Kesalehan Sosial dalam Islam
Prolog
Salat
adalah simbol kesalehan religius dalam Islam. Lima kali dalam sehari
kaum muslimin melaksanakannya, nyaris tidak ada satu waktupun yang
tertinggal. Setiap minggu pada hari Jum’at, kaum muslimin selalu
diingatkan dalam khutbah untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan, berlaku
adil dan berbuat kebaikan. Satu bulan penuh di Bulan Ramadhan, kaum
muslimin juga melaksanakan puasa, suatu bentuk ritual keagamaan yang
penting bagi pembentukan spiritualitas, moralitas dan solidaritas
sosial. Bahkan dalam setiap tahun, ribuan kaum muslimin berangkat
menunaikan ibadah haji dan umrah ke baitullah. Suatu ritual keagamaan
yang tidak saja membutuhkan kearifan spiritualitas dan kekuatan fisik,
melainkan juga membutuhkan modal kapital yang banyak.
Idealnya,
beberapa bentuk ritual keagamaan di atas, dapat merefleksi dalam
berbagai kearifan hidup dan mendorong lahirnya kesalehan sosial. Tetapi,
sayangnya bersamaan dengan merebaknya kesadaran keagamaan tersebut,
berbagai praktek ‘kemungkaran dan kezaliman’ justru semakin merajarela.
Ketidakadilan sosial, ketimpangan ekonomi, kejahatan politik,
kesenjangan kaum kaya dan kaum miskin, penindasan dan ekploitasi atas
kaum lemah, muncul menjadi pemandangan keseharian di sekitar kita. Kue
pembangunan bangsa hanya dinikmati oleh segelintir orang, terutama orang
yang punya kekuasaan politik dan punya kekuasaan ekonomi (modal,
kapital), sementara masyarakat lemah semakin termiskinkan dan
termarjinalkan. Lihat saja, orang beragama Islam yang punya kuasa
politik dan kuasa kapital, masih bisa bersenandung dan berpesta makanan
lezat, sementara masyarakat miskin di sekelingnya menderita kelaparan;
dan sementara mereka yang tergusur rumahnya merasa kedinginan di malam
hari dan kepanasan di siang hari.
Oleh
karena itu, agama dalam bentuknya yang bersifat ibadah ritual seperti
salat, puasa dan haji, tidak bisa lagi memberikan pencerahan dan
pembebasan dari segala bentuk kemungkaran dan kezaliman sosial.
Akibatnya, agama yang dahulu diturunkan sebagai kritik atas realitas
social dan budaya yang timpang, kini telah bergeser menjadi semacam
penjaga kursi kekuasaan yang munkar dan zalim. Atau semacam alat
pembenaran atas tindak kebencian, kekerasan, intoleransi, dan penindasan
baru terhadap sesama manusia.
Timbul
pertanyaan, mengapa kesalehan individual tidak mengimbas pada kesalehan
sosial? Mengapa makin banyak kegiatan agama dan dakwah tetapi korupsi,
kekerasan, penganiayaan dan kejahatan makin bertambah banyak? Bagaimana
bentuk hubungan kesalehan individual dengan kesalehan sosial? Berbagai
masalah inilah mungkin yang dapat kita diskusikan dalam makalah singkat
ini.
Dalam
kerangka inilah diperlukan suatu ikhtiar untuk menyegarkan kembali
wacana agama yang mencerahkan dan membebaskan, menciptakan beberapa
kesalehan sosial, serta mempersempit ruang bagi tumbuh dan berkembangnya
kemungkaran dan kezaliman sosial.
Kesalehan Sosial dalam Islam
Kesalehan Sosial dalam Islam
Agama pada dasarnya merupakan upaya manusia untuk melakukan komunikasi ruhani dengan Tuhan. Lebih dari itu, agama merupakan upaya manusia untuk meneladani sifat atau akhlak Tuhan sesuai kapasitas kemanusiaannya (takhallaqa bi akhlaqillah ala taqathil basyariyah). Konsep agama ini mengandung implikasi ajaran yang lebih jauh bahwa tujuan kehidupan manusia adalah untuk beribadah, mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS. 51: 56) Doktrin bahwa hidup harus diorientasikan untuk pengabdian kepada Allah inilah yang menjadi isue utama manusia.
Tetapi kemudian konsep agama ini memiliki arus balik kepada manusia. Agama tidak hanya berdimensi ritual-vetikal (hablun minallah),
melainkan juga mencakup dimensi sosial-horizontal (hablum minan nas).
Agama tidak hanya mengurusi persoalan ibadah-ritual (iman) untuk
pembentukan kesalehan individual (private morality), akan tetapi yang terpenting dari itu adalah mewujudkan iman tersebut dalam pembentukan kesalehan sosial (social morality)-nya.
Sebab, kesalehan individual tidak akan memiliki makna apapun, jika
tidak dapat menciptakan kesalehan dalam kenyataan sosial. Itulah makna
hakiki dari kehidupan beragama. Karena itu, bisa disebut bahwa, sikap
keberagamaan yang tidak melahirkan kesalehan sosial, maka akan
kehilangan maknanya yang hakiki.
Islam
adalah agama yang selalu mempertautkan antara kedua kesalehan tersebut,
yaitu kesalehan yang bersifat religius individual dengan kesalehan yang
bersifat sosial. Dalam Islam orang yang telah mencapai puncak kualitas
keagamaan (taqwa, al-muttaqîn) digambarkan sebagai, di samping
memiliki kesadaran transenden (keimanan), juga memiliki komitmen sosial
untuk membangun masyarakat yang saleh (good society) secara sosial, ekonomi, politik, dan kulturalnya (QS. 2: 1-5, 177).
Perhatian
Islam terhadap kesalehan religius-individual dan kesalehan sosial di
atas, juga dapat ditemukan dalam sejumlah riwayat yang sangat populer,
di antaranya disebutkan bahwa “Barang siapa yang beriman kepada Allah
dan hari akhir, maka hendaklah ia memulyakan tetangga, tamu, dan
hendaklah berkata yang baik-baik atau kalau tidak bisa, hendaklah diam”
(HR. Mutafaq Alayh). Dalam sebuah hadits Qudsi juga di sebutkan bahwa
“Demi Allah, demi Allah, tidaklah beriman… orang yang tetangganya tidak
merasa aman dari kelakuan buruknya… yakni kejahatan dan sikapnya yang
menyakitkan” (HR. Mutafaq Alayh).
Kedua
riwayat di atas, menjelaskan ajaran fundamental Islam bahwa keimanan
harus memberikan implikasi pada kehidupan praksis sosialnya. Bahkan
Islam memandang mereka yang tidak memiliki komitmen dan kepekaan sosial (sense of social crisis)
sebagai membohongkan agama (QS. 107: 1-3). Inilah sekali lagi, hakikat
makna iman, yaitu memberikan arti terhadap makna sosialnya. Dengan kata
lain, iman akan kehilangan arti pentingnya, jika tidak memiliki
implikasi dalam kehidupan praksis sosialnya. Itulah sebabnya, dalam
Al-Quran iman—tidak kurang dari 36 kali—selalu dikaitkan dengan amal
saleh (misalnya: QS. 2: 62; 5: 69; 6: 54; 18: 88; 19: 60, dan ayat
lainnya). Kaitan terkuat dari hubungan semantik Al-Quran, mengikat shâlih (kesalehan) dan îmân sebagai kesatuan yang tak terpisahkan. Seperti bayangan mengikuti bentuk bendanya, di mana ada îmân di situ ada shâlihat (amal shaleh).
Dengan
demikian, kesalehan sosial dalam Islam sesungguhnya lebih merupakan
aktualisasi atau perwujudan iman dalam praksis kehidupan sosial (a faith of social action).
Indikator kesalehan sosial tersebut adalah adanya penyempitan ruang
gerak bagi tumbuh-berkembangnya kemungkaran dan kezaliman sosial, baik
dalam bentuk ketidakadilan politik dan distribusi kekayaan, kesenjangan
kelas kaya dan miskin, maupun dalam bentuk penindasan dan eksploitasi
manusia atas manusia (exploitation man by human being).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar