PENGEMBANGAN
KURIKULUM
Pengembangan
kurikulum mempunyai makna yaitu penyusunan kurikulum yang sama sekali baru atau
bisa juga menyempurnakan kurikulum yang telah ada (Sanjaya,2008:77).
Pengembangan kurikulum berarti menyusun seluruh perangkat kurikulum mulai dari
dasar-dasar kurikulum, struktur dan sebaran mata pelajaran, garis-garis besar
program pengajaran, sampai dengan pedoman-pedoman pelaksanaan. Untuk memudahkan
pengembangan kurikulum diperlukan sebuah rancangan yang dapat membantu dalam
prosesnya
LANDASAN
PENGEMBANGAN KURIKULUM
Landasan
pengembangan kurikulum pada hakikatnya merupakan faktor yang harus diperhatikan
dan dipertimbangkan pada waktu mengembangkan suatu kurikulum lembaga
pendidikan, baik di lingkungan sekolah maupun luar sekolah. Secara umum
terdapat tiga aspek pokok yang mendasari pengembangan kurikulum tersebut,
yaitu: landasan filosofis, landasan psikologis, dan landasan
sosiologis. Landasan filosofis berkaitan dengan pentingnya filsafat dalam
membina dan mengembangkan kurikulum pada suatu lembaga pendidikan. Filsafat ini
menjadi landasan utama bagi landasan lainnya. Perumusan tujuan dan isi
kurikulum pada dasarnya bergantung pada pertimbangan-pertimbangan filosofis.
Pandangan filosofis yang berbeda akan mempengaruhi dan mendorong aplikasi
pengembangan kurikulum yang berbeda pula. Berdasarkan landasan filosofis ini
ditentukan tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan bidang
studi, dan tujuan instruksional.
Landasan psikologis terutama berkaitan dengan psikologi/teori belajar (psychology/theory of learning) dan psikologi perkembangan (developmental psychology). Psikologi belajar memberikan kontribusi dalam hal bagaimana kurikulum itu disampaikan kepada siswa dan bagaimana pula siswa harus mempelajarinya. Dengan kata lain, psikologi belajar berkenaan dengan penentuan strategi kurikulum. Sedangkan psikologi perkembangan diperlukan terutama dalam menentukan isi kurikulum yang diberikan kepada siswa agar tingkat keluasan dan kedalamannya sesuai dengan taraf perkembangan siswa tersebut.
Landasan sosiologis dijadikan sebagai salah satu aspek yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum karena pendidikan selalu mengandung nilai atau norma yang berlaku dalam masyarakat. Di samping itu, keberhasilan suatu pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya yang menjadi dasar dan acuan bagi pendidikan/kurikulum. Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sebagai produk kebudayaan diperlukan dalam pengembangan kurikulum sebagai upaya menyelaraskan isi kurikulum dengan perkembangan dan kemajuan yang terjadi dalam dunia iptek.
Landasan psikologis terutama berkaitan dengan psikologi/teori belajar (psychology/theory of learning) dan psikologi perkembangan (developmental psychology). Psikologi belajar memberikan kontribusi dalam hal bagaimana kurikulum itu disampaikan kepada siswa dan bagaimana pula siswa harus mempelajarinya. Dengan kata lain, psikologi belajar berkenaan dengan penentuan strategi kurikulum. Sedangkan psikologi perkembangan diperlukan terutama dalam menentukan isi kurikulum yang diberikan kepada siswa agar tingkat keluasan dan kedalamannya sesuai dengan taraf perkembangan siswa tersebut.
Landasan sosiologis dijadikan sebagai salah satu aspek yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum karena pendidikan selalu mengandung nilai atau norma yang berlaku dalam masyarakat. Di samping itu, keberhasilan suatu pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya yang menjadi dasar dan acuan bagi pendidikan/kurikulum. Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sebagai produk kebudayaan diperlukan dalam pengembangan kurikulum sebagai upaya menyelaraskan isi kurikulum dengan perkembangan dan kemajuan yang terjadi dalam dunia iptek.
MODEL-MODEL
PENGEMBANGAN KURIKULUM
.Model
pengembangan kurikulum pada dasarnya berkaitan dengan rancangan yang dapat
digunakan untuk menerjemahkan sesuatu realitas yang lebih praktis sehingga
mempermudah pengelolaan kurikulum itu sendiri. Dalam buku Kurikulum dan
Pembelajaran, menjelaskan manfaat model dalam pengembangan kurikulum,
diantaranya model dapat menjelaskan beberapa aspek perilaku dan interaksi
manusia, model dapat mengintegrasikan seluruh pengetahuan hasil observasi dan
penelitian, model dapat menyederhanakan suatu proses yang bersifat kompleks dan
model dapat digunakan sebagai pedoman untuk melakukan kegiatan (Sanjaya, 2010:
82). Pengembangan kurikulum dalam bahasan makalah ini mencakup perkembangan
kurikulum Model Tyler, Model Taba, Model Olivia, dan Model Saylor, Alexander
and Lewis, Model Administratif (line-staff), Model Grass Root, Model
Demosntrasi, Model Beauchamp, Model Rogers,
Model Wheeler, Model Nicholls, dan Model Dynamic Skilbeck.
1.
Model Tyler
Salah
satu model pengembangan kurikulum klasik yang disebutkan dalam buku Basic Principles of Curriculum and Instructions adalah model Tyler. Model pengembangan
kurikulum Tyler
beranggapan bahwa dalam pengembangan kurikulum diperlukan proses pemilihan
tujuan pendidikan. Tyler
mengemukakan tiga hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan kurikulum,
yaitu pembelajar, lingkungan social di luar sekolah, dan mata pelajaran. Setelah
mengetahui tiga hal tersebut, perencana kurikulum dapat mengetahui dan
menyaring dua hal yang harus diperhatikan, yaitu latar belakang filosofi
pendidikan dan latar belakang filosofi sosial.
Hal yang harus diperhatikan, yaitu:
a.
Siswa
Tyler
mengemukakan bahwa dalam pengembangan kurikulum dimulai dengan mencari data,
dan menganalisis data yang relevan dengan kebutuhan siswa. Cakupan kebutuhan
yang harus diperhatikan meliputi kebutuhan pendidikan, kebutuhan sosial,
psikologi siswa. Data-data tersebut dapat diperoleh dari observasi guru,
interview dengan siswa, orang tua, kuisioner dan tes.
b.
Lingkungan sosial
Langkah
selanjutnya yang harus diperhatikan dalam pengembangan kurikulum adalah
pengaruh lingkungan sosial, meliputi kesehatan, lingkungan keluarga, agama, dan
peraturan umum yang berlaku di lingkungan tersebut. Dalam pengembangan
kurikulum harus menganalisis atau menghubungkan keadaan sosiologis dalam
memberikan pengaruh terhadap kecerdasan dan kebutuhan social.
c.
Mata pelajaran
Dalam
perkembangannya model pengembangan kurikulum mengalami perubahan. Banyak metode
yang kurang memperhatikan faktor tujuan mata pelajaran secara khusus, yang ada
adalah tujuan pendidikan secara global. Menurut Tyler dalam pengembangan
kurikulum harus diperhatikan tujuan dalam setiap mata pelajaran.
Tyler berpendapat bahwa
dalam pengembanagan kurikulum itu harus diperhatikan juga latar belakang
filosofi sosial dan latar belakang filososi psikologi. Setelah semua hal yang
dijelaskan di atas telah dipenuhi dalam pengembangan kurikulum, langkah-langkah
pengembangan kurikulum yang harus dipenuh, yaitu menentukan dengan tepat tujuan
(objek) pembelajaran, penyeleksian dalam materi pembelajaran, pengaturan,
pengawasan dan evaluasi. Jadi kesimpulannya dalam pengembangan model kurikulum Tyler ini terdapat
interaksi antara siswa dan juga faktor kondisi sosial, sehingga dapat terwujud
lingkungan belajar yang saling berinteraksi (Oliva, :132).
Sebelum
merencanakan suatu model kurikulum, Ralph W Tyler merumuskan empat pertanyaan
mendasar yang harus terjawab dalam suatu pengembangan kurikulum.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain:
a.
What educational purpose should the school seek to attain? à Apa tujuan
pendidikan yang harus dicapai di sekolah?
b. What educational
experiences can be provided that are likely to attain these purposes? à Apa pengalaman
pendidikan yang dapat disediakan jika kita mencapai tujuan tersebut?
c.
How can these educational experiences be effectively organized? à Bagaimana
pengalaman pendidikan dapat diorganisir secara efektif?
d. How can we
determine whether these purposes are being attained? à Bagaimana kita
mampu memutuskan apakan tujuan ini telah tercapai?
Dari
keempat pertanyaan mendasar tersebut, disusunlah langkah-langkah pengembangan kurikulum model Tyler adalah sebagai berikut:
a. Menentukan tujuan. Dalam menentukan tujuan
pendidikan melalui langkah-langkah sebagai berikut: (1) mempelajari siswa
sebagai sumber tujuan. (2) mempelajari kehidupan kontemporer dilingkungan
masyarakat, ( 3) penentuan tujuan berdasarkan tinjauan filosofis, (4)
peninjauan tujuan berdasarkan tinjauan psikologis.
b. Menentukan pengalaman belajar. Ada 5 prinsip
pengalaman belajar, yaitu : (1) memberikan kesempatan kepada siswa untuk
berbuat tingkah laku yang menjadi tujuan, (2) pengalaman belajar harus
menyenangkan bagi siswa, (3) siswa harus terlibat dalam belajar, (4) diberikan
beberapa pengalaman belajar untuk mencapai tujuan pendidikan, (5) pengalaman
belajar yang disediakan dapat menghasilkan beberapa kemampuan, yaitu: kemampuan
berfikir, memperoleh informasi, mengembangkan sikap sosial, mengembangkan
minat.
c. Pengorganisasian pengalaman belajar
d. Evaluasi dimaksudkan untuk mengetahui hasil belajar sisa
sesuai dengan tujuan yang ditetapkan dan mengetahui kelemahan dan kekuatan
program kurikulum.
2.
Model Taba
Model
Taba lebih menitikberatkan kepada bagaimana mengembangkan kurikulum sebagai
ssuatu proses perbaikan dan penyempurnaan. Dalam model ini dikembangkan
tahapan-tahapan yang harus dilakukan oleh para pengembang kurikulum.
Pengembangan
kurikulum biasanya dilakukan secara deduktif yang dimulai dari langkah
penentuan prinsip-prinsip dan kebijakan dasar, merumuskan desain kurikulum,
menyusun unit-unit kurikulum, dan mengimplementasikan kurikulum dalam kelas.
Tetapi, menurut Hilda Taba pengembangan kurikulum secara deduktif tidak dapat
menciptakan pembaruan kurikulum. Oleh karena itu, sebaiknya kurikulum
dikembangkan secara terbalik yaitu dengan pendekatan induktif.
Ada
lima langkah
pengembangan kurikulum model terbalik dari Taba ini (Oliva, 2005:135).
a.
Menghasilkan
unit-unit percobaan (pilot unit) melalui langkah-langkah:
·
Mendiagnosis
Kebutuhan. Pada
langkah ini, pengembang kurikulum memulai dengan menentukan kebutuhan-kebutuhan
siswa. Melalui diagnosis tentang “gaps”, berbagai kekurangan (defeciencies),
dan perbedaan latar belakang siswa.
·
Memformulasikan
tujuan. Setelah
kebutuhan-kebutuhan siswa didiagnosis, selanjutnya para pengembang kurikulum
merumuskan tujuan.
·
Memilih
isi. Pemilihan isi
kurikulum sesuai dengan tujuan merupakan langkah berikutnya. Pemilihan isi
bukan saja didasarkan kepada tujuan yang harus dicapai sesuai dengan langkah
kedua, akan tetapi juga harus mempertimbangkan segi validitas dan
kebermaknaannya untuk siswa.
·
Mengorganisasi
ini. Melalui penyeleksian
isi, selanjutnya isi kurikulum yang telah ditentukan itu disusun urutannya,
sehingga tampak pada tingkat atau kelas berapa sebaiknya kurikulum itu
diberikan.
·
Memilih
pengalaman belajar. Pada
tahap ini ditentukan pengalaman-pengalaman belajar yang harus dimiliki siswa
untuk mencapai tujuan kurikulum.
·
Mengorganisasi
pengalaman belajar. Guru
selanjutnya menentukan bagaimana mengemas pengalaman-pengalaman belajar yang
telah ditentukan itu ke dalam paket-paket kegiatan. Sebaiknya dalam menentukan
paket-paket kegiatan itu, siswa diajak serta, agar mereka memiliki tanggung
jawab dalam melaksanakan kegiatan belajar.
·
Menentukan
alat evaluasi serta prosedur yang harus dilakukan siswa. Pada penentuan alat evaluasi ini guru dapat menyeleksi
berbagai teknik yang dapat dilakukan untuk menilai prestasi siswa, apakah siswa
sudah dapat mencapai tujuan atau belum.
·
Menguji
Keseimbangan isi kurikulum. Pengujian ini perlu dilakukan untuk melihat kesesuaian
antara isi, pengalaman belajar, dan tipe-tipe belajar siswa.
b.
Menguji
coba unit eksperimen untuk memperoleh data dalam rangka menemukan validitas dan
kelayakan penggunaannya.
c.
Merevisi
dan mengonsolidasikan unit-unit eksperimen berdasarkan data yang diperoleh
dalam uji coba.
d. Mengembangkan keseluruhan kerangka kurikulum.
e.
Implementasi
dan diseminasi kurikulum yang teruji. Pada tahap terakhir ini perlu
dipersiapkan guru-guru melalui penataran-penataran, lokakarya dan lain
sebagainya serta mempersiapkan fasilitas dan alat-alat sesuai dengan tuntutan
kurikulum.
3.
Model Oliva
Dalam buku
Developing The Curiculum, Oliva mengemukakan bahwa suatu model kurikulum
harus bersifat simple, komprehensif dan sistematik. Model pengembangan
kurikulum yang ia kemukakan terdiri dari 12 komponen yang harus dikembangkan.
Komponen
I adalah perumusan filosofis, sasaran, misi serta visi lembaga pendidikan, yang
kesemuannya bersumber dari analisis kebutuhan siswa, dan analisis kebutuhan
masyarakat.
Komponen
II adalah analisis kebutuhan masyarakat di mana sekolah itu berada, kebutuhan
siswa dan urgensi dari disiplin ilmu yang harus diberikan oleh sekolah. Sumber kurikulum dapat dilihat dari komponen I dan II
ini. Komponen I berisi pernyataan-pernyataan yang bersifat umum dan sangat
ideal, sedangkan dalam komponen II sudah mengarah kepada tujuan yang lebih khusus.
Komponen
III dan IV berisi tantang tujuan umum dan tujuan khusus kurikulum yang
didasarkan kepada kebutuhan seperti yang tercantum dalam komponen I dan II.
Sedangkan, dalam komponen V adalah bagaimana mengorganisasikan rancangan dan
mengimplementasikan kurikulum.
Komponen
VI dan VII mulai menjabarkan kurikulum dalam bentuk perumusan tujuan umum dan
tujuan khusus pembelajaran. (bagaimana menjabarkan atau perbedaan antara tujuan
umum dan tujuan khusus pembelajaran, akan dijelaskan pada bagian tersendiri).
Apabila
tujuan pembelajaran telah dirumuskan, maka selanjutnya menetapkan strategi
pembelajaran yang dimungkinkan dapat mencapai tujuan seperti yang terdapat pada
komponen VIII. Selama itu pula dapat dilakukan studi awal tentang kemungkinan
strategi atau teknik penilaian yang akan digunakan (komponen IX A). selanjutnya
pengembangan kurikulum diteruskan pada komponen X yaitu mengimplementasikan
strategi pembelajaran.
Setalah
strategi diimplementasikan, pengembang kurikulum kembali pada komponen IX yaitu
komponen IX B untuk menyempurnakan alat atau teknik penilaian. Teknik penilaian
seperti yang telah ditetapkan pada komponen IX A bisa ditambah atau direvisi
setelah mendapatkan masukan dari pelaksanaan atau implementasi kurikulum.
Dari
penetapan alat dan teknik penilaian itu, maka selanjutnya pada komponen XI dan
XII dilakukan evaluasi terhadap pembelajaran dan evaluasi kurikulum.
Menurut
Oliva, model yang dikembangkan ini dapat digunakan dalam beberapa dimensi.
Pertama, untuk penyempurnaan kurikulum sekolah dalam bidang-bidang khusus,
misalkan penyempurnaan kurikulum bidang studi tertentu di sekolah, baik dalam
tataran perencanaan kurikulum maupun dalam proses pembelajarannya. Kedua, model
ini juga dapat digunakan untuk membuat keputusan dalam merancang suatu program
kurikulum. Ketiga, model ini dapat digunakan dalam mengembangkan program
pembelajaran secara khusus.
4.
Model Saylor, Alexander dan Lewis
Oliva
mengemukakan bahwa kurikulum adalah sebuah perencanaan untuk menetapkan bentuk
pembelajaran untuk siswa (Oliva, 2005:135).
Model ini mengemukakan tiga tahap dalam pengembangan kurikulum, yaitu:
a.
Curriculum Design
Terdapat
tiga hal yang berhubungan dengan kurikulum desain ini, yaitu tujuan, objek, dan
bidangnya. Model ini di mulai dengan mengidentifikasi tujuan utama pendidikan
dan tujuan secara spesifik. Saylor,
dkk mengklasifikasikan tujuan utama meliputi pengembangan personal, dan pola
keterampilan belajar. Pengembang kurikulum harus menentukan dan memilih bidang
yang akan dikembangkan dalam kurikulum, misalnya pengembangan kurikulum
berdasarkan pola social sebuah instansi, atau berdasarkan hubungan kebutuhan
siswa dan kepentingannya.
b.
Instructional Modes
Setelah
menentukan rancangan kurikulum, pengembang kurikulum harus menentukan tujuan
pembelajaran.
c.
Evaluation
Saylor
dkk memfokuskan tujuan desain kurikulum terhadap evaluasi program pendidikan
secara keseluruhan dan evaluasi terhadap program itu sendiri.
5.
Model Administratif (line-staff)
Model administrasi atau line staff dianggap sebagai model yang paling awal dikenal. Disebut line staff karena pada model
ini inisiatif pengembangan kurikulum dimulai dari pejabat tingkat atas (Superintendent).
Pada Model Administrasi, inisiatif rekayasa pengembangan kurikulum menggunakan
konsep atau prosedur administrasi dimana administrator atau pejabat pendidikan
membentuk komisi pengarah yang bertugas merumuskan konsep dasar dan landasan
kebijakan dan strategi utama dalam mengembangkan kurikulum (Sudrajat,2008).
Pejabat tersebut membuat keputusan tentang kebutuhan suatu program pengembangan
kurikulum dan implementasinya, lalu mengadakan pertemuan dengan staf lini
(bawahannya) dan meminta dukungan dari dewan pendidikan (Board of education).
Langkah berikutnya adalah membentuk suatu panitia pengarah yang terdiri dari
pejabat administratif tingkat atas, seperti asisten superintendent,
principals, supervisor, dan guru-guru inti. Panitia pengarah
merumuskan rencana umum, mengembangkan panduan kerja, dan menyiapkan rumusan
filsafat dan tujuan bagi seluruh sekolah didaerahnya (District).
Disamping itu, panitia pengarah dapat mengikutsertakan organisasi diluar
sekolah atau tokoh masyarakat sebagai panitia penasehat yang bekerja bersama
dengan personel sekolah dalam rangka merumuskan berbagai rencana, petunjuk dan
tujuan yang hendak dicapai.
Setelah kebijakan kurikulum dikembangkan, maka panitia pengarah memilih dan
menugaskan staf pengajar sebagai panitia pelaksana (panitia kerja) yang
bertanggung jawab mengkonstruksikan kurikulum. Panitia im merumuskan tujuan
umum dan tujuan khusus kurikulum, isi (materi), kegiatan-kegiatan belajar dan
sebagainya sesuai dengan pedoman atau acuan kebijakan yang telah ditentukan
oleh panitia pengarah. Panitia mengerjakan tugasnya diluar jam kerja biasa dan
tidak mendapat kompensasi. Kondisi ini diterapkan karena berkaitan dengan
tanggung jawab guru untuk memahami dengan benar kurikulum dan meningkatkan mutu
kurikulum itu sendiri. Selanjutnya, disusu draff kurikulum yang lebih operasional melalui
penjabaran konsep kebijakan dalam tujuan operasional, penyusunan materi,
strategi dan evaluasi pembelajaran, disamping itu juga menyusun pedoman umum
sebagai petunjuk pelaksanaannya.
Namun ada permasalahan yang sering muncul didalam pemilihan Model
Administrasi ini, antara lain: (1) menuntut adanya kesiapan guru sebagai
pelaksananya, (2 ) memerlukan internalisasi kurikulum yang dikembangkan,
tentunya malalui penataran awal, (3) kecenderungan bersifat searah, karena adanya sentralisasi dalam diseminasinya, (4) pada tahun-tahun
pertama pelaksanaan, ada monitoring secara intensif dan berkelanjutan tidak
dapat dihindarkan.
6.
Model Grass Root
Model
Grass Root atau akar rumput
dikembangkan oleh Smith, Stanley & Shores pada tahun 1957. Model Grass
Root berbeda dengan rekayasa model
administrasi. Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum model ini bersasal
dari bawah. Misalnya model ini diawali oleh guru, pembina disekolah dengan
mengabaikan metode pembuatan keputusan kelompok secara demokratis dan dimulai
dari bagian-bagian yang lemah kemudian diarahkan untuk memperbaiki kurikulum
tertentu yang lebih spesifik atau kelas-kelas tertentu. Model ini didasarkan
pada pertimbangan bahwa guru adalah perencana, pelaksana, dan juga penyempurna
pengajaran dikelasnya. Sehingga terdapat perbedaan yang signifikan jika
dibandingkan dengan Model Administrasi. Karena bila model
Administrasi bersifat sentralisasi pada model akar rumput ini bersifat
desentralisasi. Hal ini memungkinkan terjadinya kompetisi di dalam meningkatkan
mutu dan sistem pendidikan, yang pada gilirannya akan menghasilkan
manusia-manusia yang mandiri dan kreatif.
Menurut Agitara tahun 2009,
orientasi yang demokratis dari rekayasa ini bertanggung jawab membangkitkan 2
asumsi yang sangat penting yaitu :
1. bahwa kurikulum hanya dapat
diterapkan secara berhasil apabila guru dilibatkan secara langsung dengan
proses pembuatan dan pengembangannya.
2. bukan hanya para profesional, tetapi
murid, orang tua, anggota masyarakat lain harus dimasukkan dalam proses
pengembangan kurikulum.Rekayasa ini sangat bertentangan
dengan model administratif, karena
inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum model ini berasal dari bawah, dan
dilakukan oleh sekelompok atau keseluruhan guru dari suatu sekolah.
Model ini lebih berorientasi
kepada sifat demokratis dan desentralisasi dalam pelaksanaannya. Ada dua dalil
atau ketentuan yang sebaiknya diperhatikan dalam menyusun kurikulum ini:
a. Penerapan kurikulum dapat berhasil bila guru terlibat dalam penyusunan dan
pengembangannya
b. Melibatkan para ahli, siswa, orang tua dan masyarakat
Ada empat prinsip pengembangan
kurikulum dalam model grass root ini antara lain :
a. Kurikulum akan berkembang sebagai kewenangan profesional pada pengembangan
guru
b. Kewenangan guru dapat diperbaiki bila dilibatkan dalam revisi masalah
kurikulum
c. Bila guru dalam menentukan tujuan yang akan dicapai dalam menghadapi
seleksi, definisi, pemecahan masalah dan mengevaluasi hasil, mereka perlu
dipertimbangkan keterlibatannya.
d. Mempertemukan kelompok dalam tatap muka agar dapat memahami satu dengan
yang lain secara lebih baik untuk mencapai konsensup prinsip dasar, tujuan dan
perencanaannya.
7.
Model Demonstrasi
Model
Demonstrasi merupakan prakrasa seorang atau sekelompok guru yang berkerjasama
dengan para ahli dengan maksud melakukan perbaikan terhadap kurikulum.
Sistematika model ini hampir mirip model grass root, karena idenya
berasal dari bawah dan biasanya berskala kecil, karena menyangkut beberapa
sekolah serta mencakup satu atau keseluruhan komponen kurikulum.
Menurut
Smith, stanley dan shores (1957 dalam zais, 1976, dalam efendi 2009) ada dua
variasi ,model demonstrasi :
a. Sekelompok guru dari suatu sekolah atau beberapa sekolah ditunjuk untuk
melaksanakan suatu percobaan tentang pengembangan kurikulum yang tujuannya
adalah mengadakan penelitian dan pengembangan yang diharapkan dapat digunakkan
bagi lingkungan yang lebih luas
b. Tidak bersifat formal, karena beberapa guru yang merasa kurang puas dengan
kurikulum yang ada mencoba mengadakan penelitian dan pengembangan sendiri, dan
mencoba menggunakkan hal yang lain dari yang brelaku
Kebaikan
model demonstrasi antara lain :
a. Sifat kurikulum lebih praktis dan dungsionalis karena langsung dikaitkan
dan diterapkan pada kehisupan nyata.
b. Perubahan atau penyempurnaan kurikulum dalam skala kecil atau aspek
tertentu yang khusus, sedikit sekali untuk ditolak administrator, dibanding
dengan perubahan atau penyempurnaan menyeluruh,
c. Pengembangan kurikulum dalam skala kecil dengan model demonstrasi dapat
mengatasi permasalahan dokumen yang baik namun hasilnya kurang memadai.
d. Guru sebagai narasumber atau yang berinisiatif dapat menjadi pendorong
adnisistrator untuk mengembangkan program baru.
Meskipun dalam
pelaksanaanya tidak menutup kemungkinan terjadi sikap tak acuh dari guru yang
tidak terlibat, namun kondisi tersebut dapat ditekan dengan penalaran dan
sosialisasi tertentu yang dilakukan semua pihak baik pihak aktif maupun pasif.
8.
Model Beauchamp
Menurut
Beauchamp (dalam Sukmadinata, 2005:30 dalam Herdiana,2009), teori kurikulum
secara konseptual berhubungan erat dengan pengembangan teori dan ilmu-ilmu
lain. Hal-hal penting dalam pengembangan teori kurikulum adalah penggunaan
istilah teknis yang tepat dan konsisten, analistis dan klasifikasi pengetahuan,
penggunaan penelitian-penelitian prediktif untuk menambah konsep, generalisasi
atau kaidah-kaidah, sebagai prinsip-prinsip yang menjadi pegangan dalam
menjelaskan fenomena kurikulum. Dalam rekayasa pengembangan kurikulum,
Beauchamp secara kritis mengindetifikasi beberapa keputusan yang mendasari
rekayasa pengembangan kurikulum diantaranya :
a. Menetapkan batas lingkup wilayah yang akan dilibatkan dalam kurikulum tersebut, misal cakupan tingkat sekolah,
kecamatan, kabupaten, propinsi atau alam satu wilayah negara. Penetapan batas
atau lingkup wilayah ini ditentukan oleh wewenang yang dimiliki pengambil
kebijakan serta tujuan dari pengembangan kurikulum.
b. Menyeleksi dan menetapkan anggota yang terlibat dalam pengembangan
kurikulum. Dalam hal ini anggota yang terlibat meliputi para ahli pendidikan
atau kurikulum, para ahli pendidikan dari perguruan tinggi atau sekolah dan
guru-guru terpilih, para profesional dalam sistem pendidikan, serta profesional
lain dan tokoh-tokoh masyarakat.
c. Organisasi dan prosedur perencanaan dalam menetapkan tujuan umum dan tujuan
khusus, memilih isi dan pengalaman belajar, evaluasi serta dalam menentukan
keseluruhan desain kurikulum.
d. Imlementasi kurikulum merupakan program yang paling penting sebab membutuhkan kesiapan guru, siswa, fasilitator
material dan biaya maupun manajerialnya.
e. Evaluasi kurikulum. Ini memiliki 4 cakupan diantaranya : evaluasi
pelaksanaan kurikulum oleh guru, evaluasi desain, evaluasi belajar siswa,
evaluasi dari keseluruhan sistem kurikulum.
9.
Model Rogers
Kurikulum yang dikembangkan
hendaknya dapat mengembangkan individu secara fleksibel terhadap
perubahan-perubahan dengan cara melatih diri berkomunikasi secara
interpersonal.
Langkah-langkah sebagai berikut :
1.
Diadakannya kelompok
untuk dapatnya hubungan interpersonal ditempat yang tidak sibuk.
2.
Kurang lebih dalam satu
minggu peserta mengadakan saling tukar pengalaman, dibawah pimpinan staf
mengajar.
3.
Kemudian diadakan
pertemuan dengan masyarakat yang lebih luas lagi dalam satu sekolah, sehingga
hubungan interpersonal akan menjadi lebih sempurna. Yaitu hubungan hubungan
antara guru dengan guru, guru dengan peserta didik, peserta didik dengan
peserta didik dalam suasanan yang akrab.
4.
Selanjutnya pertemuan
diadakan dengan mengikutsertakan anggota yang lebih luas lagi, yaitu dengan
mengikutsertakan para pegawai administrasi dan orang tua peserta didik. Dalam
situasi yang demikian diharapkan masing-masing person akan akan saling
menghayati dana lebih akrab, sehingga memudahkan berbagai pemecahan problem
sekolah yang dihadapi.
Dengan langkah-langkah tersebut diharapkan
penyusunan kurikulum akan lebih realistis, karena didasari oleh kenyataan yang
diharapkan.
10. Model Wheeler
Menurut Wheeler, pengembangan kurikulum merupakan suatu
proses yang membentuk lingkaran. Proses pengembangan kurikulum terjadi secara
terus-menerus. Wheeler berpendapat proses pengembangan kurikulum terdiri dari
lima fase ( tahap ). Setiap tahap merupakan pekerjaan yang berlangsung secara
sistematis atau berurut. Artinya
kita tidak mungkin dapat menyelesaikan tahapan kedua, manakala tahapan pertama
belum terselesaikan. Namun demikian, manakala setiap tahap sudah selesai
dikerjakan, kita akan kembali pada tahap awal. Demikian proses pengembangan
sebuah kurikulum berlangsung tanpa ujung. Wheeler berpendapat, pengembangan
kurikulum terdiri atas lima tahap, yakni :
1. Menentukan tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum bisa merupakan tujuan yang bersifat normatif yang menagandung tujuan filosofis (aim) atau tujuan pembelajaran umum yang bersifat praktis ( goals ). Sedangkan tujuan khusus adalah tujuan yang bersifat spesifik dan observable (objective) yakni tujuan yang mudah diukur ketercapainnya;
2. Menentukan pengalaman belajar yang mungkin dapat dilakukan oleh siswa untuk mencapai tujuan yang dirumuskan dalam langkah pertama.
1. Menentukan tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum bisa merupakan tujuan yang bersifat normatif yang menagandung tujuan filosofis (aim) atau tujuan pembelajaran umum yang bersifat praktis ( goals ). Sedangkan tujuan khusus adalah tujuan yang bersifat spesifik dan observable (objective) yakni tujuan yang mudah diukur ketercapainnya;
2. Menentukan pengalaman belajar yang mungkin dapat dilakukan oleh siswa untuk mencapai tujuan yang dirumuskan dalam langkah pertama.
3. Menentukan isi atau materi pembelajaran
sesuai dengan pengalaman belajar.
4. Mengorganisasi atau menyatukan pengalaman
belajar.
5. Melakukan
sevaluasi setiap fase pengembangan dan pencapaain tujuan.
Dari
langkah-langkah pengembangan kurikulum yang dikemukakan Wheeler, maka tampak
bahwa pengembangan kurikulum membentuk sebuah siklus (lingkaran). Pada
hakekatnya setiap tahapan pada siklus membentuk sebuah sistem yang terdiri dari
komponen-komponen pengembangan yang saling bergantung satu sama lainnya.
11. Model Nicholls
Model pengembangan kurikulum
Nichools menggunakan pendekatan siklus seperti model Wheeler. Model Nichools
digunakan apabila ingin meyusun kurikulum baru yang diakibatkan oleh terjadinya
Perubahan
situasi. Adapun lima langkah pengembangan kurikulum menurut Nichools, yaitu :
1. Analisa
Situasi.
2. Mennetuan
Tujuan Khusus.
3. Mennetukan
dan mengorganisasi isi pelajaran.
4. Menentukan
dan mengorganisasi metode.
5. Evaluasi
12. Model Dynamic Skilbeck
Menurut Skilbeck, model pengembangan
kurikulum yang ia namakan model Dynamic, adalah model pengembangan kurikulum
pada level sekolah (school Nased Curriculum Development). Skilbeck menjelaskan
model ini diperuntukkan untuk setiap guru yang ingin mengembangkan kurikulum
yang sesuai dengan kebutuhan sekolah. Agar proses pengembangan berjalan dengan
baik, maka setiap pengembangan termasuk guru perlu memahami lima elemen pokok
yang dimulai dari menganalisis sesuatu sampai pada melakukan penilaian.
Skilbeck menganjurkan model pengembangan kurikulum yang ia susun dapat
dijadikan alternatif dalam pengembangan kurikulum tingkat sekolah. Menurut
Skilbeck langkah-langkah pengembangan kurikulum adalah:
1. Menganalisis situasi
2. Memformulasikan tujuan
3. Menyusun program
4. Interpretasi dan omplementasi
5. Monitoring, feedback, penilaian,
rekonstruksi.
KESIMPULAN
Model pengembangan kurikulum yang dapat digunakan
meliputi Model Tyler, Model Taba, Model Olivia, Model Saylor, Alexander dan
Lewis, Model Administrasi, Model Grass Root, Model Demonstrasi, Model
Beauchamp, dan Model Roger. Adapun Model Tyler berdasar pada empat pertanyaan
pendidikan, Model Inverted dari Taba menekankan pada kesederhanaan prosedur, Model
Olivia memberi penekanan pada 12 komponen, Model Saylor, Alexander dan Lewis
menekankan pada 3 tahap pengembangan kurikulum, Model Administrasi rencananya
berasal dari pejabat, Model Grass Root dan Demonstrasi memiliki
kemiripan dengan rencana yang berasal dari pendidik, Model Beauchamp menelaah
berdasarkan langkah-langkah tertentu, dan Model Hubungan Interpersonal dari
Roger menitikberatkan pada kegiatan kelompok campuran, Model Wheeler bertumpu
pada lima fase, Model Nicholls pendekatan siklus dengan lima langkah dan Model
Dynamic pengembangan kurikulum tingkat sekolah bagi guru.
Daftar
Pustaka
Brown, James Dean. 1995. The
Elements of Language Curriculum. Boston
USA:
An International Thomson Publishing Company
Idi, Abdullah. 2009. Pengembangan
Kurikulum Teori dan Praktek. Jakarta: Gaya Media Pratama
Macalister, John. 2010. Language Curiculum Design.
Milton Park: Taylor & Francis
Oliva,
Peter.F. 2005. Developing The Curiculum.
United States:
Pearson Education.
Richards,
Jack C.2005. Curriculum Develelopment in Language Teaching. New York: Cambridge
University Press.
Sanjaya,
Wina. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran.
Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Hamlik,
Oemar. 2005. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta:
PT Bumi Aksara