Halaman

Tampilkan postingan dengan label KLAUSA BAHASA ARAB. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KLAUSA BAHASA ARAB. Tampilkan semua postingan

Senin, 11 Maret 2013

SUBJEK DAN MUBTADA DALAM KAJIAN SINTAKSIS




I.    PENDAHULUAN
Sering ada anggapan bahwa bahasa arab merupakan bahasa yang sulit dipelajari sehingga menjadi tidak menarik, bahkan ada pihak yang menganggapnya sebagai momok. Banyak factor yang menjadi penyebab terkondisinya hal itu. Ada dua factor yang menjadi penyebabnya yakni factor tenaga pengajar bahasa dan factor pembelajar bahasa, namun penulis memiliki asumsi lain bahwa kendala pembelajaran bahasa arab itu ada kemungkinan disebabkan oleh tidak adanya tali penghubung antara bahan ajar dengan pengetahuan yang telah tertanam pada memori otak pembelajar bahasa. Memperhatikan hal tersebut kini sudah saatnya perlu dicarikan bahan ajar bahasa arab yang sesuai dengan pengetahuan yang telah tertanam pada memori otak pembelajar bahasa arab yang berbahasa Indonesia (ibu). Adapun yang menjadi perhatian penulis adalah bahan ajar sintaksis arab (nahwu). Hal ini dipilih karena penulis sering mendapat pertanyaan dari para pembelajar bahasa arab yang berbahasa ibu bahasa Indonesia yang merasa kesulitan memahami istilah sintaksis dalam bahasa arab. Dengan demikian bagi mereka tentu saja bahasa arab merupakan bahasa asing. Ketika mereka mempelajari bahasa arab baik disadari maupun tidak mereka telah mengetahui system sintaksis bahasa Indonesia.  Diketahui bahwa dalam tataran kalimat ataupun klausa (bahasa Indonesia) satuannya terdiri dari subyek dan predikat, jadi idak mengherankan ketika pembelajar memperoleh istilah fi’il, fa’il, mubtada’ dan khabar dalam bahasa arab, mereka merasakan adanya ketidak jelasan analisis kalimat (subyek) dalam bahasa arab.
Solusi terhadap kesulitan  pembelajar  dalam pemerolehan dan pembelajaran bahasa arab  selalu diupayakan para pengajar bahasa. Cara untuk menyolusikan kesulitan pembelajar itu pun cukup banyak sehingga pengajar bahasa dapat memilih salah satu cara yang dipandang paling tepat. Salah satu solusi untuk mengatasi kesulitannya dengan menggunakan analisis kontrastif yang disini berusaha  membandingkan struktur bahasa indonesia dengan struktur bahasa arab yang dipelajari guna  untuk  mengidentifikasi  persamaan, kemiripan,  dan perbedaan-perbedaan  di  antara  kedua  bahasa dari segi sintaksisnya, kemudian dari situ akan digunakan sebagai landasan dalam memprediksikan kesulitan-kesulitan belajar bahasa arab tersebut, serta nantinya juga akan bertujuan untuk membantu dalam perencanaan pengajaran, penyusunan bahan ajar, serta cara penyampaiannya. Dalam kesempatan kali ini penulis akan menjelaskan ke arah mana tataran sintaksis khususnya perbandingan kategori dan bentuk subjek dalam bahasa kedua (Arab) dan bahasa pertama (Indonesia) dengan mubtada’ dalam bahasa kedua (arab).
II.     PEMBAHASAN
A.    Pengertian Sintaksis
Kata sintaksis berasal dari bahasa yunani  “san” dengan “tattein” yang artinya menempatkan . Jadi kata sintaaksis secara etimologis berarti menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat. Kata sintaksis dalam bahasa indonesia merupakan kata serapan dari bahasa belanda, syntaxis. Inggris : syntax.
Pada tahun 1981, Ramlan mengatakan sintaksis adalah cabang ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk frase, wacana, klausa dan kalimat dengan satuan terkecilnya berupa bentuk bebas yaitu kata.  Adapun untuk objek analisisnya itu mengarah pada frasa dan kalimat .
Sintaksis merupakan salah satu unsur kebahasaan yang sangat komplek, setiap bahasa memiliki struktur kebahasaan masing-masing. Dengan demikian, struktur masing-masing bahasa akan berbeda. Perbedaan itu antara lain adalah pola struktur fonologi, morfologi dan sintaksis.
Dalam bahasa arab, pengaturan antar kata dalam kalimat atau antar kaliamat dalam klausa atau wacana merupakan kajian ilmu Nahwu. Bahkan hubungan itu tidak hanya menimbulkan makna gramatikal, tetapi juga mempengaruhi baris akhir masing-masing kata yang kemudian disebut dengan I’rab.
Agar diperoleh gambaran yang jelas mengenai kajian sintaksis, berikut disajikan contoh kalimat: (1) Beberapa mahasiswa sedang berdiskusi di perpustakaan. Kalimat itu terdiri atas satu klausa; beberapa mahasiswa sebagai S (subjek), sedang berdiskusi sebagai P(predikat), dan di perustakaan sebagai K(keterangan). Tiap-tiap fungsi dalam klausa itu terdiri atas satuan yang disebut frase atau kelompok kata, yaitu beberapa mahasiswa, sedang berdiskusi, dan di perpustakaan. Tiap-tiap frase itu terdiri atas dua kata, yaitu beberapa dan mahasiswa membentuk frase beberapa mahasiswa, sedang dan berdiskusi membentuk frase sedang berdiskusi, dan kata depan di dan kata perpustakaan membentuk frase di perpustakaan.   
Dan dalam pembahasan sintaksis yang biasa dibicarakan ialah (1) struktur sintaksis, mencakup fungsi, kategori, dan peran sintaksis, serta alat-alat yang digunakan dalam membangun struktur itu, (2) satuan-satuan sintaksis yang berupa frasa, klausa, kalimat dan wacana, lalu (3) hal-hal yang berkaitan dengan sintaksis, seperti masalah modus, aspek, dan sebagainya  dan Berbicara tentang tataran sintaksis berarti kita berbicara tentang jabatan-jabatan kata dalam kalimat, Seperti halnya kita sering mendengar istilah-istilah Subyek, Prediket, objek, kata sifat, kata benda, kata keterangan, kalimat aktif, kalimat fasif, dan lain-lain.

B.    Pengertian Subjek dalam bahasa pertama (Indonesia) dan bahasa kedua (arab)
i.    Subyek dalam bahasa pertama (Indonesia)
Dalam pembicaraan struktur sintaksis pertama-tama yang harus dibicarakan masalah fungsi sintaksis, kategori sintaksis dan peran sintaksis, ketiganya tidak dapat dipisahkan. Istilah subyek, predikat, obyek dan keerangan, juga istilah nomina, verba, ajektiv, dan numeralia, begitu juga dengan istilah pelaku, penderita, dan penerima. Kelompok istilah pertama yaitu subyek, predikat, obyek dan keterangan adalah peristilahan yang berkenaan dengan fungsi sintaksis. Kelompok kedua yaitu istilah nomina, verba, ajektiv dan numeralia adalah peristilahan yang berkenaan dengan kategori sintaksis, sedangkan kelompok ketiga yaitu istilah pelaku, penderita dan penerima adalah peristilahan yang berkenaan dengan peran sintaksis. Begitu banyak peristilahan akan tetapi disini penulis hanya membatasi penjelasan pada makalah ini hanya pada fungsi sintaksis yang sebagai subyek dalam bahasa Indonesia.  Pengerian dari subyek yaitu unsur kalimat atau klausa yang dijelaskan oleh unsur lain dalam kalimat yang bersangkutan . Secara umum struktur sintaksis itu terdiri dari susunan subyek (S), predikat (P),, obyek (O), dan keterangan (K). masalah kita sekarang apakah fungsi-fungsi sintaksis itu, dan apakah isi serta peranannya dalam linguistic. Fungsi-fungsi sintaksis itu terdiri dari unsur-unsur S, P, O, K itu merupakan kotak-kotak kosong atau tempat-tempat kosong yang tidak memiliki arti apa-apa karena kekosongannya. Tempat kosong-kosong itu akan diii oleh sesuatu yang berupa kategori dan memiliki peranan tertentu, penulis mengambil contoh: zaka melirik zaki tadi pagi,
Tempat kosong yang bernama subyek         = zaka         = berkategori nomina
Tempat kosong yang bernama predikat     = melirik     = berkaegori verba
Tempat kosong yang bernama obyek         = zaki         = berkategori nomina
Tempat kosong yang bernama keterangan     = tadi pagi     = nomina (frasa)
Pengisi fungsi-fungsi itu yang berupa kategori sintaksis memiliki peran-peran sintaksis, “zaka” memiliki peran pelaku atau agentif, “melirik” memiliki peran aktif, “zaki” memiliki peran sasaran, dan “tadi pagi” memiliki peran waktu.
Sekarang bagaimana kalau kalimat “zaka melirik zaki tadi pagi” itu dipasifkan dan menjadi “zaki dilirik zaka tadi pagi”, apakah peran-perannya masih tetap sama? Dalam kalimat pasif tersebut kata “zaki ” yang tadinya menjadi fungsi obyek, sekarang mengisi fungsi subyek dan peran tetap sasaran, verba pasif “dilirik” sebagai ubahan dari verba aktif melirik sekarang berperan pasif, “zaka” yang semula mengisi fungsi subyek sekarang mengisi fungsi obyek dengan peran tetap pelaku, dan frase “tadi pagi” tetap mengisi fungsi keterangan dengan peran yang tetap juga yaitu peran waktu.
Masalah kita sekarang sehubungan dengan kategori subyek, apakah struktur sintaksis selalu berurutan S, P, O,K seperti diatas?dan apakah setiap fungsi harus selalu diisi oleh kategori tertentu?
Pada pertanyaan diatas dapat dijawab bahwa susuna fungsi sintaksis tidak harus selalu berurutan S, P, O, K, misalnya: “keluarlah zaka dari kamarnya”, memiliki susunan fungsi P, S, dan K, demikian juga fungsi K dalam kalimat berikut mempunyai posisi yang tidak sama, misalnya:
“tadi pagi zaka melirik zaki”,
“zaka tadi pagi mellirik zaki”,
“zaka melirik zaki tadi pagi”, yang tampaknya urutannya harsu selalu tetap adalah fungsi P dan O sebab kalimat berikut tidak berterima:
“zaka melirik tadi pagi zaki”, kalimat tersebut tidak memiliki fungsi obyek, jadi memang keempat fungsi itu tidak ahrsu selalu ada dalam setiap struktur sintaksis.
ii.    Subyek dalam bahasa kedua (bahasa arab)
Dalam bahasa Arab istilah klausa kurang dikenal oleh para pengkaji sintaksis bahasa Arab. Hal tersebut terjadi karena di dalam buku-buku induk ilmu nahwu sendiri tidak ada istilah khusus mengenai klausa. Di dalam buku-buku nahwu terdapat tiga istilah kunci yaitu: kalimah, jumlah, dan kalam. Jumlah dan kalam adalah istilah dalam bahasa Arab yang lazim disepadankan dengan kalimat dalam bahasa Indonesia, sedangkan kalimah lazim disepadankan dengan kata.
Namun demikian, Al-Ghalayaini  dalam bukunya yang berjudul jami’ ad-durus al-lugah arabiyah membedakan istilah jumlah dengan kalam. Menurutnya jumlah- disebut juga dengan  مركب اسنادىadalah konstuksi yang terdiri dari S مسند اليه)) dan P (مسند). sedangkan kalam adalah konstruksi yang terdiri atas S dan P, mengandung makna yang utuh, dan dapat berdiri sendiri. Dari definisi yang dikemukakan Al-Ghalayani tersebut dapat diartikan bahwa jumlah memang terdiri dari S dan P, tetapi tidak harus mengandung makna yang utuh dan tidak harus dapat berdiri sendiri. Dengan demikian, definisi jumlah yang dikemukakan Al-Ghalayaini dapat disepadankan dengan klausa. Sedangkan, kalam dipadankan dengan kalimat.
Pada pembahasan diatas, Al-Ghalayaini mengindikasikan klausa dengan jumlah atau  مركب اسنادى , dengan demikian jenis klausa dalam bahasa arab ada lima, jika kita melihat dari pembagian مركب اسنادى, yaitu; susunan مبتدأ وخبر, فعل وفاعل , اسم كان وخبرها  ,   ونائبه , اسم ان وخبرها  و فعل مجهول namun demikian, penulis  akan mencoba membandingkan  antara kategori subjek dan mubtada’ dalam kajian sintaksis (Studi analisis kontrastif). Dalam kajian analisis kontrastif ini penulis sengaja membandingkan kategori subjek dalam bahasa Indonesia dengan salah satu cabang dari musnad ilaih yakni mubtada’.
Mubtada’ secara bahasa ialah sesuatu yang diterangkan, sedangkan menurut istilah mubtada’ yaitu isim yang dibaca rofa’ yang tidak didahului ‘amil lafdzi. Biasanya mubtada’ itu identik dengan khobar (yang menerangkan / isim yang menjadi pelangkap mubtada’). Adapun susunan mubtada’ dan khobar ini dalam bahasa Arab disebut dengan susunan Jumlah Ismiyah . Mubtada’ ada dua macam: 1. Mubtada’ yang mempunyai Khobar, contoh: زيد ناصر = Zaid Menolong. 2. Mubtada’ yang hanya mempunyai fa’il yang menduduki tempatnya khobar, contoh:    أسارٍ ذانِ= Apakah kedua orang ini sedang melakukan perjalanan?
Mubtada’ merupakan  pokok kalimat yang umumnya berupa kata benda (isim) dan khabar, bisa berupa isim, fi’il (jumlah fi’liyyah) , jumlah ismiyyah atau syibh al-jumlah, yakni jar majrur atau zarf sebagai penjelas mubtada’. Contoh Jumlah Ismiyyah:
حسان مدرس هو عالم,  حسان يدرس اللغة العربية, حسان في البيت ؛ هو أمام التلفزيون
Struktur Jumlah Ismiyyah tidak selalu diawali oleh mubtada’ , bahkan jika mubtada’ tidak berupa isim ma’rifat maka jumlah tersebut pada umumnya diawali oleh khabar , yaitu jika mubtada’ nya berupa isim nakirah dan khabarnya berupa jar majrur atau zarf. Misalnya: في المسجد مسلمون ؛ على المنبر خطيب
(Di dalam masjid ada orang-orang Islam, di atas mimbar ada seorang khatib)
Jika mubtada ‘ yang nakirah di atas dirubah menjadi ma’rifah maka sttrukturnya bisa dikembalikan ke struktur semula yakni mubtada’ – khabar, tetapi boleh juga masih tetap khabar-mubtada’. Jadi boleh :  المسلمون في المسجد” “atau
 ”في المسجد المسلمون” . Perbedaan kalimat yang terakhir ini adalah perbedaan antara makna isim ma’rifah dan isim nakirah, yakni pengertian yang sudah tertentu dan yang belum tertentu. Adapun perbedaan antara kalimat  المسلمون في المسجد” “dengan kalimat في المسجد المسلمون”  ” adalah pada gagasan yang ingin ditekankan. Yang pertama lebih menekankan sebuah gagasan yang berupa “orang-orang Islam”, yang kedua lebih menekankan gagasan yang berupa “di dalam masjid”.
Sedangkan mubtada’ itu sendiri mempunyai beberapa syarat – syarat, yaitu:
1.    Isim yang menjadi mubtada berupa isim ma’rifat (boleh berupa isim nakirah, akan tetapi disertai dengan syarat dan ketentuan tertentu). Sedangkan yang termasuk dalam isim Ma’rifat itu meliputi:
1.    Isim Dhomir (kata ganti)
2.    Isim ‘Alam (nama)
3.    Isim Isyaroh (kata tunjuk)
4.    Isim Mausul (kata penghubung)
5.    Alif dan Lam (ال )
6.    Susunan Idhofah yang mudhof ilaihnya berupa isim ma’rifat.
2.    Mubtada berupa isim yang beri’robkan rofa’.
3.    Bebas dari ‘amil Lafdzi seperti fa’il atau naibul fa’il.
Adapun syarat dan ketentuan untuk isim nakiroh yang ingin dijadikan mubtada diantaranya:
a. Hendaknya mubtada nakiroh di dahului oleh nafi atau istifham contoh: مارحل قائم
b. Hendaknya mubtada nakiroh di sifati contoh:و لعبد مؤمن خير
c. Hendaknya mubtada nakiroh di mudhofkan contoh:خمس صلوات كتبهن الله
Mubtada’ itu tidak selamanya bertempat di depan. Adakalanya ia berada setelah khobar.  Mubtada’ yang diakhirkan atau terletak di akhir kalimat dinamakan Mubtada’ Muakhor dan Khobar yang di awalkan atau terletak di awal kalimat dinamakan Khobar Muqoddam.
Contoh:جانبَ المعهد بيتٌ جميلٌ  “di samping pesantren terdapat rumah yang bagus”. Kata”جانب المعهد”  berkedudukan sebagai Khobar Muqoddam dan kataبيتٌ جميلٌ  berkedudukan sebagai Mubtada’ Muakhor.
Khobar itu harus didahulukan atas Mubtada’ dengan syarat sebagai berikut:
a.    Mubtada’ berupa Isim Nakiroh (kata benda yang bermakna umum), sedangkan khobarnya berupa Syibhul Jumlah (penyerupaan kalimat). Contoh:فى الجامعةِ فصولٌ  “di dalam kampus terdapat beberapa kelas”. Kata فى المكتبة  berkedudukan sebagai Khobar Muqoddam yang berbentuk Syibhul Jumlah ( penyerupaan kalimat ) dan kataفصولٌ  berkedudukan sebagai Mubtada’ Muakhor yang berbentuk Isim Nakiroh ( kata benda yang bermakna umum ).
b.    Mubtada’ tersebut adalah ism fa’il atau ism maf’ul mufrod/ tunggal dan didahului dengan nafi atau istifham, misalnya
مَا قائِمٌ الرَجُلانِ, مَا مَضْروبٌ الناجِحان,
c.    Fa’il atau na’ib al-fa’il terdiri dari ism dhohir atau dlomir munfasil, misalnya:
مَا حَاضِرٌ التِلْمِيْذُ, , مَا مَحْبُوْبٌ الكَسْلانُ
d.     Khobar berupa kata tanya ( isim istifham . Contoh:  أين الأستاذ؟”di mana ustadz ?” Kata أين berkedudukan sebagai Khobar Muqodam yang berbentuk kata tanya dan kata  الأستاذ berkedudukan sebagai Mubtada’ Muakhor yang berbentuk benda yang ditanyakan .
C.    Klasifikasi Persamaan, Kemiripan, dan Perbedaan Subjek Bahasa Indonesia dengan Mubtada’ yang ada dalam bahasa Arab
Dari paparan yang telah jelaskan di atas, penuis di sini akan mengklasifikasikan tentang persamaan, kemiripan, dan perbedaan dalam perbedaan subjek bahasa indonesia dengan mubtada’ yang ada pada bahasa arab dalam analisis kontrastif, sebagai berikut:
i.    Klasifikasi persamaan  subyek bahasa Indonesia dengan mubtada’ dalam bahasa arab
Jika penulis amati dari pemaparan diatas subyek dari segi sintaksis memiliki beberapa persamaan, diantaranya sama – sama memiliki pola dalam sebuah kalimat dan memiliki aturan – aturan tersendiri dalam penggabungan dan menyusuun sebuah kalimat.
Dalam bahasa arab kesamaan ada pada letak mubtada’ yang berkategori nakiroh (disifati & dimudhofkan) dengan bahasa indonesia yang berbentuk frasa/klausa.
Letak subjek antara bahasa arab dengan bahasa indonesia sama-sama bisa ditaruh di depan dan di belakang. Yang mana, bahasa arab ini masuk dalam kategori susunan mubtada’ dan khobar muqoddam, serta mubtada’ muakhor.
ii.    Klasifikasi kemiripan  subyek bahasa Indonesia dengan mubtada’ dalam bahasa arab
Kemiripan antara bahasa arab dan bahasa Indonesia terletak pada mubtada’ yang berupa isim nakiroh yang didahului nafi dan istifham, sedangkan dalam bahasa Indonesia dengan mempertanyakan apa dan siapa.
iii.    Klasifikasi perbedaan  subyek bahasa Indonesia dengan mubtada’ dalam bahasa arab
Perbedaan struktur kalimat nominal dan verbal, perbedaan aturan itu akan mempengaruhi pula dalam memahami bahasa Arab, misalnya,  ذ هب احمد الى السوق maka arti yang menurut susunan bahasa Indonesia adalah Pergi Ahmad ke pasar. Dan ini janggal menurut bahasa Indonesia.
Perbedaan pola kalimat mulai dari Pola pendahuluan obyek, misalnya السيارة سيركبها احمد ( O-P-S) pola ini asing dalam bahasa Indonesia
Adanya persesuaian antara kata dalam kalimat dari Kesesuaian I’rab/ harokat/ bunyi kahir kata , contoh كتاب جميل, كتابا جميلا dan Kesesuaian jenis kata contoh kata كتاب جميل, مدرسة جميلة sedangakan dalam bahasa Indonesia tidak ada.
Dalam mubtada’ I’rob Rafa’ tidak ada persamaan dengan subyek di bahasa Indonesia  karena dalam bahasa Indonesia tidak ada susunan I’rob.
Mubtada’ dalam bahasa arab dan subyek pada bahasa Indonesia perbedaannya pada salah satunya terdiri bahasa tersebut yakni, dalam bahasa Indonesia memiliki struktur SPOK dan memiliki nama – nama baku dalam pengklasifikasian struktur kalimat seperti frase, klaimat dan klausa, kalau dalam  ilmu nahwu sendiri yang terdapat dalam bahasa arab yang dijadikan panduan yang baku untuk menentukan kaidah – kaidah dalam struktur kalimat bahasa arab.
Struktur kalimat bahasa Arab lebih banyak menggunakan struktur “jumlah fi’liyah”, sedangkan bahasa Indonesia biasa menggunakan struktur “jumlah ismiyah”. Sementara itu, dalam bahasa Indonesia, unsur subjek biasanya selalu berada di awal kalimat, yang kemudian diikuti oleh unsur predikatnya.
Dalam kalimat pasif  (jumlah majhul) bahasa Arab, selalu tidak menyebutkan subjek pelakunya, sedangkan dalam struktur kalimat pasif bahasa Indonesia, sangat sering disebutkan subjek pelakunya.
Selain itu, banyak pula kita jumpai dalam bahasa Arab beberapa ungkapan yang berbentuk pasif (majhul) tetapi bermakna aktif (ma’lum) dalam bahasa Indonesia, seperti ungkapan سُرِرْتُ بِلقائك” “   yang jika kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Saya senang bertemu anda”  bukan “Saya disenangkan dengan bertemu anda”.
Kalimat bahasa Arab sangat menekankan adanya kesesuaian antar berbagai unsur kalimat, sedangkan dalam bahasa Indonesia tidak mengenal kesesuaian tersebut. Dalam gramatika bahasa Arab, persoalan kesesuain merupakan hal penting yang harus difahami dan diperhatikan. Ada beberapa kesesuaian yang lazim dalam bahasa Arab, yaitu: (1) kesesuaian antara subjek dan predikatnya baik berupa kata kerja (fi’il) maupun khabarul mubtada; (2) kata ganti (dhamir); dan (3) struktur shifat dan maushufnya.
D.    Prediksi Kesulitan atau Kesalahan dalam perbandingan subjek bahasa Indonesia dengan mubtada’ dalam bahasa arab
Kesulitan atau kesalahan dalam mempelajari bandingan subyek bahasa Indonesia dengan mubtada’ pada bahasa arab dari analisis kontrastif dbidang sintaksis dimulai dari:
Dalam tataran praktis para pemula baik orang Arab apalagi non Arab merasa kesulitan dalam pembelajaran ilmu nahwu sharaf  ini khususnya yang berkaitan dengan subyek pada bahasa arab yakni mubtada’, dan khususnya ilmu nahwu yang disebabkan karena begitu kompleknya kaidah-kaidah nahwu. Bagi pelajar Indonesia merasakan kesulitan ini dikarenakan kaidah nahwu sangat jauh berbeda dengan kaidah bahasa Indonesia.
Nahwu disusun disamping untuk memudahkan orang untuk mempelajari bahasa Arab juga dapat sebagai alat bantu agar tidak terjadi kesalahan-kesalahan dalam penggunaan bahasa Arab sebagai alat komunikasi baik tulisan maupun lisan. Karena terjadinya kesalahan tidak hanya berakses terhadap kesulitan orang kedua dalam memahami pesan, tetapi juga merubah makna pesan dari yang dimaksud oleh penyampai pesan. Sehingga siapapun yang belajar atau mengajar bahasa Arab, mutlak untuk memahami struktur sintaksis (nahwu).
Mayoritas orang yang belajar nahwu merasa kesulitan dalam menguasai materi nahwu, khususnya non Arab, hal tersebut dikarenakan materi nahwu yang cukup banyak dengan aturan -aturan yang sangat rumit.  beberapa kesulitan itu disebabkan karena;  pertama; banyaknya topik-topik pembahasan materi nahwu yang antara satu sama lain memiliki perbedaan yang tipis, kedua contoh-contoh yang dipakai dalam menjelaskan materi adalah contoh-contoh yang tidak situasional dan jauh dari kehidupan sehari-hari peserta didik. Ketiga, adanya teori amil ( perubahan harakat/ sakl di akhir kata, keempat kaidah-kaidah perubahan huruf dalam sebuah kata.
Namun sebaliknya peserta didik akan lebih mudah mempelajari subyek yang tersusun dari mubtada’ khobar atau jumlah ismiyah dikarenakan susunan itu sama dengan susunan yang ada dalam  bahasa pertama( subyek, predikat).
E.    Materi ajar dalam perbandingan  subjek bahasa indonesia dengan mubtada’ pada bahasa arab
Berdasarkan asas-asas  pembelajaran yang mengatakan bahwa  kegiatan belajar mengajar itu dimulai dari hal paling mudah ke ke hal yang paling sulit. Oleh sebab itu dalam penyusuan materi subyek bahasa arab dimulai dari kaidah – kaidah yang sama -sama terdapat dalam kedua bahasa. Dalam permasalahan ini kita fokuskan dahulu pada materi mubatada’ dan khobar ( jumlah ismiyah). Lalu setelah peserta dirasa sudah cukup untuk menguasai materi tersebut, baru diberikan materi pembentukan subyek melalui kaidah – kaidah yang lain  (Fail dan Naibul Fail Beserta I’rob-I’robnya.
H.    Metode dan Langkah-langkah pengajaran perbandingan subyek bahasa indonesia dengan mubtada’ pada bahasa arab
Berdasarkan analisis kontrastif diatas, maka saya mengajukan metode Qowa’id wa tarjamah untuk diterapkan dalam pengajaran sintaksis mengenai Subjek bahasa indonesia dengan mubtada’ dalam bahasa arab.
Metode Qowa’id wa tarjamah merupakan metode yang dalam penerapannya banyak menekankan pada penggunaan nahwu (tata bahasa) dan praktek penerjemahan dari bahasa asing ke dalam bahasa pelajar.  Asumsi yang mendasari metode Qowa’id wa tarjamah menyatakan bahwa semua bahasa di dunia pada dasarnya sama dan tata bahasa adalah cabang dari logika. Maka dalam melihat titik kesamaan itu perlu dilakukan kajian tata bahasa asing yang dipelajari dan untuk melihat pokok pikiran yang terkandung oleh tulisan bahasa asing yang dipelajari, perlu diadakan kegiatan transformasi (penerjemahan) kosa kata maupun kalimat dalam bahasa asing ke dalam bahasa pelajar sehari-hari. Jadi dapat dijelaskan bahwa dasar pokok metode ini adalah hafalan kaidah, analisis gramatika, lalu terjemahannya ke dalam bahasa yang digunakan sebagai pengantar pelajaran. Oleh karenanya fokus metode ini lebih mementingkan ketrampilan membaca dan menulis dibanding dengan kalam dan istima’.
Adapun langkah-langkah penerapan metode Qowa’id wa tarjamah yang dapat dilakukan oleh guru bahasa Arab sebagai berikut :
a.    Pendahuluan, memuat sekilas mengenai materi yang akan disampaikan.
b.    Guru memberikan pengenalan dan definisi kaidah-kaidah tertentu dalam bahasa Arab yang harus dihafalkan dan dicatat oleh siswa berkaitan dengan materi yang akan disajikan, beserta terjemahannya dalam bahasa pelajar.
Contoh: jika materi yang akan disajikan mengandung kaidah mubtada’-khabar maka, dapat menggunakan langkah-langkah :
     Mengenalkan konsep mubtada’-khabar beserta definisi keduanya dan terjemahannya ke dalam bahasa pelajar.
     Memberikan contoh-contoh mengenai mubtada’-khabar seperlunya, dan jika diperlukan mengadakan perbandingan dengan kaidah bahasa pelajar sehari-hari untuk membantu pemahaman para pelajar.
     Setelah para pelajar benar-benar memahami konsep mubtada’-khabar, guru membimbing mereka untuk menerapkan kaidah tersebut dalam teks yang telah disediakan.
c.    Guru memberikan teks bahasa arab mengenai suatu tema (diambil dari buku pegangan), lalu mengajak para siswa untuk menerjemahkan teks bacaan tersebut dan selanjutnya dicocokkan dengan kaidah-kaidah yang telah dihafalkan dan dipelajari sebelumnya.  
Contoh teks bacaan :
(مكتبة المدرسة)
يوسف يدرس فى المدرسة العالية. هو يحب ان يقراء القصص العربية فى وقت الإستراحة. وهو يريد ان يذهب إلي المكتبة. وفى المكتبة كتب كثيرة. ويدعو يوسف سالم ان يرافقه فى المكتبة. سالم يرافقه بكل سرور.
III.    KESIMPULAN
Dari segala bentuk uraian di atas, saya  dapat memberi kesimpulan bahwasannya dalam perbandingan subjek bahasa indonesia dengan mubtada’ pada bahasa arab melalui study analisis kontrastif bidang sintaksis yakni dilihat dari segi makna, istilah subyek dalam bahasa Indonesia dengan bahasa Arab adalah sama. Walaupun istilah subyek  sendiri tidak di kenal oleh para pengkaji bahasa Arab. Dalam bahasa Indonesia kita mengenal istilah subjek (S) dan predikat (P), dalam bahsasa arab kedua istilah ini dikenal dengan musnad dan musnad ilaih. Musnad ilaih berpadanan dengan subjek (S) sedangkan, musnad berpadanan dengan predikat (P).
Jadi struktur kalimat akan sangat menentukan bacaan I’rab (perubahan pada akhir kata, baik yang berupa harakat atau huruf) dan makna, sebaliknya makna kalimat juga menentukan ketepatan struktur kalimat, khususnya kalimat yang kata-katanya tidak bersyakal.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, cet: 2, 2003)
Bahauddin Abdulloh Ibnu ‘Aqil, Terjemah Alfiyah Syarah Ibnu ‘aqil, juz 1, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, cet. 8, 2007)
Chaedar Alwasilah, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, (bandung: PT , Remaja Rosdakarya, 2011)
Hifni Bek Dayyab dkk. Kaidah Tata Bahasa Arab, Nahwu-Shorof-Balaghoh-Bayan-Ma’ani-Bade’, (Jakarta: Darul Ulum, cet. 3, 1991)
J.D. Parera, Dasar-Dasar Analisis Sintaksis, (Jakarta: Erlangga, 2009)
M. Abdul Hamid, M.A dkk., Pembelajaran Bahasa Arab pendekatan, metode, strategi, dan media, (Malang: UIN-Malang Press, 2008)
Mansoer pateda, Linguiustik ( sebuah pengantar ), (Bandung: Angkasa)
Markhamah, dkk, Sintaksis 2 (Keselarasan fungsi, kategori&peran dalam klausa), (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2010)
Sahkholid, Pengantar Linguistik ( analisis teori-teori  linguistik umum dalam bahasa arab), (Medan: Nara Press, 2006)
Sukini, sintaksis sebuah panduan prkatis, (Surakarta: Yuma pustaka, 2010)
http://cahbuntupiping.blogspot.com/2012/04/mubtada-dan-khobar.html, diakses pada 04-Mei-2012, pukul 10.47 AM. http://riungsastra.wordpress.com/2010/09/23/klausa-dalam-bahasa-indonesia-dan-arab/ (diakses pada  2 mei 2012) http://sulufiyyah.blogspot.com/2009/11/mubtada-dan-khobar.html, diakses pada 04-Mei-2012, Pukul 10.35 AM.

Kamis, 07 Maret 2013

KLAUSA DALAM BAHASA INDONESIA DAN ARAB



Kata linguistik berasal dari bahasa latin lingua yang bermakna bahasa, dan dalam bahasa Prancis berpadanan dengan kata langue,langage, dalam bahasa Italia berpadanan dengan kata lingua dan dalam bahasa Spanyol berpadanan dengan kata lengua. Kata linguistik dalam bahas Inggris ditulis linguistics yang dalam bahasa Prancis ditulis linguistique karena dalam bahasa Inggris beberapa nama ilmu pengetahuan selalu ditulis dalam bentuk jamak, misalnya mathematics, phonetics, physics, politics.
Dalam bahasa Arab, linguistik disebut ilmu lughah. Pada mulanya kata ilmu lughah tidak digunakan dengan makna linguistik atau kajian bahasa. Kata ilmu lughah pertama kali digunakan oleh Ibnu Khaldun dalam karyanya “ Al-Muqaddimah” dan dimaksudkan sebagai ilmu ma’ajim atau lexicology.
Menurut Pringgodigdo dan Hasan Sadily, 1977 : (633-634) menjelaskan linguistik adalah “ Penelaahan bahasa secara ilmu pengetahuan. Tujuan utama ialah mempelajari suatu bahasa secara deskriptif. Mempelajari bahasa berdasarkan sejarah atau ilmu perbandingan bahasa berarti mempelajari hubungan suatu bahasa dengan bahasa yang lain.” Dan pengertian yang selaras juga dikemukakan oleh Kridalaksana (1993) dalam kamus linguistik, didefinisikan sebagai ilmu tentang bahasa atau penyelidikan bahasa secara ilmiah.
Ada empat tataran dalam kebahasaan (linguistik), yaitu fonologi (makhrajul huruf), morfologi (ilmu sharaf), sintaksis (ilmu nahwu), dan semantic. Fonologi adalah bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa (Abdul Chaer :2007). Morfologi adalah bidang linguistik yang mempelajari dan menganalisis perubahan kata dalam bahasa. sedangkan sintaksis adalah bidang linguistik yang mempelajari dan menganalisis hubungan kata dengan kata lain, atau unsur-unsur lain sebagai suatu satuan ujaran. Dan yang terakhir adalah semantik yang merupakan bidang linguistik yang mempelajari dan menganalisis makan kata.
Sintaksis berasal dari bahasa Yunani, yaitu sun yang berarti ‘dengan’ dan kata tattein yang berarti ‘menempatkan’. Jadi, secara etimologis istilah itu berarti; Menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat. Sintaksis sering disebut sebagai tataran kebahasaan terbesar. Menurut Ramlan (1976), Sintaksis adalah bagian dari tata bahasa yang mengkaji struktur frase dan kalimat. Hal ini selaras dengan yang dikemukakan Bloch dan Trager ( dalam Tarigan, 1986) bahwa sintaksis adalah analisis mengenai konstuksi-konstruksi yang hanya mengikut sertakan bentuk-bentuk bebas.
Dalam pembahasan sintaksis yang biasa dibicarakan adalah (1) Struktur sintaksis yang mencakup masalah fungsi, kategori dan peran sintaksis, serta alat-alat yang digunakan dalam membangun struktur itu. (2) Satuan-satuan sintaksis yang berupa kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana. Dan (3) hal-hal lain yang berkenaan dengan sintaksis yang berupa modus, aspek dan sebagainya (Abdul Chaer : 2007)
Dalam makalah ini, akan dijelaskan mengenai klausa yang merupakan salah satu tataran dalam sintaksis, dalam bahasa Indonesia dan Arab yang Insya Allah akan dipaparkan secara terperinci dengan jelas beserta contoh-contohnya yang tentu dalam bahasa Indonesia dan Arab.

1. Pengertian Klausa
A. Dalam Bahasa Indonesia
Klausa merupakan tataran didalam sintaksis yang berada di atas tataran frase dan di bawah tataran kalimat. Dalam berbagai karya linguistik mungkin ada perbedaan konsep karena pengunaan teori analisis yang berbeda. Sebagaimana para ahli saling berbeda dalam mendefinisikan klausa. Di dalam makalah ini kami akan mencoba menghadirkan beberapa pengertian klausa menurut para ahli, sebagai penambah wawasan kita:
• badudu
klausa adalah sebuah kalimat yang merupakan bagian daripada kalimat yang lebih besar
• Prof. Drs. M. Ramlan
klausa adalah satuan gramatik yang terdiri dari P (predika), baik disertai oleh S (subjek), O (objek), Pel(aku), dan ket(erangan) ataupun tidak.
• Jos Daniel Parere
Klausa adalah sebuah kalimat yang memenuhi salah satu pola dasar kalimat inti dengan dua atau lebih unsur pusat.
• Kridalaksana
Klausa adalah satuan gramatik berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat dan mempunyai potensi untuk menjadi kalimat.
• Tarigan
Klausa adalah kelompok kata yang hanya mengandung satu predikat (p).

Pada pengertian-pengertian klausa yang dikemukakan para ahli diatas, kita bisa membandingkan antara satu pengertian dengan pengertian lainnya. Badudu mengatakan bahwa kalau klausa dilepaskan dari kalimat, maka bagian yang dipisahkan masih nampak sebagai kalimat. Antara pengertian yang dikemukakan Ramlan dengan Parere memiliki titik perbedaan. Pada definisi yang dikemukakan Ramlan jabatan predikat sebagai unsur kalimat sangat menentukan, sedangkan menurut Parere, kalimat yang dianggap klausa haruslah memenuhi salah satu dasar pola kalimat inti. Dengan demikian, satuan melompat bukanlah klausa menurut Parere tapi, menurut Ramlan merupakan sebuah klausa.
Pengertian-pengertian yang dikemukakan para ahli memang sedikit berbeda namun, kita masih dapat menarik benang merah dari definisi-definisi diatas, yaitu klausa adalah satuan gramatik yang bersifar predikatif. Berikut kami sediakan contoh :
• Nenek mandi
Contoh diatas merupakan sebuah kluasa sebab bersifat predikatif. Namun, akan timbul kembali pertanyaan, kalau begitu apa perbedaan klausa dengan kalimat? Abdul Chaer dalam bukunya yang berjudul linguistic umum menjelaskan, bahwa sebuah konstruksi disebut kalimat kalau kepada konstruksi itu diberikan intonasi final atau intonasi kalimat (Abdul Chaer : 2007).

B. Dalam Bahasa Arab
Dalam bahasa Arab istilah klausa kurang dikenal oleh para pengkaji sintaksis bahasa Arab. Hal tersebut terjadi karena di dalam buku-buku induk ilmu nahwu sendiri tidak ada istilah khusus mengenai klausa. Di dalam buku-buku nahwu terdapat tiga istilah kunci yaitu: kalimah, jumlah, dan kalam. Jumlah dan kalam adalah istilah dalam bahasa Arab yang lazim disepadankan dengan kalimat dalam bahasa Indonesia, sedangkan kalimah lazim disepadankan dengan kata.
Namun demikian, Al-Ghalayaini (1984) dalam bukunya yang berjudul jami’ ad-durus al-lugah arabiyah membedakan istilah jumlah dengan kalam. Menurutnya jumlah- disebut juga dengan murakkab isnady- adalah konstuksi yang terdiri dari S (musnad ilaih) dan P (musnad). sedangkan kalam adalah konstruksi yang terdiri atas S dan P, mengandung makna yang utuh, dan dapat berdiri sendiri. Dari definisi yang dikemukakan Al-Ghalayani tersebut dapat diartikan bahwa jumlah memang terdiri dari S dan P, tetapi tidak harus mengandung makna yang utuh dan tidak harus dapat berdiri sendiri. Dengan demikian, definisi jumlah yang dikemukakan Al-Ghalayaini dapat disepadankan dengan klausa. Sedangkan, kalam dipadankan dengan kalimat.
Definisi yang mengatakan bahwa jumlah adalah konstruksi yang terdiri dari S dan P, tanpa mempersyaratkan keutuhan makna, dapat diterima. Kesimpulan ini didukung oleh adanya istilah atau konsep jumlah shartiyah dan khabar jumlah. Contoh:
• Jumlah shartiyah
 انّ تحترم الناس
Ø يحترموك
Khabar jumlah
 محمد يسافر ابوه الي مكة
Ø
ada contoh pertama, kalimat يحترموك merupakan sebuah klausa yang konstruksinya tidak dapat berdiri sendiri, sebab menjadi Jawab Syarti. Dan Pada contoh kalimat kedua, يسافر ابوه الي مكة merupakan sebuah klausa yang konstruksinya tidak dapat berdiri sendiri, sebab menjadi khabar dari محمد .

2. Jenis-Jenis Klausa dan Contohnya
Pada pembahasan sebelumnya, Al-Ghalayaini mengindikasikan klausa dengan jumlah atau murakkab isnady, dengan demikian jenis klausa dalam bahasa arab ada lima, jika kita melihat dari pembagian murakkab isnady, yaitu; susunan mubtada’ dan khabar, fi’il dan fail, isim kana (كان) dan khabar-nya, isim inna (انّ) dan khabar-nya, dan fi’il majhul dan naib-nya.
namun demikian, kami akan mencoba menyepadankan antara jenis-jenis klausa bahasa Indonesia dengan bahasa Arab.
Abdul Chaer dalam bukunya linguistik umum, membagi klausa menjadi dua yaitu:
A. Berdasarkan struktur
Pembagian klausa berdasarkan struktur terbagi kembali menjadi dua yaitu:
I. Klausa bebas
Adalah klausa yang mempunyai unsur-unsur lengkap, sekurang kurangnya mempunyai S dan P; dan karena itu mempunyai potensi untuk menjadi kalimat mayor. Contoh : konstruksi Nenekku masih cantik dan جاء الحقّ kedua contoh ini jika diberi intonasi akhir maka akan menjadi kalimat mayor.

II. Klausa terikat
Adalah klausa yang memiliki struktur tidak lengkap. Unsur yang ada dalam klausa ini mungkin hanya subjek saja, mungkin hanya objek saja, atau juga hanya berupa keterangan saja. Oleh karena itu, klausa terikat tidak mempunyai potensi untuk menjadi kalimat mayor. Contoh: konstruksi tadi pagi yang bisa menjadi kalimat jawaban untuk kalimat tanya: kapan nenek membaca komik?; تفلح اذن yang merupakan jawaban pada orang yang berkata ساجتهد.

B. Berdasarkan katergori unsur segmental yang menjadi predikatnya.
I. Klausa verbal
Adalah klausa yang predikatnya berkategori verba; misalnya, klausa الدرس يكتب احمد, dan ahmad mandi.
II. Klausa nominal
Adalah klausa yang predikatnya berupa nomina atau prase nominal, misalnya انا طالب dan kakeknya petani di desa itu
III. Klausa ajektifal
Adalah klausa yang predikatnya berkategori ajektifa, baik berupa kata maupun frase. Misalnya : زيد جميل, dan gedung itu sudah tua sekali
IV. Klausa adverbial
Adalah klausa yang predikatnya berupa adverbia. Misalnya, klausa bandelnya teramat sangat.
V. Klausa proposisional
Adalah klausa yang predikatnya berupa preposisi. Umpamanya, انا من المكتبة, dan nenek di kamar mandi.
VI. Klausa numeral
Adalah klausa yang predikatnya berupa kata atau frase numeralia. Misalnya, النثر له خمسة انواع, gajinya lima juta sebulan; anaknya dua belas orang; dan taksinya delapan buah.

Jika kita perhatikan contoh-contoh diatas yang berbahasa arab maka, padanan susunan fi’il fail dan fi’il majhul beserta naib-nya berpadanan dengan klausa verbal, dan susunan mubtada’ khabar berpadanan dengan klausa nominal, ajektifal, preposisional, dan numeral. Sedangkan susunan isim inna dan khabar-nya, dan susunan isim kanna dan khabar-nya padanannya sama dengan padanan mubtada’ khabar, mengingat susunan isim inna dan khabar-nya, dan isim khanna dan khabar-nya pada mulanya adalah susunan mubtada’ khabar, Hanya disana terjadi perubahan I’rab.
Untuk sekedar menambah informasi, bahwasanya Ramlan membagi klausa menjadi tiga jenis, dan yang ketiga ini, ia menggolongkannya pada klausa berdasarkan ada-tidaknya kata negative yang secara gramatik menegatifkan predikat. Jadi, Ramlan membaginya menjadi:
• Klausa Positif
Adalah klausa yang tidak memiliki kata-kata negative yang secara gramatik menegatifkan atau mengingkarkan P. contoh: محمد جميل, dan wajahnya cantik.
• Klausa Negative
Adalah klausa yang memiliki kata-kata negative yang secara gramatik menegatifkan P. contoh: الكاذب محبوبا ليس, dan wajahnya tidak cantik.

3. Perbandingan antara Klausa Bahasa Indonesia dengan Bahasa Arab
Al-Ghalayaini mengindikasikan klausa dengan jumlah, yaitu konstruksi yang terdiri dari musnad ilah (subjek) dan musnad (predikat) yang belum mengandung makna utuh. Definisi tersebut sejalan dengan definisi klausa dalam bahasa Indonesia. Jadi, dilihat dari segi makna, istilah klausa dalam bahasa Indonesia dengan bahasa Arab adalah sama. Walaupun istilah klausa sendiri tidak di kenal oleh para pengkaji bahasa Arab.
Dalam bahasa Indonesia kita mengenal istilah subjek (S) dan predikat (P), dalam bahsasa arab kedua istilah ini dikenal dengan musnad dan musnad ilaih. Musnad ilaih berpadanan dengan subjek (S) sedangkan, musnad berpadanan dengan predikat (P).
Diposkan oleh sastraindra di 05.10
http://good-ndra.blogspot.com/2010/08/klausa-dalam-bahasa-indonesia-dan-arab.html