Halaman

Jumat, 18 Januari 2013

KESEIMBANGAN ANTARA USHALLI DAN USAHA

Di kalangan masyarakat Islam, masih terdapat ketimpangan yang tajam antara kesalehan individual dan kesalehan sosial.

Banyak orang yang saleh secara individual, namun tidak atau kurang saleh secara sosial.

Kesalehan individual menunjuk pada prilaku orang-orang yang lebih menekankan dan mementingkan pelaksanaan ibadah ritual, seperti salat, puasa, zakat, haji, zikir, dan lainnya. Kesalehan individusal sering juga disebut kesalehan ritual.

Disebut kesalehan ritual/individual karena lebih mementingkan untuk melaksanakan ibadah yang bersifat ritual, semata-mata berhubungan dengan Tuhan dan kepentingan diri sendiri, sementara pada saat yang sama tidak memiliki kepekaan sosial dan kurang menerapkan nilai-nilai Islami dalam kehidupan bermasyarakat.

Pendek kata, hanya mementingkan hablum minallah, tidak disertai hablum minan nas.

Sedangkan kesalehan sosial menunjuk pada perilaku orang-orang yang sangat peduli dengan nilai-nilai Islami, yang bersifat sosial.

Bersikap santun pada orang lain, suka menolong, menghargai hak sesama; perhatian pada masalah-masalah umat, memiliki kepedulian sosial, dan seterusnya.

Kesalehan sosial dengan demikian adalah suatu bentuk kesalehan yang tak cuma ditandai oleh pelaksanaan ibadah formil dan ritual semata seperti rukuk dan sujud, puasa dan haji, melainkan juga ditandai oleh seberapa besar seseorang memiliki kepekaan sosial dan berbuat kebaikan untuk orang-orang di sekitarnya.

Sehingga keberadaannya dirasakan sebagai rahmatan lil alamin.

Dalam Islam, sebenarnya kedua corak kesalehan itu merupakan suatu kemestian yang tak dapat ditawar, keduanya harus dimiliki seorang Muslim, baik kesalehan individual maupun kesalehan sosial.

Agama mengajarkan Udkhuluu fis silmi kaffah, bahwa kesalehan dalam Islam mestilah secara total! Saleh secara individual (ritual) juga saleh secara sosial.

Karena ibadah ritual selain bertujuan pengabdian diri pada Allah juga bertujuan untuk mengarahkan dan membentuk karakteristik jiwa yang baik, membentuk kepribadian yang Islami, sehingga punya dampak positif terhadap kehidupan sosial, atau hubungan sesama manusia.

Dalam sebuah hadis dikisahkan, suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita tentang seorang yang rajin salat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi lidahnya menyakiti tetangganya.

Apa komentar Nabi tentang dia, singkat saja. ‘’Ia di neraka,’’ kata Nabi. Hadis ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup. Ibadah ritual mesti dibarengi dengan kesalehan sosial.

Dalam hadis lain juga diceritakan, seorang sahabat pernah memuji kesalehan orang lain di depan Nabi. Nabi bertanya, ‘’Mengapa ia kau sebut sangat saleh?’’ tanya Nabi. Sahabat itu menjawab,

‘’Karena, tiap saya masuk masjid ini dia sudah salat dengan khusyuk dan tiap saya sudah pulang, dia masih saja khusyuk berdoa’’.

‘’Lho, lalu siapa yang memberinya makan dan minum?’’ tanya Nabi lagi. ‘’Kakaknya,’’ sahut sahabat tersebut. Lalu kata Nabi, ‘’Kakaknya itulah yang layak disebut saleh’’.

Sahabat itu terdiam, karena sebuah pengertian baru terbentuk dalam benaknya, bahwa ukuran kesalehan tidak hanya dilihat dari ketaatan dan kesungguhan seseorang dalam menjalankan ibadah ritual, karena ini sifatnya hanya individual dan sebatas hubungan dengan Allah (hablum minallah), tetapi kesalehan juga dilihat dari dampak kongkritnya dalam kehidupan bermasyarakat.

Kesalehan sangat tergantung pada tindakan nyata seseorang, dalam hubungannya dengan sesama manusia (hablum minan nas); juga sangat tergantung pada sikap serta perilakunya terhadap alam, baik hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya agar keseimbangan alam pun tetap terjaga (hablum minal alam).

Agaknya karena pemahaman seperti ini pula, maka ketika seorang Kiyai pernah ditanya santrinya, ‘’Kiyai seperti apa sih yang disebut orang saleh?’’ Kiyai itu menjawab, ‘’Orang yang menyeimbangkan usholi dan usaha’’.

Artinya orang saleh adalah orang yang mampu menyeimbangkan antara ibadah ritual dan perilaku sosialnya. Artinya tidak hanya rajin beribadah, tetapi berperilaku baik pada sesama sebagai manifestasi dari ibadahnya itu.

Islam bukan agama individual. Ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad adalah agama yang dimaksudkan sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin).

Agama yang tidak hanya untuk kepentingan penyembahan dan pengabdian diri pada Allah semata tetapi juga menjadi rahmat bagi semesta alam. Karena itu, dalam Alquran kita jumpai fungsi manusia yang bersifat ganda, bukan hanya sebagai abdi Allah tetapi juga sebagai khalifatullah.

Khalifatullah berarti memegang amanah untuk memelihara, memanfaatkan, melestarikan dan memakmurkan alam semesta ini, karena itu mengandung makna hablum minan nas, wa hablum minal alam.

Bagaimana mungkin kita bisa membuat alam ini lestari, makmur dan penuh kedamaian bila kita tidak memiliki sikap yang baik terhadap sesama manusia maupun pada alam semesta.

Dalam rangka itu, maka hampir tidak ada ibadah yang dianjurkan dalam Islam yang tidak memiliki nilai atau efek sosial, yang dimaksudkan antara lain untuk tahzib, ta’dib dan tazkiyat al-nafs.

Tahzib berarti mengarahkan jiwa, ta’dib berarti membentuk karakteristik jiwa yang baik, serta tazkiyat al-nafs yang berarti untuk penyucian jiwa.

Artinya semua ibadah itu pada akhirnya ditujukan untuk membentuk dan mengarahkan perilaku orang yang melakukan ibadah itu ke arah kebaikan, sehingga pada akhirnya memberi dampak sosial pada masyarakat dan lingkungan sekitarnya.

Dari sini dapat kita simpulkan bahwa kesalehan individual semestinya melahirkan kesalehan sosial. Namun dalam kenyataannya, selama ini terkesan bahwa banyak orang yang ibadah ritualnya baik tetapi ternyata tidak memberi bekas dalam perilaku sosialnya.

Salat, puasa, dan ibadah ritual lainnya jalan terus tetapi perilaku buruk lainnya juga jalan terus, seperti sikap iri, dengki, mengambil hak orang lain, kurang bertanggung jawab pada tugas, kurang amanah, kurupsi, kurang memiliki etos dan semangat kerja, serta sikap yang melukai dan menyakitkan orang lain.

Ia asyik dan rajin beribadah, tetapi lupa bahwa sesungguhnya ibadah itu bukan hanya semata-mata untuk Allah tetapi juga dimaksudkan agar nili-nilai dari ibadah itu menjadi rahmat bagi semesta alam, manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan dan sebagainya.

Begitu pula dalam ibadah puasa. Puasa implikasi sosialnya juga sangat jelas. Puasa dengan segala kesibukan aktivitas ritualnya, diharapkan dapat mendidik manusia mengendalikan gejolak nafsunya, menahan dan mengendalikan dirinya.

Pelajaran menahan diri ini merupakan esensi yang sangat penting bagi pembinaan kesalehan sosial.

Dengan menahan diri dari berbagai kesenangan duniawi (makan, minum dan hubungan seksual) saat berpuasa seseorang akan mampu merasakan derita mereka yang kurang beruntung.

Sehingga wajar sekali jika seseorang, karena satu dan lain hal, tidak mampu melakukan ibadah puasa tersebut, di antaranya dapat diganti dengan fidyah (memberi makan kepada orang miskin). Ini mengajarkan kepada kita untuk memupuk kepekaan dan kesadaran sosial.

Untuk itu marilah tunaikan ibadah Ramadan ini dengan sebaik mungkin seraya menghayati nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, sehingga diharapkan puasa kita dapat meraih fungsinya sebagai sarana untuk mengarahkan (tahzib), membentuk karakteristik jiwa (ta’dib), serta medium latihan untuk berupaya menjadi manusia yang kamil dan paripurna (tadrib), yang pada esensinya bermuara pada tujuan akhir puasa, yaitu takwa.

Takwa dalam pengertian yang lebih umum adalah melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya. Takwa berarti kesalehan total yang mencakup ‘’kesalehan ritual’’ dan ‘’kesalehan sosial’’.

Dan marilah kita terus berusaha, berharap dan berdoa agar derajat takwa yang diraih selama sebulan berpuasa dapat pula kita pertahankan pada bulan-bulan berikutnya. Amin Ya rabbal alamin.***

Tidak ada komentar: