuk mengkaji satu kebudayaan dan menggali informasi yang sebanyak-banyaknya serta melihat keterkaitan antara setiap aspek dalam kebudayaan tersebut.
Pandangan holistik harus ditempatkan sebagai kritik dan pengkajian sebuah kebudayaan secara menyeluruh atau totalitas dan ditempatkan pada relasinya dengan unsur lain. Kata Marcus, ini berarti etnografi akan lebuh banyak “berbicara lebih jauh” (say more) di banding apa yang ada di permukaan. Analisa holistik yang sangat mendalam membatasi peneliti hanya mengkaji satu kebudayaan saja karena tidak ada kebudayaan lain yang dapat diperbandingkan untuk semua unsur detail dari kebudayaan yang dikaji.
BAB III
Implikasi Teori Pendekatan Pembelajaran Holistik Dalam Praksis Pembelajaran
A. Paradigma holistik
Paradigma holistik memperhitungkan berbagai faktor secara menyeluruh , bukan hanya melihat sebagian (partial) saja.
Contohnya untuk menangani banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau di pulau Jawa, orang harus melihat bahwa faktor utama adalah karena jumlah penduduk pulau Jawa sudah melampaui daya dukungnya sehingga usaha pelestarian lingkungan , dan normalisasi sungai sulit sekali dilakukan.
Pemecahanya harus melihat secara keseluruhan terkait juga dengan masalah lain, misalnya kemacetan lalu lintas dan menggunungnya sampah/polusi.
Pemecahan dengan memakai paradigma holistik :
Pindahkan pusat ekonomidan industri ke luar pulau Jawa sehingga terjadi transmigrasi alami. Jika hal ini terjadi maka pengaturan pelestarian hutan, pengembalian daerah resapan, penghijauan dan normalisasi sungai akan mudah dilakukan.
Dengan pemahaman ini beliau mengajukan sejumlah prinsip pokok dalam belajar, yakni:
1 – Belajar melibatkan seluruh tubuh dan pikiran.
2 – Belajar adalah berkreasi, bukan mengkonsumsi.
3 – Kerjasama membantu proses belajar.
4 – Pembelajaran berlangsung pada banyak tingkatan secara simultan.
5 – Belajar berasal dari mengerjakan pekerjaan itu sendiri.
6 – Emosi positif sangat membantu pembelajaran.
7 – Otak-citra menyerap informasi secara langsung dan otomatis.
Sekarang, marilah kita simak pokok-pokok pikiran Meier, bagaimana prinsip kegiatan belajar berdasarkan prinsip SAVI itu.
Pertama, belajar somatis, belajar dengan bergerak dan berbuat. Apa sajakah yang dapat dilakukan? Jawabnya ialah:
* Membuat model dalam suatu proses.
* Secara fisik menggerakkan berbagai komponen dalam suatu proses atau sistem
* Menciptakan bagan, diagram, piktogram.
* Memeragakan suatu proses, sistem, atau seperangkat konsep.
* Mendapatkan pengalaman, lalu membicarakannya dan merefleksikannya.
* Melengkapi suatu proyek yang memerlukan kegiatan fisik.
* Menjalankan pelatihan belajar aktif (simulasi, permainan belajar, dan lain-lain)
* Melakukan tinjauan lapangan. Lalu menuliskan, menggembar dan membicarakan apa yang dipelajari.
* Mewawancarai orang di luar kelas.
* Dalam tim, menciptakan pelatihan pembelajaran aktif bagi seluruh kelas.
Kedua, belajar auditori (A), kegiatan mendengar dan berbicara. Apa saja yang dilakukan dalam kegiatan?
* Membaca keras dari bahan sumber.
* Membaca paragraf dan memberikan maknanya.
* Membuat rekaman suara sendiri.
* Menceritakan buku yang dibaca.
* Membicarakan apa yang dipelajari dan bagaimana menerapkannya.
* Meminta pelajar memperagakan sesuatu dan menjelaskan apa yang dilakukan.
* Bersama-sama membaca puisi, menyanyi.
Ketiga, belajar visual (V), kegiatan melihat, mengamati, memperhatikan. Apa sajakah kegiatan dalam pendekatan ini?
* Mengamati gambar dan memaknainya.
* Memperhatikan grafik atau membuatnya.
* Melihat benda tiga dimensi.
* Menonton video, film.
* Kreasi piktogram
* Pengamatan lapangan
* Dekorasi warna-warni
Keempat, belajar intelektual (I), kegiatan mencipta, merenungkan, memaknai, memecahkan masalah. Ada sejumlah kegiatan terkait dengan pendekatan ini, antara lain:
* Pemecahan masalah
* Menganalisis pengalaman, kasus
* Mengerjakan rencana strategis
* Melahirkan gagasan kreatif
* Mencari dan menjaring informasi
* Merumuskan pertanyaan
* Menciptakan model mental
* Menerapkan gagasan bagus pada pekerjaan.
* Menciptakan makna pribadi
* Meramalkan implikasi suatu gagasan.
B. Metode Pembelajaran Holistik
Pembelajaran holistik dapat dilaksanakan dengan 2 macam metode:
• Belajar melalui keseluruhan bagian otak: Bahan palajaran dipelajari dengan melibatkan sebanyak mungkin indera; juga melibatkan berbagai tingkatan keterlibatan, yaitu: indera, emosional, dan intelektual.
• Belajar melalui kecerdasan majemuk (multiple intelligences): Siswa mempelajari materi pelajaran dengan menggunakan jenis kecerdasan yang paling menonjol dalam dirnya.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembelajaran holistik (holistic learning) adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada pemahaman informasi dan mengkaitkannya dengan topik-topik lain sehingga terbangun kerangka pengetahuan. Dalam pembelajaran holistik, diterapkan prinsip bahwa siswa akan belajar lebih efektif jika semua aspek pribadinya (pikiran, tubuh dan jiwa) dilibatkan dalam pengalaman siswa.
Sekolah hendaknya menjadi tempat peserta didik dan guru bekerja guna mencapai tujuan yang saling menguntungkan. Komunikasi yang terbuka dan jujur sangat penting, perbedaan individu dihargai dan kerjasama lebih utama dari pada kompetisi.
Gagasan pendidikan holistik telah mendorong terbentuknya model-model pendidikan alternatif, yang mungkin dalam penyelenggaraannya sangat jauh berbeda dengan pendidikan pada umumnya, salah satunya adalah homeschooling, yang saat ini sedang berkembang, termasuk di Indonesia.
Pendidikan holistik memperhatikan kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spritual. Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif, oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan bagaimana orang belajar.
Dari berbagai uraian di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
- Belajar melibatkan seluruh tubuh dan pikiran.
- Belajar adalah berkreasi, bukan mengkonsumsi.
- Kerjasama membantu proses belajar.
- Pembelajaran berlangsung pada banyak tingkatan secara simultan.
- Belajar berasal dari mengerjakan pekerjaan itu sendiri.
- Emosi positif sangat membantu pembelajaran.
- Otak-citra menyerap informasi secara langsung dan otomatis.
B. Saran
Pertama, belajar somatis, belajar dengan bergerak dan berbuat. Apa sajakah yang dapat dilakukan? Jawabnya ialah:
* Membuat model dalam suatu proses.
* Secara fisik menggerakkan berbagai komponen dalam suatu proses atau sistem
* Menciptakan bagan, diagram, piktogram.
* Memeragakan suatu proses, sistem, atau seperangkat konsep.
* Mendapatkan pengalaman, lalu membicarakannya dan merefleksikannya.
* Melengkapi suatu proyek yang memerlukan kegiatan fisik.
* Menjalankan pelatihan belajar aktif (simulasi, permainan belajar, dan lain-lain)
* Melakukan tinjauan lapangan. Lalu menuliskan, menggembar dan membicarakan
DAFTAR PUSTAKA
Suryadi, Ace. Pendidikan, Investasi SDM, dan Pengembangan: Isu.Teori dan Aplikasi. Pusat Informatika Balitbang Dikbud. Jakarta.2010
Tilaar, H.A.R., Peta Permasalahan Pendidikan Dewa Ini, Perlunya Visi dan Rencana Strategi Pendidikan dan pelatihan Nasional berorientasi Masa Depan, Seminar Ilmiah ISKA, November 2009.
Tilaar, H.A.R., Pengembangan Sumber Daya manusia dalam Era Globalisasi, Grasindo, Jakarta, 2008.
Haddad, Wadi D., The Dynamich of Education Policymaking. The World Bank, Washington, D.C.
Tilaar, H.A.R., Pengembangan SDM Indonesia Unggul Menghadapi masyarakat Kompetitif Era Globalisasi, Pidato Ilmiah pada Acara Wisuda Tinggi Manajemen Bandung, 26 Agustus 2010.
Tilaar, H.A.R., Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi, Grasindo, Jakarta, 2009.
Tilaar, H.A.R., In Search of New Paradigms in Educational Management and Leadership based on Indigenous Culture: The Indonesian Case, Keynote speech, First Asean/ASEAN Symposium on Educational Manajemen and Leadership, Genting Highlands, Kuala Lumpur, 27-29 Agust, 2009.
Tilaar, H.A.R., Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional: Dalam Perspektif Abad 21. Indonesia Tera, 21 Maret 2008. (Ippank)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan holistik merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual. Secara historis, pendidikan holistik sebetulnya bukan hal yang baru.
Pembelajaran holistik (holistic learning) adalah
pendekatan pembelajaran yang berfokus pada pemahaman informasi dan mengkaitkannya dengan topik-topik lain sehingga terbangun kerangka pengetahuan. Dalam pembelajaran holistik, diterapkan prinsip bahwa siswa akan belajar lebih efektif jika semua aspek pribadinya (pikiran, tubuh dan jiwa) dilibatkan dalam pengalaman siswa.
Sekolah hendaknya menjadi tempat peserta didik dan guru bekerja guna mencapai tujuan yang saling menguntungkan. Komunikasi yang terbuka dan jujur sangat penting, perbedaan individu dihargai dan kerjasama lebih utama dari pada kompetisi.
Gagasan pendidikan holistik telah mendorong terbentuknya model-model pendidikan alternatif, yang mungkin dalam penyelenggaraannya sangat jauh berbeda dengan pendidikan pada umumnya, salah satunya adalah homeschooling, yang saat ini sedang berkembang, termasuk di Indonesia.
B. Definisi Pendekatan Pembelajaran Holistik
Beberapa tokoh klasik perintis pendidikan holistik, diantaranya : Jean Rousseau, Ralph Waldo Emerson, Henry Thoreau, Bronson Alcott, Johann Pestalozzi, Friedrich Froebel dan Francisco Ferrer. Berikutnya, kita mencatat beberapa tokoh lainnya yang dianggap sebagai pendukung pendidikan holistik, adalah : Rudolf Steiner, Maria Montessori, Francis Parker, John Dewey, John Caldwell Holt, George Dennison Kieran Egan, Howard Gardner, Jiddu Krishnamurti, Carl Jung, Abraham Maslow, Carl Rogers, Paul Goodman, Ivan Illich, dan Paulo Freire.
Pemikiran dan gagasan inti dari para perintis pendidikan holistik sempat tenggelam sampai dengan terjadinya loncatan paradigma kultural pada tahun 1960-an. Memasuki tahun 1970-an mulai ada gerakan untuk menggali kembali gagasan dari kalangan penganut aliran holistik. Kemajuan yang signifikan terjadi ketika dilaksanakan konferensi pertama pendidikan Holistik Nasional yang diselenggarakan oleh Universitas California pada bulan Juli 1979, dengan menghadirkan The Mandala Society dan The National Center for the Exploration of Human Potential. Enam tahun kemudian, para penganut pendidikan holistik mulai memperkenalkan tentang dasar pendidikan holistik dengan sebutan 3 R’s, akronim dari relationship, responsibility dan reverence. Berbeda dengan pendidikan pada umumnya, dasar pendidikan 3 R’s ini lebih diartikan sebagai writing, reading dan arithmetic atau di Indonesia dikenal dengan sebutan calistung (membaca, menulis dan berhitung).
Jika merujuk pada pemikiran Abraham Maslow, maka pendidikan harus dapat mengantarkan peserta didik untuk memperoleh aktualisasi diri (self-actualization) yang ditandai dengan adanya: (1) kesadaran; (2) kejujuran; (3) kebebasan atau kemandirian; dan (4) kepercayaan.
Pendidikan holistik memperhatikan kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spritual. Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif, oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan bagaimana orang belajar.
Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan strategi pembelajaran holistik, diantaranya: (1) menggunakan pendekatan pembelajaran transformatif; (2) prosedur pembelajaran yang fleksibel; (3) pemecahan masalah melalui lintas disiplin ilmu, (4) pembelajaran yang bermakna, dan (5) pembelajaran melibatkan komunitas di mana individu berada.
Dalam pendidikan holistik, peran dan otoritas guru untuk memimpin dan mengontrol kegiatan pembelajaran hanya sedikit dan guru lebih banyak berperan sebagai sahabat, mentor, dan fasilitator. Forbes (1996) mengibaratkan peran guru seperti seorang teman dalam perjalanan yang telah berpengalaman dan menyenangkan.
C. Rumusan Masalah
Ada beberapa teknik pembelajaran holistik:
• Mengajukan pertanyaan: Siswa menanyakan beberapa hal seperti: [1] Apa yang sedang dipelajari? [2] Apa hubungannya dengan topik-topik lain dalam bab yang sama? [3] Apa hubungannya dengan topik-topik lain dalam mata pelajaran yang sama? [4] Adakah hubungannya dengan topik-topik dalam mata pelajaran lain? [5] Adakah hubungannya dengan sesuatu dalam kehidupan sehari-hari?
• Memvisualkan informasi: Guru mengajak siswa untuk menyajikan informasi dalam bentuk gambar, diagram, atau sketsa. Objek atau situasi yang terkait dengan informasi disajikan dalam gambar; sedangkan hubungan informasi itu dengan topik-topik lain dinyatakan dengan diagram. Gambar atau diagram tidak harus indah atau tepat, yang penting bisa mewakili apa yang dibayangkan oleh siswa. Jadi gambar atau diagram dapat berupa sketsa atau coretan kasar. Setelah siswa memvisualkan informasi, mereka dapat diminta menerangkan maksud gambar, diagram, atau sketsa yang dibuatnya.
• Merasakan informasi: Jika informasi tidak dapat atau sukar divisualkan, siswa dapat menangkapnya dengan menggunakan indera lainnya. Misalnya dengan meraba, mengecap, membau, mendengar, atau memperagakan.
D. Tujuan
Tujuan pendidikan holistik adalah membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demoktaris dan humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui pendidikan holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri (learning to be).
Dalam arti dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan karakter dan emosionalnya (Basil Bernstein).
Ada sejumlah tujuan terkait dengan pendekatan ini, antara lain:
* Pemecahan masalah
* Menganalisis pengalaman, kasus
* Mengerjakan rencana strategis
* Melahirkan gagasan kreatif
* Mencari dan menjaring informasi
* Merumuskan pertanyaan
* Menciptakan model mental
* Menerapkan gagasan bagus pada pekerjaan.
* Menciptakan makna pribadi
* Meramalkan implikasi suatu gagasan.
BAB II
Teori Pendekatan Pembelajaran Holistik
Belakangan ini ada sebuah teori belajar aktif yang dinamakan teori holistik. Dave Meier dalam bukunya The Accelerated Learning Handbook (Kaifa, 2002), mengemukakan bahwa konsep guru mengenai siapa manusia yang diajarinya (murid) menentukan sekali terhadap kegiatan belajar yang direncanakan dan dikelolanya. Meier mengkritik kecenderungan pendidikan di Barat yang memandang manusia hanya sebagai tubuh dan pikiran. Aktivitas tubuh dan pikiran dipisahkan dalam kegiatan belajar. Pembelajaran sangat kaku. Selain itu pembelajaran individual amat ditekankan. Cara berpikir ilmiah pun sangat diutamakan. Peranan media cetak dalam belajar seperti buku sumber utama sangat ditekankan.
A. Teori Dave Meier
Dari penelitiannya, Dave Meier berpendapat bahwa manusia memiliki empat dimensi yakni: tubuh atau somatis (S), pendengaran atau auditori (A), penglihatan atau visual (V), dan pemikiran atau intelek (I). Bertolak dari pandangan ini ia mengajukan model pembelajaran aktif yang disingkat SAVI (somatis, auditori, visual dan intelektual). Dengan pemahaman ini beliau mengajukan sejumlah prinsip pokok dalam belajar, yakni:
1 – Belajar melibatkan seluruh tubuh dan pikiran
2 – Belajar adalah berkreasi, bukan mengkonsumsi.
3 – Kerjasama membantu proses belajar.
4 – Pembelajaran berlangsung pada banyak tingkatan secara simultan.
5 – Belajar berasal dari mengerjakan pekerjaan itu sendiri.
6 – Emosi positif sangat membantu pembelajaran.
7 – Otak-citra menyerap informasi secara langsung dan otomatis.
Sekarang, marilah kita simak pokok-pokok pikiran Meier, bagaimana prinsip kegiatan belajar berdasarkan prinsip SAVI itu. Pertama, belajar somatis, belajar dengan bergerak dan berbuat. Apa sajakah yang dapat dilakukan? Jawabnya ialah:
* Membuat model dalam suatu proses.
* Secara fisik menggerakkan berbagai komponen dalam suatu proses atau sistem
* Menciptakan bagan, diagram, piktogram.
* Memeragakan suatu proses, sistem, atau seperangkat konsep.
* Mendapatkan pengalaman, lalu membicarakannya dan merefleksikannya.
* Melengkapi suatu proyek yang memerlukan kegiatan fisik.
* Menjalankan belajar aktif (simulasi,permainan belajar,dan lain-lain)
*Melakukan tinjauan lapangan. Lalu menuliskan, menggambar dan membicarakan apa yang dipelajari.
* Mewawancarai orang di luar kelas.
* Dalam tim, menciptakan pelatihan pembelajaran aktif bagi seluruh kelas.
Kedua, belajar auditori (A), kegiatan mendengar dan berbicara. Apa saja yang dilakukan dalam kegiatan?
* Membaca keras dari bahan sumber.
* Membaca paragraf dan memberikan maknanya.
* Membuat rekaman suara sendiri.
* Menceritakan buku yang dibaca.
* Membicarakan apa yang dipelajari dan bagaimana menerapkannya.
* Meminta pelajar memperagakan sesuatu dan menjelaskan apa yang dilakukan.
* Bersama-sama membaca puisi, menyanyi.
Ketiga, belajar visual (V), kegiatan melihat, mengamati, memperhatikan. Apa sajakah kegiatan dalam pendekatan ini?
* Mengamati gambar dan memaknainya.
* Memperhatikan grafik atau membuatnya.
* Melihat benda tiga dimensi.
* Menonton video, film.
* Kreasi piktogram
* Pengamatan lapangan
* Dekorasi warna-warni
Keempat, belajar intelektual (I), kegiatan mencipta, merenungkan, memaknai, memecahkan masalah. Ada sejumlah kegiatan terkait dengan pendekatan ini, antara lain:
* Pemecahan masalah
* Menganalisis pengalaman, kasus
* Mengerjakan rencana strategis
* Melahirkan gagasan kreatif
* Mencari dan menjaring informasi
* Merumuskan pertanyaan
* Menciptakan model mental
* Menerapkan gagasan bagus pada pekerjaan.
* Menciptakan makna pribadi
* Meramalkan implikasi suatu gagasan.
B. Teori Wilhelm Dilthey
Istilah holistik bisa ditelusuri dari pandangan filsuf Jerman, Wilhelm Dilthey (1833-1911). Dilthey hidup pada masa ketika filsafat idealisme Hegel sedang jatuh dan ditumbangkan oleh positivisme. Pemikiran ilmu alam yang ditandai metode erklaren (eksplanasi) menjadi pemikiran yang mendominasi seluruh bangunan ilmiah. Dilthey lalu mengembangkan pemikiran tentang verstehen (understanding) sebagai bentuk gugatan pada ilmu yang terlampau positivistik. Verstehen dilahirkan dalam bingkai kritik sejarah dan ikhtiar memunculkan human science.
C. Teori Dilthey
Menurut Dilthey, holistik adalah hubungan melingkar antara part (sebagian) dan whole (keseluruhan). Ia mendefenisikan holistik sebagai perputaran antara part (bagian) dan whole (keseluruhan) dalam memahami sesuatu. Part (bagian) bisa dipahami ketika direlasikan dengan part yang lain hingga membentuk totalitas atau whole (keseluruhan). Pemikiran Diltey tentang holistik ini menjadi bagian penting dari penjelasannya tentang lingkar hermeneutik (hermeneutical circle). Mengacu Webster’s Dictionary, holistik juga dipakai dalam ranah biologi dan kesehatan. Holistik dimaknai sebagai teori tentang pentingnya melihat seluruh aspek tubuh manusia baik menyangkut fisik, mental, hingga kondisi sosial dalam pencegahan penyakit. Holistik adalah sebuah totalitas dari keseluruhan aspek fisik dan nonfisik manusia. Asumsinya adalah bagian tubuh manusia tidak mungkin berdiri sendiri, melainkan memiliki relasi (hubungan yang sangat erat dengan bagian tubuh lainnya.
Pada ranah ilmiah, konsep holistik banyak dipakai sebagai bentuk kritikan pada perspektif Cartesian-Newtonian yang senantiasa melihat alam sebagai sesuatu yang terpisah-pisah atau terpencar-pencar. Perspektif Cartesian-Newtonian ini tidak melihat alam semesta dan manusia sebagai sesuatu yang terintegrasi atau memiliki kaitan erat. Kehadiran perspektif holistik sebagai bentuk counter discourse (wacana tanding) dan memberikan pemahaman tentang adanya aspek yang saling terkait antara manusia dan alam serta pahaman akan leburnya batas-batas yang ketat di antara displin ilmu.
Dalam ranah antropologi, holistik serta komparasi menjadi konsep yang sangat sentral. Dalam konteks ini, holistik adalah adanya totalitas atau keterkaitan antara berbagai aspek dalam menjelaskan tentang manusia dan masyarakat. Dalam ranah ilmu sosial, holistik berawal dari gagasan yang tumbuh subur pada disiplin ilmu biologi. Ilmuwan sosial asal Inggris, Herbert Spencer (1820-1903) membangun analogi holistik pada biologi dan diterapkan untuk melihat masyarakat. Pemikirannya kerap disebut sebagai analogi organik. Ia mengatakan kalau kemajuan sosial adalah konsekuensi dari evolusi sistem sosial. Spencer memandang masyarakat berkembang seperti hewan atau organisme tumbuhan.
Ia menganalisis pokok adaptif sosial budaya yaitu organisasi sosial, ekonomi, agama, dan politik. Menurutnya, keempat unsur ini memiliki analogi dengan aspek biologi tubuh manusia yaitu politik dengan sistem saraf, ekonomi dengan sistem pencernaan, organisasi sosial dengan sistem peredaran darah, hingga agama dengan sistem pernapasan. Pemikiran ini melihat bahwa masing-masing organ pada manusia memiliki keterkaitan antara struktur dan fungsi masing-masing. Ada relasi atau hubungan yang sifatnya fungsional. Pemikiran Spencer tentang hubungan antara struktur dan fungsi ini menjadi salah satu argumen dari aliran struktural fungsional dalam antropologi. Pemikiran dari aspek biologi ini juga mempengaruhi pemikiran dari pendiri aliran fungsionalis struktural dalam antropologi yaitu AR Radcliffe Brown. Brown berpendapat dalam setiap kebiasaan dan kepercayaan dalam masyarakat mempunyai fungsi tertentu, yang bertujuan untuk melestarikan struktur masyarakat yang bersangkutan – susunan bagian-bagiannya yang teratur – sehingga masyarakat tersebut dapat tetap lestari.
Nah, keempat bentuk adaptif sosial budaya itu menyebabkan paradigma struktural fungsional kuat. Keempatnya menjadi penopang sebab memiliki relasi satu sama lain. Gagasan fungsionalisme struktural cenderung bersifat ajek (statis) sehingga menganggap struktur sosial cenderung ekuilibrium (seimbang). Ketika dihadapkan pada isu perubahan, maka fungsionalisme struktural seakan tidak mampu memberikan penjelasan yang memadai. Inilai yang menyebabkan lahirnya berbagai kritikan sebagaimana yang disuarakan penganut paradigma konflik.
Isu perubahan sudah mulai mencuat sejak akhir abad ke-20. Masyarakat memasuki fase baru sejarah yang kian kompleks. Batasan etnisitas, bangsa kian mengalami pergeseran. Wacana globalisasi kian menguat hingga menyebabkan terjadinya peleburan batas kenegaraan atau disebut Appadurai (2004) sebagai deteritorialisasi. Appadurai melihat aktivitas kebudayaan yang kerap disebutnya sebagai imaginary atau proses imajinasi sosial. Menurutnya, iamajinasi itu dibentuk dari lima dimensi mengalirnya kebudayaan global yaitu Ethnoscapes, Mediascapes, Technoscapes, Financescapes, ideoscapes.
Istilah scape, digunakan untuk menggambarkan secara lebih dalam konstruksi perspektif yang ada dalam sejarah, linguistik, dan politik, yang diperankan secara berbeda oleh sejumlah aktor dalam konteks nation-state, multinasional, komunitas diasporik. Ini juga termasuk kelompok sub nasional yang berpindah-pindah seperti halnya agama ataupun ekonomi politik. Gagasan ini berasal dari Benedict Anderson yang terkenal dengan tesisnya tentang imagined community atau komunitas terbayang.
Pola-pola restrukturisasi ekonomi, rasionalisasi, migrasi, dan mobilitas ini melahirkan identitas baru, baik etnik, reginal, nasional, dan migran yang berorientasi pada konsumen dan media. Mike Fischer dan Marcus (1986) menyebut pristiwa ini sebagai krisis representasi yang harus segera mendapatkan respon dari para antropolog. Ini menyebabkan terjadinya pergeseran pada etnografi. Menurut Marcus, harus ada imajinasi ulang (reimagining) terhadap frame holistik agar etnografi senantiasa sensitif dalam merespon perubahan dari lanskap dunia yang terus berubah.
Jika sebelumnya, perspektif tentang holistik hanya terbatas pada satu struktur sosial, kini harus mengalami pergeseran. Robert Thornton (1988:288) mengatakan, pandangan holistik harus bergeser pada upaya untuk mengenali totalitas yang ada pada satu kebudayaan. Pandangan holistik menuntut seorang peneliti antropologi untuk mengkaji setiap aspek idiosinkratik dari suatu kebudayaan. Idiosinkratik bisa didefinisikan sebagai penjelasan tentang hal-hal yang spesifik atau unik dalam setiap kebudayaan. Artinya, seorang peneliti memfokuskan dirinya untuk mengkaji satu kebudayaan dan menggali informasi yang sebanyak-banyaknya serta melihat keterkaitan antara setiap aspek dalam kebudayaan tersebut.
Pandangan holistik harus ditempatkan sebagai kritik dan pengkajian sebuah kebudayaan secara menyeluruh atau totalitas dan ditempatkan pada relasinya dengan unsur lain. Kata Marcus, ini berarti etnografi akan lebuh banyak “berbicara lebih jauh” (say more) di banding apa yang ada di permukaan. Analisa holistik yang sangat mendalam membatasi peneliti hanya mengkaji satu kebudayaan saja karena tidak ada kebudayaan lain yang dapat diperbandingkan untuk semua unsur detail dari kebudayaan yang dikaji.
BAB III
Implikasi Teori Pendekatan Pembelajaran Holistik Dalam Praksis Pembelajaran
A. Paradigma holistik
Paradigma holistik memperhitungkan berbagai faktor secara menyeluruh , bukan hanya melihat sebagian (partial) saja.
Contohnya untuk menangani banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau di pulau Jawa, orang harus melihat bahwa faktor utama adalah karena jumlah penduduk pulau Jawa sudah melampaui daya dukungnya sehingga usaha pelestarian lingkungan , dan normalisasi sungai sulit sekali dilakukan.
Pemecahanya harus melihat secara keseluruhan terkait juga dengan masalah lain, misalnya kemacetan lalu lintas dan menggunungnya sampah/polusi.
Pemecahan dengan memakai paradigma holistik :
Pindahkan pusat ekonomidan industri ke luar pulau Jawa sehingga terjadi transmigrasi alami. Jika hal ini terjadi maka pengaturan pelestarian hutan, pengembalian daerah resapan, penghijauan dan normalisasi sungai akan mudah dilakukan.
Dengan pemahaman ini beliau mengajukan sejumlah prinsip pokok dalam belajar, yakni:
1 – Belajar melibatkan seluruh tubuh dan pikiran.
2 – Belajar adalah berkreasi, bukan mengkonsumsi.
3 – Kerjasama membantu proses belajar.
4 – Pembelajaran berlangsung pada banyak tingkatan secara simultan.
5 – Belajar berasal dari mengerjakan pekerjaan itu sendiri.
6 – Emosi positif sangat membantu pembelajaran.
7 – Otak-citra menyerap informasi secara langsung dan otomatis.
Sekarang, marilah kita simak pokok-pokok pikiran Meier, bagaimana prinsip kegiatan belajar berdasarkan prinsip SAVI itu.
Pertama, belajar somatis, belajar dengan bergerak dan berbuat. Apa sajakah yang dapat dilakukan? Jawabnya ialah:
* Membuat model dalam suatu proses.
* Secara fisik menggerakkan berbagai komponen dalam suatu proses atau sistem
* Menciptakan bagan, diagram, piktogram.
* Memeragakan suatu proses, sistem, atau seperangkat konsep.
* Mendapatkan pengalaman, lalu membicarakannya dan merefleksikannya.
* Melengkapi suatu proyek yang memerlukan kegiatan fisik.
* Menjalankan pelatihan belajar aktif (simulasi, permainan belajar, dan lain-lain)
* Melakukan tinjauan lapangan. Lalu menuliskan, menggembar dan membicarakan apa yang dipelajari.
* Mewawancarai orang di luar kelas.
* Dalam tim, menciptakan pelatihan pembelajaran aktif bagi seluruh kelas.
Kedua, belajar auditori (A), kegiatan mendengar dan berbicara. Apa saja yang dilakukan dalam kegiatan?
* Membaca keras dari bahan sumber.
* Membaca paragraf dan memberikan maknanya.
* Membuat rekaman suara sendiri.
* Menceritakan buku yang dibaca.
* Membicarakan apa yang dipelajari dan bagaimana menerapkannya.
* Meminta pelajar memperagakan sesuatu dan menjelaskan apa yang dilakukan.
* Bersama-sama membaca puisi, menyanyi.
Ketiga, belajar visual (V), kegiatan melihat, mengamati, memperhatikan. Apa sajakah kegiatan dalam pendekatan ini?
* Mengamati gambar dan memaknainya.
* Memperhatikan grafik atau membuatnya.
* Melihat benda tiga dimensi.
* Menonton video, film.
* Kreasi piktogram
* Pengamatan lapangan
* Dekorasi warna-warni
Keempat, belajar intelektual (I), kegiatan mencipta, merenungkan, memaknai, memecahkan masalah. Ada sejumlah kegiatan terkait dengan pendekatan ini, antara lain:
* Pemecahan masalah
* Menganalisis pengalaman, kasus
* Mengerjakan rencana strategis
* Melahirkan gagasan kreatif
* Mencari dan menjaring informasi
* Merumuskan pertanyaan
* Menciptakan model mental
* Menerapkan gagasan bagus pada pekerjaan.
* Menciptakan makna pribadi
* Meramalkan implikasi suatu gagasan.
B. Metode Pembelajaran Holistik
Pembelajaran holistik dapat dilaksanakan dengan 2 macam metode:
• Belajar melalui keseluruhan bagian otak: Bahan palajaran dipelajari dengan melibatkan sebanyak mungkin indera; juga melibatkan berbagai tingkatan keterlibatan, yaitu: indera, emosional, dan intelektual.
• Belajar melalui kecerdasan majemuk (multiple intelligences): Siswa mempelajari materi pelajaran dengan menggunakan jenis kecerdasan yang paling menonjol dalam dirnya.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembelajaran holistik (holistic learning) adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada pemahaman informasi dan mengkaitkannya dengan topik-topik lain sehingga terbangun kerangka pengetahuan. Dalam pembelajaran holistik, diterapkan prinsip bahwa siswa akan belajar lebih efektif jika semua aspek pribadinya (pikiran, tubuh dan jiwa) dilibatkan dalam pengalaman siswa.
Sekolah hendaknya menjadi tempat peserta didik dan guru bekerja guna mencapai tujuan yang saling menguntungkan. Komunikasi yang terbuka dan jujur sangat penting, perbedaan individu dihargai dan kerjasama lebih utama dari pada kompetisi.
Gagasan pendidikan holistik telah mendorong terbentuknya model-model pendidikan alternatif, yang mungkin dalam penyelenggaraannya sangat jauh berbeda dengan pendidikan pada umumnya, salah satunya adalah homeschooling, yang saat ini sedang berkembang, termasuk di Indonesia.
Pendidikan holistik memperhatikan kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spritual. Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif, oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan bagaimana orang belajar.
Dari berbagai uraian di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
- Belajar melibatkan seluruh tubuh dan pikiran.
- Belajar adalah berkreasi, bukan mengkonsumsi.
- Kerjasama membantu proses belajar.
- Pembelajaran berlangsung pada banyak tingkatan secara simultan.
- Belajar berasal dari mengerjakan pekerjaan itu sendiri.
- Emosi positif sangat membantu pembelajaran.
- Otak-citra menyerap informasi secara langsung dan otomatis.
B. Saran
Pertama, belajar somatis, belajar dengan bergerak dan berbuat. Apa sajakah yang dapat dilakukan? Jawabnya ialah:
* Membuat model dalam suatu proses.
* Secara fisik menggerakkan berbagai komponen dalam suatu proses atau sistem
* Menciptakan bagan, diagram, piktogram.
* Memeragakan suatu proses, sistem, atau seperangkat konsep.
* Mendapatkan pengalaman, lalu membicarakannya dan merefleksikannya.
* Melengkapi suatu proyek yang memerlukan kegiatan fisik.
* Menjalankan pelatihan belajar aktif (simulasi, permainan belajar, dan lain-lain)
* Melakukan tinjauan lapangan. Lalu menuliskan, menggembar dan membicarakan
DAFTAR PUSTAKA
Suryadi, Ace. Pendidikan, Investasi SDM, dan Pengembangan: Isu.Teori dan Aplikasi. Pusat Informatika Balitbang Dikbud. Jakarta.2010
Tilaar, H.A.R., Peta Permasalahan Pendidikan Dewa Ini, Perlunya Visi dan Rencana Strategi Pendidikan dan pelatihan Nasional berorientasi Masa Depan, Seminar Ilmiah ISKA, November 2009.
Tilaar, H.A.R., Pengembangan Sumber Daya manusia dalam Era Globalisasi, Grasindo, Jakarta, 2008.
Haddad, Wadi D., The Dynamich of Education Policymaking. The World Bank, Washington, D.C.
Tilaar, H.A.R., Pengembangan SDM Indonesia Unggul Menghadapi masyarakat Kompetitif Era Globalisasi, Pidato Ilmiah pada Acara Wisuda Tinggi Manajemen Bandung, 26 Agustus 2010.
Tilaar, H.A.R., Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi, Grasindo, Jakarta, 2009.
Tilaar, H.A.R., In Search of New Paradigms in Educational Management and Leadership based on Indigenous Culture: The Indonesian Case, Keynote speech, First Asean/ASEAN Symposium on Educational Manajemen and Leadership, Genting Highlands, Kuala Lumpur, 27-29 Agust, 2009.
Tilaar, H.A.R., Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional: Dalam Perspektif Abad 21. Indonesia Tera, 21 Maret 2008. (Ippank)