Halaman

Sabtu, 16 Juni 2012

PENDEKATAN HOLISTIK DALAM PENDIDIKAN ANAK

Memasuki dasawarsa kedua abad 21 ini, permasalahan pendidikan di negara kita makin kompleks. Bayang-bayang kemuraman perekonomian menjadi latar belakang permasalahan yang sudah kronis ini. Peningkatan kualitas pendidikan selalu dijadikan target yang bukan prioritas oleh pemerintah. Atau kalaupun kemudian anggaran pendidikan meningkat, namun lebih karena tujuan perekonomian juga, misalnya program sertifikasi guru yang idealismenya meningkatkan kualitas guru namun hingga saat ini belum nampak progressnya. Belum lagi masih kurang mendukungnya sistem birokrasi yang akuntabel.
Namun demikian, patut diapresiasi dengan dua jempol sekaligus upaya dari beberapa kalangan swasta yang berupaya mendongkrak kualitas pendidikan. Munculnya program-program pendidikan yang unggulan dapat menjadi satu alternatif bagi masyarakat dalam mencari tempat bagi anak-anaknya untuk bersekolah. Meski tetap muncul pro-kontra, namun terobosan-terobosan model pendidikan ini terasa dibutuhkan.
Model pendidikan yang sampai saat ini masih eksis dan menjadi alternatif, salah satunya adalah pendekatan pendidikan holistik (holistic education). Model ini mulai dimunculkan pada tahun 1960-an, sebagai bagian dari gerakan humanistik. Gerakan ini melawan arus industrialisasi yang melanda dunia pendidikan saat itu, yaitu memandang manusia sebagai bagian dari mesin industri, termasuk siswa. Humanistik melihat siswa sebagai sasaran didik yang harus dikembangkan intelektual, perasaan, nilai moral, dan tujuan pribadi siswa secara seimbang (Miller, 2001).
Pendekatan Holistik
Istilah holistik mengandung makna menyeluruh atau utuh. Pendekatan holistik memandang manusia secara utuh, dalam arti manusia dengan unsur kognitif, afeksi dan perilakunya. Manusia juga tidak bisa berdiri sendiri, namun terkait erat dengan lingkungannya. Manusia tidak bisa terlepas dari manusia lain, demikian pula dengan lingkungan fisik atau alam sekitarnya. Manusia juga tergantung kepada Tuhan yang Maha Kuasa selaku pencipta dan penentu hidupnya.
Merujuk pada beberapa literatur terkait pendekatan holistik (Henzell-Thomas, 2006; Miller, 2001; Miller, 1991; Bawazir, 2007), maka secara umum pendekatan ini menekankan pada tujuan membentuk karakter anak yang selaras dengan nilai moral dan etika yang berlaku. Karakter ini dapat dibentuk melalui berbagai teknik, antara lain yaitu:
a. Mengoptimalkan kreativitas seni sebagai media utk menghidupkan jiwa dan imajinasi, mengembangkan kesadaran akan keindahan dan merangsang otak.
b. Melakukan studi lapangan untuk mengenalkan kondisi lingkungan secara nyata, baik lingkungan sosial maupun fisik.
c. Menanamkan nilali-nilai etika dan moral, baik yang bersumber dari agama maupun dari sosial dan negara, untuk dijadikan sebagai nilai pribadi siswa, melalui pemahaman dan praktek pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari.
d. Bekerjasama dengan orangtua dan masyarakat dalam memantau perkembangan siswa di sekolah maupun di luar sekolah.
Media Seni yang Kreatif
Kesenian memiliki fungsi yang menyenangkan bagi yang mendengar atau melihat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa seni memiliki implikasi mengarahkan perasaan menjadi lebih halus dan sensitif, misalnya musik klasik dan instrumentalia yang membantu peningkatan konsentrasi dan mempertajam intuisi. Selama ini kesenian masih diposisikan sebatas mata pelajaran bagi siswa, bukan media pembelajaran.
Beberapa contoh pemanfaatan seni sebagai media belajar :
- Cara menghafal dengan lagu
- Memahami dengan seni peran / drama
- Menghayati dengan melukis
Melalui kreativitas media ini, siswa juga dapat diarahkan pada pengenalan potensi dirinya yang unik dan mampu mengembangkannya untuk membantu dalam mencapai prestasi yang optimal.
Studi Lapangan
Pemahaman terhadap suatu konsep akan lebih mudah dan lebih berkesan bagi siswa dengan mengenal secara langsung. Hal ini mencakup pengenalan terhadap lingkungan fisik maupun sosial siswa. Misalnya :
- Materi tentang lingkungan hidup yang harus selalu bersih dapat dikenalkan di TPA Sampah, pemukiman kumuh / girli, wilayah yang masih asri / hijau, dsb.
- Materi tentang proses tumbuhnya tanaman dapat dibawa ke sawah, ladang, kebun buah, kebun sayur, kebun tanaman hias, dsb.
- Materi tentang toleransi antar umat beragama dapat dikenalkan pada kunjungan ke sekolah nasrani, candi, kuil, dsb.
- Materi tentang ‘amal jariyah dapat dikenalkan dengan mengunjungi panti asuhan dan kemudian memberikan sumbangan secara langsung kepada anak panti
- Materi tentang kerja keras dan daya saing, dilakukan melalui terlibat aktif dalam berbagai perlombaan individual maupun antar kelompok, antar kelas atau antar sekolah.
Melalui pengenalan langsung studi lapangan ini siswa juga dirangsang daya kritisnya dalam membandingkan antara konsep yang ada dengan kenyataan di lapangan.
Penanaman Nilai Etika
Nilai etika dan moral, baik yang bersumber dari sosial, agama, maupun negara dapat dipahami selain melalui pengenalan di kelas, juga melalui praktik dalam kehidupan sehari-hari. Pelatihan secara rutin, baik di sekolah maupun di rumah dapat mempermudah siswa dalam mengintegrasikan nilai-nilai itu di dalam dirinya. Misalnya : membaca do’a dalam setiap aktivitas belajar, makan, ke kamar mandi, pulang sekolah, naik kendaraan, akan tidur, bangun tidur, dsb. Selain itu, nilai juga dapat ditanamkan melalui studi lapangan maupun kesenian, sebagaiman uraian sebelumnya.
Kerjasama
Keberhasilan suatu proses pendidikan anak pada hakikatnya sangat berkait erat dengan kerjasama yang sinergis antara orangtua, sekolah, dan pemerintah. Regulasi / sistem dan kurikulum yang diputuskan pemerintah dan kemudian dilaksanakan oleh sekolah, harus didukung sepenuhnya oleh keluarga dan masyarakat. Dukungan ini berupa :
- Memberikan feedback secara aktif ke sekolah, terutama terkait dengan proses pembelajaran anak di sekolah, dan juga bagaimana perkembangan belajar anak di rumah. Komite kelas atau komite sekolah menjadi sangat penting posisinya dalam aktivitas ini.
- Terlibat aktif dalam proses pembelajaran di sekolah, misalnya melalui program ‘smart parenting’ di mana orangtua dan anak melakukan proses belajar bersama. Hal ini akan memberikan pemahaman kepada orangtua bahwa pembelajaran anak perlu didampingi oleh orangtua secara aktif (adanya kesulitan yang harus dipecahkan bersama, target disusun bersama, perencanaan kegiatan bersama).
Referensi
Anonymous. 1991. New Materials — New Directions in Education: Selections from Holistic Education Review. The Education Digest; May 1991; 56, 9; Academic Research Library. pg. 69
Bawazir, D. 2008. Pendekatan Holistik dalam Pendidikan Anak.
Jeremy Henzell-Thomas. 2006. Key Elements of Holistic Education. Islamica; 2006; 17; ProQuest Religion, pg. 17
Miller, Ron. 2001. Education for personal and cultural transformation [Excerpt from Caring for New Life: Essays on Holistic Education]. Natural Life. Toronto: Jan/Feb 2001. , Iss. 77; pg. 20

Tidak ada komentar: