Halaman

Jumat, 18 Januari 2013

MENGENTASKAN KEMISKINAN DAN KESALEHAN SOSIAL

Menggelitik, saat membaca sebuah tulisan pembaca di harian Republika yang memaknai kesalehan sosial. Di dalam tulisan tersebut ada kalimat yang menarik bahwa jika kita membantu seorang nenek menyeberangi jalan raya, sesungguhnya perbuatan itu bukan suatu amal saleh, melainkan amal kebaikan. Dengan argumentasi, perbuatan kita akan menjadi saleh dari contoh tersebut bila memahami adakah nenek tersebut akan menjadi lebih sehat ketika sampai di rumah, bagaimanakah nenek tersebut bila tidak ada yang menjaganya, adakah setiap hari dia dapat memperoleh makan, lalu kita memberikan perhatian sepenuhnya untuk nenek tersebut sebagaimana yang kita perhatikan. Artinya, kita tidak sebatas menolong nenek menyeberangi jalan, tetapi memperhatikan lebih untuk membantu kesudahan nenek tersebut dalam menjalani kehidupan di lingkungan keluarganya.
Amal perbuatan kita dapat dikategorikan amal kesalehan yang bersifat sosial bila mengamalkan seperti contoh tersebut. Jadi, kesalehan sosial bermakna sebagai perbuatan yang dapat mendatangkan kebajikan sesudah suatu perbuatan yang bersifat sosial itu dilaksanakan.
Beberapa pendapat mengatakan, saat seseorang bisa mentransformasikan kebaikan dirinya untuk disebar ke orang lain maka dia sedang melakukan kesalehan sosial. Pendapat lain mengatakan, kesalehan sosial berarti saat dia hadir di sebuah kawasan, orang di sekitarnya merasakan manfaat kehadirannya. Penegasan bahwa kesalehan sosial adalah pengejawantahan kesalehan individu.
Momentum Ramadhan, bagi kita selaku pendamping yang memegang nilai-nilai luhur sebuah program, seharusnya tidak hanya dijadikan sebagai ajang membangun kesalehan individu, tetapi juga untuk mengokohkan nilai kesalehan sosial. Mengapa demikian? Perlu diketahui, berdasarkan jumlah penduduk, Indonesia berada pada urutan ke-4 sebagai negara berpenduduk besar setelah RRC, India, dan Amerika Serikat. Dengan jumlah penduduk 241.452.952 jiwa, Indonesia memiliki mobilitas sosial yang cukup tinggi dengan berbagai latar dan setting sosial yang cukup beragam.
Secara sosial, kondisi semacam ini sungguh menguntungkan. Aset kependudukan yang cukup besar membawa kemungkinan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara dengan daya dukung yang amat kuat dalam berbagai ranah. Namun, kenyataan menunjukkan, aset sosial ternyata tidak selalu memberikan efek yang membanggakan. Bahkan, tak jarang membawa beban “peradaban” yang tak pernah kunjung teratasi. Angka kemiskinan semakin merangkak, kasus korupsi pun kian melambung tinggi.
Dalam konteks demikian, ada yang harus kita refresh dalam memaknai Ramadhan, dimana puasa sejatinya tidak hanya mencegah makan dan minum, tetapi juga harus mampu menyentuh nilai keluhuran hakiki. Perut yang kosong dan tenggorokan yang kering sebagai bagian dari aktivitas berpuasa harus mampu menumbuhkan sikap empati terhadap saudara-saudara kita yang selalu didera rasa lapar dan haus. Mereka yang hidup terpuruk dalam kenistaan zaman terus-terusan menjadi beban sosial bangsa. Maka tidak berlebihan apabila kemiskinan di negeri ini bagaikan mata rantai yang (nyaris) tak pernah bisa diputus dari generasi ke generasi.
Maka tidak bisa dipungkiri jika banyak kalangan mengatakan program pengentasan kemiskinan kurang berdampak terhadap penurunan angka kemiskinan. Hal ini karena kita berbuat kebaikan tetapi tidak berdampak positif sesudahnya. Sepertinya telah menolong, tetapi menjadikan yang ditolongnya tak mampu untuk berubah secara positif (baik).
Menanggapai hal tersebut, kita sebagai pendamping, dengan besar hati harus bisa menerima dan tidak  menutup mata atapun berdalih dengan berbagai alasan. Justru seharusnya kita berterimakasih.
Sebagai catatan juga, beberapa program bantuan modal telah digulirkan oleh pemerintah untuk kelompok usaha menengah ke bawah, syaratnya adalah yang menerima modal betul-betul wiraswasta. Modal pun disesuaikan dengan perkembangan usaha. Akan tetapi, program ini banyak tidak mem-follow up (tindak lanjut), seperti, bagaimana manajemen wirausahanya, pemasarannya, kualitas produknya dan sebagainya. Hal ini hanya mengulang modal tanpa memiliki strategi usaha yang dapat berkembang. Walhasil, usaha kelompok menengah ke bawah mengalami stagnasi dan kebingungan.
Dipahami bahwa sesungguhnya konsep keberpihakan kepada masyarakat sudah dilakukan, tetapi tidak berdampak positif kesudahannya; usaha yang dibantu dengan permodalan tidak mengalami kemajuan yang berarti. Pemerintah telah beramal baik secara sosial, tetapi tidak dapat disebut sebagai berbuat kesalehan sosial.
Bukan bermaksud mencela pada kegelapan, akan tetapi mari kita introspeksi diri kita, bagaimana momentum Ramadhan menjadi ajang bagi kita untuk mengokohkan kesalehan personal sekaligus mengasah ketajaman kesalehan sosial kita, sehingga ruh pendidikan kritis yang melekat di program dalam rangka memanusiakan manusia dan mengubah sikap/perilaku bisa terwujud. Wallahualam bi shawab. [Kalbar]
Editor: Nina Firstavina
Sumber http://www.p2kp.org/wartadetil.asp?mid=4997&catid=2&

Tidak ada komentar: