Holistic Education – Apa itu?
|
Written by Dr. Tri Budhi Sastrio
|
Friday, 07 January 2011 14:03
|
Pendidikan
di Indonesia merupakan satu sektor yang paling banyak mendapat perhatian.
Bukan karena pentingnya sektor ini tetapi karena semua permasalahan tampak
menyatu di dalam sektor ini dan sampai sekarang permasalahan tersebut
jangankan terurai dan dapat diselesaikan, bahkan usaha pemetaan masalahnya
pun masih belum menunjukkan tanda-tanda akan segera usai. Semua usaha
sebenarnya telah dilakukan, hanya saja tidak jarang usaha tersebut dilakukan
setengah hati atau bahkan tidak jarang menggunakan cara yang sangat tidak
elegan seperti mengedepankan sebuah jargon baru dengan isi yang sebenarnya
sudah lama ada. Akibatnya tentu saja mudah ditebak, persoalan yang ada
bukannya diselesaikan tetapi justru ditambah.
Persoalan
lain yang juga tidak kalah merisaukannya adalah munculnya anggapan karena
sebuah jargon berhasil dikedepankan lengkap dengan argumentasi akademisnya
maka persoalan pendidikan dianggap telah selesai. Padahal anggapan semacam
ini tidak kalah berbahayanya dibandingkan dengan permasalahan yang ada dalam
dunia pendidikan itu sendiri. Jargon penting, motto penting, penentuan visi
dan misi juga penting. Tetapi jika hanya berhenti sampai di sini lalu beranggapan
bahwa semuanya ’beres’ maka tentu saja salah besar. Persoalan lama dalam
dunia pendidikan bukan saja tidak terselesaikan – dan mungkin memang tidak
akan pernah terselesaikan - tetapi sejumlah persoalan baru ternyata
terus menerus ditambahkan.
Pendidikan
Holistik Dunia
Sebagai
bagian dari filsafat pendidikan, pendidikan holistik didasarkan pada premis
bahwa setiap orang mampu menemukan jati diri, makna, dan tujuan hidup dalam
kaitannya dengan masyarakat, alam, dan nilai-nilai kemanusiaan seperti perhatian,
kasih sayang dan perdamaian. Pendidikan holistik bertujuan menggali
dari setiap orang potensi jati diri dan kemampuan untuk mengasihi sesama
ditambah dengan kecintaan untuk terus menerus belajar dan mempelajari ilmu
pengetahuan. Definisi ini diyakini berasal dari Ron Miller, orang yang
dikenal memprakarsai jurnal Holistic Education Review. Pada
perkembangan berikutnya istilah ini seringkali dikaitkan dengan tipe
pendidikan yang lebih demokratis dan berwajah kemanusiaan.
Robin
Ann Martin (2003) mengatakan, seperti yang dicatat dalam situs http://en.wikipedia.org/wiki/Holistic_education,
bahwa pada tingkatan yang lebih umum, apa yang membedakan pendidikan
holistik dengan jenis pendidikan lainnya ternyata terletak pada tujuannya,
pada perhatiannya terhadap pengalaman pembelajaran, dan pada kesepakatan
meletakkan pendidikan dalam kaitannya dengan nilai-nilai utama kemanusiaan
dalam lingkungan pembelajaran.
Scott
H. Forbes dan Robin Ann Martin dalam sebuah makalah – berjudul What
Holistic Education Claims About Itself: An Analysis of Holistic Schools’
Literature - yang dipresentasikan pada Konferensi Tahunan Para Peneliti
Pendidikan Amerika yang diselenggarakan pada bulan April 2004 di San Diego,
California, menegaskan bahwa jika seseorang mencoba merunut asal muasal
pendidikan holistik pasti akan menemui kesulitan karena konsep ini pada
dasarnya sudah ada sejak zaman dulu dan dapat ditemukan dalam hampir semua
konsep pendidikan yang salah satu daya pendorongnya adalah sikap religius
kemanusiaan.
Tetapi
juga tidak dapat disangkal bahwa nama-nama seperti Jean-Jacques Rousseau, Ralph Waldo Emerson, Henry
Thoreau, Bronson Alcott, Johann Pestalozzi, Friedrich Fröbel, and Francisco
Ferrer juga berkontribusi besar dalam pembentukan konsep pendidikan
holistik. Jejak-jejak pemikiran mereka yang tersebar dalam banyak karya –
sastra, filsafat, pendidikan, dan kajian humaniora lainnya – dapat dilacak
perannya dalam konsep ini. Para teoris yang lebih modern seperti Rudolf
Steiner, Maria Montessori, Francis Parker, John Dewey,
John Caldwell Holt, George
Dennison Kieran Egan, Howard
Gardner, Jiddu Krishnamurti, Carl Jung,
Abraham
Maslow, Carl Rogers, Paul
Goodman, Ivan Illich, and Paulo
Freire, suka atau tidak suka, juga harus diakui mempunyai andil dalam
pendidikan holistik, meskipun apa yang dikenal sebagai pendidikan holistik
ketika itu memang belum mencapai bentuknya yang sekarang.
Bentuk
pendidikan holistik mulai muncul pada era tahun 1960-an, ketika pergeseran
paradigma kebudayaan mulai terjadi, Berikutnya pendidikan holistik dalam
ranah psikologi muncul pada era 1970-an. Era ini ditutup dengan sebuah
konferensi interrnasional tentang pendidikan holistik yang diselenggarakan
oleh universitas California di San Diego pada bulan Juli 1979. Pemrakarsa
konferensi internasional ini adalah Mandala Society dan Pusat
Eksplorasi SDM.
Perkembangan
berikutnya dapat dilihat pada sejumlah institusi pendidikan – dasar, menengah
atau tinggi – yang menerapkan konsep bahwa pendidikan holistik berkaitan
langsung dengan masalah hubungan antar sesama, dengan tanggung jawab, dan
dengan penghormatan terhadap kehidupan itu sendiri.
Pendidikan
Holistik PH
Ada
sejumlah institusi pendidikan tinggi yang menyatakan – secara berterang atau
tidak berterang – bahwa konsep dasar yang digunakan adalah konsep holistik.
Salah satu diantaranya adalah institusi pendidikan tinggi yang berlokasi di
dekat Jakarta.
Menurut
tokoh penting di balik insitusi pendidikan ini, pertanyaan fundamental yang
harus ditanyakan dalam kaitannya dengan bidang pendidikan adalah ’siapa yang
memiliki anak-anak?’ atau ’siapa yang menjadi pemilik anak-anak-anak muda?’
Jawaban terhadap pertanyaan ini menjadi penting karena berdasarkan jawaban
inilah orientasi pendidikan seseorang akan terungkap dengan sendirinya.
Di
negara sosialis atau komunis semua orang menjadi milik partai. Anak-anak pun
menjadi milik partai. Bahkan ketika berada di rumah pun anak-anak menjadi
milik partai atau milik negara. Maka dari itu tidak mengherankan jika
anak-anak dibesarkan dan dididik berdasarkan sistem yang telah ditentukan
oleh negara.
Di
Indonesia – sebuah negara yang mempunyai falsafah Pancasila – semua orang
termasuk anak-anak dipersepsikan menjadi milik masyarakat. Maka dari itu
semua orang dididik sesuai dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat. Dan
karena masyarakat Indonesia sekarang ini berada dalam era yang dikendalikan
oleh bisnis dan industri – termasuk di dalamnya bisnis dan industri dunia maya
– maka masyarakat tampaknya menjadi puas jika anak-anak mereka memperoleh
pendidikan yang memampukan generasi muda untuk masuk dan berkompetisi dalam
dunia yang seperti ini.
Pada
bagian lain dunia – dunia timur - anak-anak dianggap sebagai milik orang tua,
tepatnya miliknya sang ayah. Dalam masyarakat yang seperti ini kesulitan
muncul karena keinginan masing-masing ayah dapat berbeda satu sama lainnya.
Akibatnya dapat ditebak dengan mudah. Ada beragam keinginan, ada beragam
kepentingan. Yang satu dapat saja berbeda secara ekstrim dengan yang lain,
sehingga pendidikan menciptakan peluang untuk hidup yang lebih seimbang
menjadi sangat kecil atau bahkan tidak ada.
Tampak
jelas bahwa tiga pandangan yang telah disebut ini menyebabkan orientasi
pendidikan tidak holistik. Orientasi dapat dikembalikan ke jalur holistik
jika setiap orang percaya dan yakin bahwa anak-anak milik Tuhan. Jika
anak-anak milik Tuhan, maka otoritas yang dimiliki orang tua bukan berasal
dari orang tua itu sendiri, melainkan berasal dari Tuhan. Maka dari itu orang
tua tidak dapat seenak-perutnya mengatur dan memaksanakan kehendak pada
anak-anak. Anak-anak bukan milik mereka, tetapi milik Tuhan, karenanya hanya
berdasarkan perintah Tuhan-lah seharusnya anak-anak dibimbing dan memperoleh
pendidikan. Pertanyaanya, perintah Tuhan yang mana? Tentu saja perintah Tuhan
dalam kitab suci.
Sampai
di sini tentu saja tidak ada masalah. Semua orang Indonesia sepakat bahwa
salah satu sumber panduan pembinaan kehidupan adalah kitab suci. Dunia
pendidikan harus melandaskan dirinya pada kitab suci. Tetapi hal yang
sederhana ini menjadi masalah, manakala realitas menyatakan bahwa mereka yang
menggebu-gebu menyuarakan masalah pendidikan holistik justru melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan isi kitab suci. Atau dengan kata lain apa
yang terjadi bila mereka yang meyakini bahwa dunia pendidikan yang baik
adalah pendidikan yang holistik, dan pendidikan yang holistik adalah
pendidikan yang berusaha menghasilkan manusia-manusia yang kehidupannya
seimbang, dan manusia yang hidupnya seimbang selalu dituntun oleh kitab suci,
justru melakukan manipulasi perbuatan yang tidak sesuai dengan isi kitab
suci? Apakah seperti potret buram dunia pendidikan tinggi kita yang sekarang
ini?
Jadi
disinilah kunci permasalahannya. Keteladanan – sebuah kata yang semakin
langka ditindaklanjuti oleh banyak orang yang berkecimpung dalam dunia
pendidikan. Sayang memang, tetapi itulah faktanya!
Dr.
Tri Budhi Sastrio
Universitas Pelita Harapan - Surabaya |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar