Menggelitik, saat membaca sebuah tulisan pembaca di harian Republika
yang memaknai kesalehan sosial. Di dalam tulisan tersebut ada kalimat
yang menarik bahwa jika kita membantu seorang nenek menyeberangi jalan
raya, sesungguhnya perbuatan itu bukan suatu amal saleh, melainkan amal
kebaikan. Dengan argumentasi, perbuatan kita akan menjadi saleh dari
contoh tersebut bila memahami adakah nenek tersebut akan menjadi lebih
sehat ketika sampai di rumah, bagaimanakah nenek tersebut bila tidak ada
yang menjaganya, adakah setiap hari dia dapat memperoleh makan, lalu
kita memberikan perhatian sepenuhnya untuk nenek tersebut sebagaimana
yang kita perhatikan. Artinya, kita tidak sebatas menolong nenek
menyeberangi jalan, tetapi memperhatikan lebih untuk membantu kesudahan
nenek tersebut dalam menjalani kehidupan di lingkungan keluarganya.
Amal perbuatan kita dapat dikategorikan amal kesalehan yang bersifat
sosial bila mengamalkan seperti contoh tersebut. Jadi, kesalehan sosial
bermakna sebagai perbuatan yang dapat mendatangkan kebajikan sesudah
suatu perbuatan yang bersifat sosial itu dilaksanakan.
Beberapa pendapat mengatakan, saat seseorang bisa mentransformasikan
kebaikan dirinya untuk disebar ke orang lain maka dia sedang melakukan
kesalehan sosial. Pendapat lain mengatakan, kesalehan sosial berarti
saat dia hadir di sebuah kawasan, orang di sekitarnya merasakan manfaat
kehadirannya. Penegasan bahwa kesalehan sosial adalah pengejawantahan
kesalehan individu.
Momentum Ramadhan, bagi kita selaku pendamping yang memegang
nilai-nilai luhur sebuah program, seharusnya tidak hanya dijadikan
sebagai ajang membangun kesalehan individu, tetapi juga untuk
mengokohkan nilai kesalehan sosial. Mengapa demikian? Perlu diketahui,
berdasarkan jumlah penduduk, Indonesia berada pada urutan ke-4 sebagai
negara berpenduduk besar setelah RRC, India, dan Amerika Serikat. Dengan
jumlah penduduk 241.452.952 jiwa, Indonesia memiliki mobilitas sosial
yang cukup tinggi dengan berbagai latar dan setting sosial yang cukup beragam.
Secara sosial, kondisi semacam ini sungguh menguntungkan. Aset
kependudukan yang cukup besar membawa kemungkinan untuk menjadikan
Indonesia sebagai negara dengan daya dukung yang amat kuat dalam
berbagai ranah. Namun, kenyataan menunjukkan, aset sosial ternyata tidak
selalu memberikan efek yang membanggakan. Bahkan, tak jarang membawa
beban “peradaban” yang tak pernah kunjung teratasi. Angka kemiskinan
semakin merangkak, kasus korupsi pun kian melambung tinggi.
Dalam konteks demikian, ada yang harus kita refresh dalam memaknai
Ramadhan, dimana puasa sejatinya tidak hanya mencegah makan dan minum,
tetapi juga harus mampu menyentuh nilai keluhuran hakiki. Perut yang
kosong dan tenggorokan yang kering sebagai bagian dari aktivitas
berpuasa harus mampu menumbuhkan sikap empati terhadap saudara-saudara
kita yang selalu didera rasa lapar dan haus. Mereka yang hidup terpuruk
dalam kenistaan zaman terus-terusan menjadi beban sosial bangsa. Maka
tidak berlebihan apabila kemiskinan di negeri ini bagaikan mata rantai
yang (nyaris) tak pernah bisa diputus dari generasi ke generasi.
Maka tidak bisa dipungkiri jika banyak kalangan mengatakan program
pengentasan kemiskinan kurang berdampak terhadap penurunan angka
kemiskinan. Hal ini karena kita berbuat kebaikan tetapi tidak berdampak
positif sesudahnya. Sepertinya telah menolong, tetapi menjadikan yang
ditolongnya tak mampu untuk berubah secara positif (baik).
Menanggapai hal tersebut, kita sebagai pendamping, dengan besar hati
harus bisa menerima dan tidak menutup mata atapun berdalih dengan
berbagai alasan. Justru seharusnya kita berterimakasih.
Sebagai catatan juga, beberapa program bantuan modal telah digulirkan
oleh pemerintah untuk kelompok usaha menengah ke bawah, syaratnya
adalah yang menerima modal betul-betul wiraswasta. Modal pun disesuaikan
dengan perkembangan usaha. Akan tetapi, program ini banyak tidak mem-follow up
(tindak lanjut), seperti, bagaimana manajemen wirausahanya,
pemasarannya, kualitas produknya dan sebagainya. Hal ini hanya mengulang
modal tanpa memiliki strategi usaha yang dapat berkembang. Walhasil,
usaha kelompok menengah ke bawah mengalami stagnasi dan kebingungan.
Dipahami bahwa sesungguhnya konsep keberpihakan kepada masyarakat
sudah dilakukan, tetapi tidak berdampak positif kesudahannya; usaha yang
dibantu dengan permodalan tidak mengalami kemajuan yang berarti.
Pemerintah telah beramal baik secara sosial, tetapi tidak dapat disebut
sebagai berbuat kesalehan sosial.
Bukan bermaksud mencela pada kegelapan, akan tetapi mari kita
introspeksi diri kita, bagaimana momentum Ramadhan menjadi ajang bagi
kita untuk mengokohkan kesalehan personal sekaligus mengasah ketajaman
kesalehan sosial kita, sehingga ruh pendidikan kritis yang melekat di
program dalam rangka memanusiakan manusia dan mengubah sikap/perilaku
bisa terwujud. Wallahualam bi shawab. [Kalbar]
Editor: Nina Firstavina
Sumber http://www.p2kp.org/wartadetil.asp?mid=4997&catid=2&
Tidak ada komentar:
Posting Komentar