Sebenarnya, topik ini merupakan isu lama. Tetapi ia
sangat relevan untuk dibahas. Apalagi kalau disadari bahwa tema-tema
yang dibahas dalam blog LANGIT BIRU ini sangat luas, menjangkau berbagai
masalah.
Bertahun-tahun silam, Dr. Hidayat Nur Wahid (HNW) pernah melontarkan kritik terhadap corak pemikiran ensiklopedik.
Maksudnya, seorang pemikir, cendekiawan, atau ilmuwan mengkaji berbagai
tema-tema berbeda. Ia tidak fokus atau spesialis di bidang tertentu,
tetapi membahas banyak masalah. Pemikiran seperti itu beliau sebut
sebagai “ilmu wartawan”, lawan dari ilmu spesialis. Mungkin, Ustadz
Hidayat sudah melupakan hal ini, tetapi alhamdulillah ia masih teringat.
Sebenarnya, HNW mengarahkan kritiknya kepada Nurcholis Madjid yang menulis banyak essay
dengan topik-topik berbeda, mulai dari masalah pemikiran, teologis,
spiritual, sejarah, politik, sosial, teknologi, sampai pernah dia
membahas materi genetika. Waktu itu HNW masih satu pemikiran dengan Dr.
Daud Rasyid dalam mengkritisi pemikiran-pemikiran Nurcholis. Tapi
seiring perkembangan, HNW cenderung lunak dengan ide-ide Nurcholis
Madjid.
Soal sikap anti terhadap pemikiran Nurcholis Madjid, ya kita sepakat. Alhamdulillah, bi ni’matillah. Tetapi menyebut corak pemikiran ensiklopedik
(jika boleh disebut demikian) sebagai “ilmu wartawan” adalah suatu
kesalahan serius. Meskipun seseorang pro dengan pengembangan ilmu secara
spesialisasi, tidak berarti berpikir holistik (meliputi berbagai bidang kajian) itu keliru.
Dari sisi keragaman tema-tema yang dipilih
Nurcholish Madjid, hal itu sudah tepat. Hanya substansi pemikirannya
yang sekuler, pluralis, dan liberalis (SEPILIS), itulah yang keliru.
Bahkan saya mendapati sebuah kesimpulan, bahwa untuk membangun
kebangkitan peradaban Islam kembali, kita membutuhkan lebih banyak lagi
para pemikir, cendekiawan, atau ilmuwan yang bersifat holistik, bukan
melulu terkurung dalam batas-batas kesempitan spesialisasi ilmu.
Disini ada sekian
banyak alasan yang bisa dijadikan hujjah untuk mendukung pentingnya
corak pemikiran holistik, yaitu sebagai berikut:
PERTAMA: Kalau Anda pelajari
Al Qur’an, maka Anda akan mendapati bahwa Kitab Allah ini membahas
berbagai macam bidang kehidupan manusia. Disana ada masalah: ibadah,
tauhid, sejarah, hukum, muamalah, bahasa, seni sastra, matematika,
sains, sosiologi, komunikasi, pendidikan, dan sebagainya. Sangat banyak
bidang-bidang kajian itu. Justru aneh, kalau seseorang membaca Al Qur’an
tetapi tidak menangkap pelajaran seperti itu.
KEDUA: Kalau Anda membaca dua kitab hadits yang paling utama, yaitu Shahih Bukhari dan Shahih Muslim,
maka Anda akan mendapati disana sangat banyak bab-bab pembahasan
ilmiah. Mulai dari topik ilmu, thaharah, iman, shalat, zakat, shaum,
haji, kisah, akhlak, biografi Nabi dan Shahabat, fadhilah amal, sifat
syurga, neraka, Hari Kiamat, muamalah, jual-beli, peperangan, dan
sebagainya. Sangat banyak dan menjangkau topik-topik yang luas.
Pertanyaannya, apakah keluasan jangkauan itu terjadi secara kebetulan,
atau karena memang fithrah manusia mendukung ke arah itu? Tidak mungkin,
semua itu terjadi secara kebetulan.
KETIGA: Menurut penelitian
para neurologis (ahli syarat), otak manusia sejak lahir telah disiapkan
untuk memahami berbagai macam bidang ilmu. Secara potensial hal itu
sudah disediakan, tetapi secara realitas kerap kali yang berkembang
hanya bagian-bagian tertentu saja dari otak manusia. Kalau tidak
percaya, coba tanyakan kepada para ahli syaraf itu! Bahkan sampai ada
penelitian tentang otak kanan dan otak kiri yang masing-masing bagian mewakili kecenderungan emosional dan kemampuan intelektual tertentu.
KEEMPAT: Kalau Anda mencermati
kehidupan manusia secara individu, kehidupan manusia secara sosial
(komunitas), kehidupan hewan dan tumbuhan di alam, serta sistem
mikroskopis dan makrokosmos yang ada di alam ini, Anda akan mendapati
bahwa tidak ada satu pun makhluk yang independen secara mutlak. Semua
makhluk itu terikat dalam sistem inter koneksi (saling terhubung).
Artinya, hakikat kehidupan kita ini bersifat komplek, tidak tunggal,
tidak mandiri secara mutlak. Dengan demikian, memahami kehidupan ini
juga membutuhkan perangkat-perangkat ilmu pengetahuan yang komplek pula.
Kalau seseorang hanya berkutat secara fanatik dengan spesialisasinya,
dia akan kehilangan banyak kesempatan.
KELIMA: Dalam manajemen
modern, banyak pihak telah lama menerapkan sistem pendekatan integral.
Misalnya dalam industri perangkat keras komputer. Disana sebuah pabrik
komputer tidak hanya merekrut ahli-ahli teknik komputer saja, tetapi
mereka juga membutuhkan ahli desain, ahli bahasa, ahli marketing,
peneliti sosial, sampai ahli psikologi. Dengan pendekatan yang bersifat
menyeluruh (integral), diharapkan keputusan-keputusan manajemen yang
diambil lebih dekat kepada realitas konsumen yang dihadapi.
KEENAM: Sejak lama Islam telah
melahirkan ahli-ahli agama multi disipliner. Dalam bidang ini ada Ibnu
Jarir At Thabari, Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Adz Dzahabi, Ibnu
Katsir, As Suyuthi, Ibnu Hajar Al Asqalani, Ibnu Khaldun, Al Ghazali,
dan sebagainya rahimahumullah jami’an. Kemampuan ilmiah mereka
tidak melulu satu bidang saja, tetapi menjangkau banyak bidang, seperti
Tafsir, Hadits, Fiqih, Shirah, Tarikh, Sastra Arab, adat-istiadat Arab,
dll. Ibnu Jarir misalnya, beliau pernah ingin mendiktekan kisah manusia
sejak jaman Nabi Adam As sampai jamannya. Ketika ditanya, “Berapa
halaman yang dibutuhkan?” Kata beliau, “50 ribu halaman.” Maka
murid-murid beliau mengeluh, “Kalau begitu, habis umur kami hanya untuk
mencatat kisah itu.” Akhirnya Ibnu Jarir meringkas “hanya” 5000 halaman
saja. Padahal Ibnu Jarir lebih dikenal sebagai seorang ahli Tafsir.
KETUJUH: Islam juga telah
melahirkan banyak ilmuwan-ilmuwan multi disilpiner yang menguasai ilmu
agama, filsafat, matematika, sains, seni, sejarah, geografi, dan
lain-lain. Ilmuwan seperti Ibnu Rusyd, Al Khawarizmi, Al Kindi, Al
Jabar, dll. mereka memahami berbagai cabang ilmu sekaligus. Di antara
mereka ada yang menguasai bidang optik, navigasi, astronomi, kedokteran,
biologi, arsitektur, dan seterusnya. Luar biasa kenyataan itu!
KEDELAPAN: Pemahaman bidang-bidang ilmiah secara holistik akan membawa kepada kebijaksanaan (al hikmah)
dan keputusan yang matang. Justru sikap fanatik kepada spesialisasi dan
menolak keragaman perspektif, hal itu akan membawa kepada kesempitan
pandangan dan kesimpulan yang mentah. Hal itulah yang menyebabkan Ummat
Islam dalam masa berabad-abad terjerumus dalam pertikaian karena egoisme
pemikiran yang bersifat sektoral. Fanatisme madzhab berawal dari
pemikiran sempit yang tidak mau menengok perspektif lain.
KESEMBILAN: Pada hakikatnya,
tidak ada satu pun bidang ilmu yang bersifat spesialis murni. Misalnya,
ada seorang doktor yang melakukan penelitian serius tentang akidah
Syi’ah. Dia tidak akan sampai kepada suatu hasil karya yang matang jika
tidak didukung oleh perangkat-perangkat ilmu lain. Misalnya, dia
membutuhkan ilmu bahasa, informasi pustaka, rujukan kamus, ilmu sejarah,
ilmu terminologi, perdebatan fiqih, perdebatan akidah, dan sebagainya.
KESEPULUH: Dakwah Islam akan
lebih berhasil kalau para dai memiliki wawasan multi disipliner. Dengan
wawasan itu dia lebih mampu beradaptasi dengan berbagai macam manusia,
lingkungan, dan kasus. Menghadapi orang gunung berbeda dengan menghadapi
orang pesisir; menghadapi para eksekutif berbeda dengan kaum manula;
bahkan orang gunung di Bromo berbeda dengan di Merapi, Dieng, Tangkuban
Perahu, dan lainnya. Seseorang yang fanatik spesialisasi, kemungkinan
besar dakwahnya akan gagal. Dia tidak siap menghadapi keragaman.
Demikianlah alasan-alasan yang bisa
dikemukakan. Singkat kata, sebutan “ilmu wartawan” bagi pengembangan
pemikiran yang bersifat holistik adalah suatu kesalahan besar. Jika
sebutan “ilmu wartawan” itu diterima, maka kita akan menuduh Al Qur’an,
As Sunnah, para ulama, para pakar Islam, dan lain-lain sebagai “ilmu
wartawan”. Dan ini adalah kesalahan besar!
Kondisi Riil di Masyarakat
Kalau mau jujur, banyak tokoh-tokoh Muslim di
Indonesia yang tidak bekerja sesuai spesialisasinya. Bidang yang
dipelajari A, tetapi mereka bergelut di dunia B, C, atau D. Dalam dunia
profesi juga demikian. Misalnya sarjana Pertanian, tetapi bekerja
sebagai marketing bank; sarjana lulusan ekonomi menjadi ustadz; sarjana
lulusan Syariah menjadi birokrat. Nah, hal-hal seperti itu banyak
terjadi, karena memang pemberdayaan SDM di kalangan kita kurang. Saya
masih ingat, dulu seorang AS. Hikam, dia sarjana sastra dan doktor di
bidang politik, menjadi peneliti LIPI, sekaligus politisi PKB. Di jaman
Mbah Dur, AS. Hikam pernah menjadi Menteri Riset dan Teknologi,
sekaligus Ketua BPPT. Jelas itu sebuah lompatan yang sangat dramatis.
“Tak sedap di mato,” kata orang Padang.
Seorang ikhwan di Depok, pernah mendengar
ucapan Walitota Depok, Nurmahmudi Ismail. Katanya, Pak Nur pernah
mengakui bahwa menjadi Walikota itu jauh lebih sulit daripada menjadi
seorang Menteri (Kehutanan). Nah, ini salah satu ilustrasi bagus.
Seorang Menteri Kehutanan hanya membidangi satu masalah saja, sedangkan
seorang Walikota menghadapi segala macam masalah rakyatnya. Sejak dari
masalah anak diare sampai tender proyek, dari soal pembangunan masjid
sampai pembuangan sampah, dari masalah gelandangan sampai kunjungan
pejabat dari Pusat. Komplek sekali coverage area-nya. Untuk menjadi seorang kepala daerah, sangat dibutuhkan pengetahuan dan kemampuan multi disipliner.
Saya pernah mendengar sebuah pandangan.
Sebagian orang tidak setuju dengan corak studi spesialis. Lho, kok
begitu? Katanya, kalau spesialis cara berpikirnya menjadi sempit.
Seorang sarjana agama akan keberatan kalau disuruh membuat proposal
bisnis; seperti sarjana teknik mesin akan stress kalau disuruh
mengajar anak-anak TK. Masalah-masalah di masyarakat seringkali
membutuhkan kemampuan multi disipliner, tidak melulu spesialisasi.
Saya sendiri mendapati banyak contoh di sekitar. Seorang teman sarjana IAIN, tetapi mahir ngoprek motor. Teman yang lain pegawai administrasi, tetapi pintar memasak, sampai membuat cake
yang rumit-rumit. Seorang sahabat, kuliah di Hama Penyakit Tanaman
(HPT), tetapi sehari-hari bekerja di proyek penelitian sipil dan
konstruksi. Saudara sendiri lulusan SMA jurusan Biologi, tetapi bekerja
di bidang pengelasan mesin-mesin pembangkit listrik. Dia biasa berurusan
dengan tower-tower, pipa besar, baja tebal, tabung-tabung, dsb. Bahkan
ada saudara yang semula bekerja di Petrokimia, kemudian menjadi asisten
pelatih sepak bola. Ada juga seorang kenalan dulu, dia sarjana Teknik
Industri, tetapi terjun berbisnis jualan kerupuk. Sebenarnya, kalau mau
disisir lebih teliti, sangat banyak contoh para “pelompat pagar” itu.
Sekat-sekat spesialisasi tidak menjadi halangan untuk berkiprah di
bidang yang diminatinya. Saya sendiri, sejak kecil tidak pernah sekolah
agama, ketika kuliah juga mengambil studi umum, tetapi kemudian menjadi
penulis.
Sekedar tambahan, lihatlah kerja besar Dr.
Harun Yahya. Dalam usahanya melawan dominasi filsafat materialisme di
bidang sains, khususnya berkaitan dengan teori Evolusi Darwin, beliau
mengerahkan sekian banyak disiplin ilmu. Kalau melihat studi
kesarjanaannya, beliau adalah lulusan Jurusan Seni di Universitas Mimar
Sinan Turki. Tetapi dalam menghadapi teori Darwin, beliau mengkaji sains
Biologi, Paleontologi, Genetika, Geografi, Sejarah, filsafat, bahasa,
dan tentu saja Al Qur’an dan Tafsir. Menurut ibu beliau, Harun Yahya di
waktu mudanya sangat gigih. Dia bisa sangat lama membaca berbagai
referensi sains, termasuk yang berbahasa Inggris. Dulu Imam Al Ghazali rahimahullah
menggunakan pemikiran berbagai macam sekte-sekte akidah untuk membantah
filsafat Yunani. Salah satu karya monumental beliau adalah Tahafutul Falasifah (kerancuan ilmu filsafat). Keahlian dan wawasan multi disipliner kerap kali dibutuhkan untuk melahirkan karya besar.
Apakah Spesialisasi Ilmu Tidak Perlu?
Tentu saja, spesialisasi sangat dibutuhkan. Ia adalah bagian dari upaya tadabbur
(pendalaman) terhadap materi ilmu sedalam-dalamnya. Hanya saja,
kebutuhan terhadap spesialisasi itu jangan didasari oleh sikap arogansi,
misalnya karena merasa lebih spesialis dari lainnya. Selain itu,
kebutuhan kepada spesialisasi juga jangan mematikan konsep berpikir
holistik yang diajarkan oleh Al Qur’an, As Sunnah, dan sesuai bakat
sistem syaraf manusia itu sendiri.
Kalau mau jujur, spesialisasi adalah kebutuhan
wajar manusia. Setiap kita menghadapi masalah-masalah yang bersifat
praktis, pasti membutuhkan spesialisasi. Misalnya seorang profesor yang
ahli di bidang pemikiran, filsafat, sejarah, dan Sosiologi. Saat dia
menghadapi masalah komputer rusak, mesin mobil macet, talang bocor,
pompa air ngadat, listrik konslet, pakaian robek, dan
sebagainya. Saat itu dia pasti butuh spesialis yang bisa membantunya
bekerja secara teknis. Tidak mungkin rasanya, untuk menghadapi semua itu
kita hanya bermodal teori-teori yang bersifat global. Jadi,
spesialisasi itu kebutuhan riil manusia, khususnya ketika berhadapan
dengan masalah-masalah praktis.
Sebuah qudwah mulia dari Nabi shallallah ‘alaihi wa sallam.
Beliau ini Nabinya orang-orang beriman yang dikarunia kemampuan multi
disipliner. Beliau adalah seorang Nabi, Rasul, imam Shalat, Mufti,
rujukan konseling, pelayan Ummat, pemimpin negara, diplomat, ahli
strategi, panglima perang, seorang suami, ayah, mertua, sahabat,
tetangga, dan sebagainya. Tetapi saat beliau mendapati masalah-masalah
praktis, seperti memasak roti, menjahit baju, memperbaiki sandal, dan
sebagainya, beliau bertindak sebagai seorang spesialis.
Bagaimana Posisi “Ilmu Wartawan”?
Sebagian wartawan ada yang sekedar menyampaikan
apapun informasi menarik yang mereka temukan. Tetapi wartawan-wartawan
senior tertentu memiliki wawasan pengetahuan yang tinggi. Mereka selain
berwawasan luas, juga mampu mengaitkan satu persoalan dengan persoalan
lain. Selain itu, mereka memiliki kepedulian terhadap catatan sejarah
dari waktu ke waktu. Itu kalau benar-benar wartawan yang mumpuni,
jurnalis sejati yang mengabdi di lapangan pendidikan publik melalui
informasi-informasi dan opini sosial. Wartawan seperti ini di Indonesia
tergolong langka, misalnya Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis.
Secara Syar’i, posisi ilmu jurnalistik untuk
membangun opini positif tentang Islam dan kaum Muslimin sangatlah
tinggi. Ia tidak sesederhana yang dibayangkan. Posisi ilmu seperti itu
setara dengan posisi Asbabun Nuzul dalam ilmu-ilmu Al Qur’an.
Hal ini membutuhkan kajian yang mendalam yang terlalu panjang jika
disatukan disini. Mudah-mudahan suatu nanti ia bisa dibahas. Amin.
Ilmu jurnalistik jika hanya digunakan untuk
tujuan komersial, bisnis, atau industri, nilainya tidak seberapa. Tetapi
jika ia tulus digunakan untuk membangun masyarakat yang beriman dan
bertakwa, maka ia merupakan Jihad agung yang dibutuhkan setiap peradaban
Islam. Hal itulah yang selama ini diemban oleh jurnalis-jurnalis Islam
yang mukhlis. Alhamdulillah Rabbil ‘alamin.
Upaya Membangun Pemikiran Holistik
Mungkin tema ini terlalu panjang kalau dibahas
disini, ia bisa menjadi sebuah buku tersendiri. Soekarno dulu pernah
bertutur tentang kisah romantisnya dengan Ibu Hartini. Kata Soekarno,
kalau kisah romantis itu diceritakan, mungkin bisa menjadi sebuah buku
tersendiri. Tentu, saya tidak bermaksud menduplikasi cara berkelit ala
Soekarno. Kalau ada, ya sedikit. (He he he…bisa aja membela diri).
Berikut ini saran-saran untuk membangun metode berpikir holistik:
(1) Dalam upaya ini sebenarnya
tidak ada teori khusus, sebab berpikir holistik itu sudah sesuai
fithrah manusia. Al Qur’an dan As Sunnah telah di-setting sesuai fithrah
manusia. Hal ini merupakan salah satu potensi yang memudahkan setiap
Muslim untuk berpikir terbuka dan luas. Alhamdulillah.
(2) Anda harus memahami bahwa
kehidupan ini sangat komplek, tidak satu warna, tidak satu bentuk, tidak
satu corak. Seperti Anda lihat lingkungan di sekitar Anda, disana ada
meja, kursi, lemari, piring, gelas, buku, kertas, pensil, boneka, mainan
anak, lampu, tikar, pakaian, sepatu, radio, TV, komputer, kucing,
semut, cicak, tanaman, rumput, dan sebagainya. Situasinya komplek! Nah,
begitu pula dengan dunia ilmu. Khazanah ilmu sangat luas. Hingga Imam
Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, “Setiap bertambah
ilmuku, semakin tahu aku akan kejahilanku.” Dalam Surat Al Kahfi ayat
109 disebutkan, ilmu Allah itu sangat luas. Andai lautan menjadi tinta
dan pohon-pohon menjadi pena, lalu ditambahkan sejumlah itu lagi, ia
tidak akan bisa menuliskan semua kalimat-kalimat Allah. Konsekuensinya,
kalau Anda hanya berpikir dari satu arah saja, enggan melihat arah-arah
yang lain, maka sangat banyak kenyataan hidup yang terlewat dari hadapan
Anda.
(3) Ketika berhadapan dengan keragaman ilmu-ilmu, Anda jangan merasa minder atau merasa cepat letih
untuk memahami semua itu. Kalau Allah hadapkan Anda pada suatu
persoalan, berarti Anda telah dipercaya untuk memahami persoalan itu.
Bukan hanya ilmu yang terhampar dalam buku-buku, atau di majlis-majlis
ilmu, bahkan setiap retakan dinding, gerakan kaki semut, garis-garis
kayu, semilir angin, sampai butiran-butiran kerikil yang terinjak kaki,
semua itu bisa menjadi sumber pengetahuan. Andai Anda memiliki
kesempatan untuk merenungi, lakukanlah. Nikmati, nikmati, dengan niatan
menyelami ayat-ayat Allah Ta’ala (ayat kauniyyah). Mungkin
waktu itu informasi tersebut belum terlihat manfaatnya, tetapi suatu
saat nanti Anda akan mensyukurinya. Bukalah pintu-pintu pikiran Anda
untuk merekam ilmu-ilmu kauniyyah seluas-luasnya. Hal ini sungguh sangat
bermanfaat, bila telah tiba momentumnya. Alhamdulillah.
(4) Cobalah lebih menghargai
ilmu pengetahuan, baik berupa tulisan, perkataan, atau gambar. Seperti
disebutkan dalam Al Qur’an, kalau kita bersyukur, maka Allah akan
menambahkan nikmat-Nya. (Surat Ibrahim, 7). Kalau ada orang berbicara,
seandainya isinya penting, jangan segan untuk mendengar, meskipun dari
orang yang diremehkan sekalipun. Kalau ada tulisan yang bermanfaat,
jangan segan untuk membaca, hingga dari kertas-kertas pengumuman yang
ditempel. Kadang kita mendapatkan informasi-informasi berharga dari
potongan-potongan kertas yang terabaikan.
(5) Alangkah baik kalau setiap
kita memiliki buku catatan kecil (semacam agenda) untuk mencatat
informasi-informasi penting yang diperoleh, baik yang dicari secara
sengaja atau tidak. Ali bin Abi Thalib Ra. mengatakan, “Ikatlah ilmu itu
dengan mencatatnya!” Nasehat beliau ini sangat penting sekali. Para
ilmuwan rata-rata memiliki catatan pribadi untuk mencatat apapun yang
menurut mereka penting. Meskipun saat ini era digital, tidak berarti
tulisan manual (manuskrip) itu menjadi tidak berguna. Tidak, ia tetap
sangat berguna. Apalagi dalam Surat Al Alaq disebutkan, “‘Allamal insana bil qalam” [(Allah) mengajarkan ilmu kepada manusia dengan pena].” Sampai Hari Kiamat, pena ini tetap dibutuhkan.
(6) Ketika berhadapan dengan
lautan ilmu pengetahuan, ada dua pendekatan yang bisa Anda tempuh:
Pertama, mengumpulkan manfaat; Kedua, menjadi seorang ilmuwan Muslim.
Kalau Anda hanya ingin mengumpulkan manfaat informasi, maka kumpulkan
saja informasi yang baik-baik dan bermanfaat, lalu abaikan segala macam
informasi yang buruk, tercela, atau tidak penting. Kalau Anda merasa
suatu sumber ilmu tidak berguna atau merugikan, segeralah berpaling
sejauh-jauhnya. Baik juga kalau Anda berdoa, “Rabbi zidni ilman nafi’an”
(wahai Rabb-ku tambahkan kepadaku ilmu yang bermanfaat). Tetapi kalau
Anda mau jadi seorang ilmuwan Muslim, harus berani berhadapan dengan
konflik pemikiran, konfrontasi ideologi, sampai ikhtilaf yang
rumit-rumit. Pilihan kedua itu lebih berat, tetapi derajatnya di sisi
Allah tentu lebih mulia. Dalam hadits Tirmidzi disebutkan, “Inna ‘izhamil jaza’i ma’a ‘izhamil bala’” (sesungguhnya besarnya balasan itu setara dengan besarnya ujian). Syaikh Al Albani rahimahullah
pernah mengatakan, bahwa di masa mudanya beliau rajin membaca, baik
bacaan yang halal maupun haram. (Tentu maksudnya, bukan menyuruh Anda
membaca bacaan-bacaan haram, tetapi dalam proses kehidupan seorang
‘alim, konflik pemikiran itu sering terjadi).
(7) Hindari sikap fanatik kepada siapapun, selain kepada Allah dan Rasul-Nya. Imam Malik bin Anas rahimahullah
mengatakan, “Setiap perkataan bisa diambil atau ditolak, selain
perkataan penghuni pusara ini.” Kata beliau sambil menunjuk ke makam
Nabi Saw di dekat Masjid Nabawi. Ukuran kebenaran ialah timbangan
Kitabullah dan Sunnah, bukan fanatisme. Kalau ada orang yang bermaksud
mendoktrin agar Anda menjadi manusia fanatik, katakan kepadanya, “Saya
tidak mengibadahi Fulan atau Fulan, tetapi mengibadahi Allah Al Wahid.”
Fanatik kepada madrasah, kitab, tokoh, atau apapun tidak dibernarkan.
Kita boleh memilih salah satu ijtihad ulama’, dengan pertimbangan hal
itu yang paling mampu kita lakukan. Meskipun begitu, kita tidak boleh
meyakini ijtihad itu sebagai satu-satunya kebenaran, lalu menutup pintu
bagi datangnya kebenaran dari arah lain. Bukankah sudah masyhur
perkataan Imam Syafi’i, “Jika suatu hadits telah dinyatakan shahih, maka
dialah madzhabku.”
(8) Dalam membangun pemikiran
ini, kita harus bertumpu kepada keimanan kepada Al Qur’an dan
hadits-hadits shahih. Kitabullah dan Sunnah inilah yang akan memberikan
kerangka kepada kita untuk menyelami lautan ilmu-ilmu Allah Ta’ala.
Tanpa keimanan kepada Kitabullah dan As Sunnah, biarpun Anda hafal isi Encyclopedia Britannica
yang puluhan jilid itu, sampai titik-komanya, hal itu tidak ada
artinya. Untuk apa Anda mengumpulkan informasi sedemikian banyak, jika
ia tidak berguna untuk menuntun hati Anda bersyukur kepada Allah?
Kitabullah dan Sunnah akan menjadi kerangka, agar ujung dari semua
kiprah ilmiah ini menjadi: Tasyakur billah! Dalam Al Qur’an, “Dan Dialah (Allah) yang telah menjadikan bagimu pendengaran, penglihatan, dan hati. Amat sedikit dari kalian yang bersyukur.” (Al Mu’minuun: 78).
(9) Untuk mendalami sesuatu,
kita harus memiliki fondasi jiwa yang kokoh. Jika jiwa kita kokoh, mau
menggeluti bidang apapun, insya Allah akan paripurna (dalam ukuran
manusia). Untuk itu kita butuh tarbiyah ruhiyah. Seperti saran
para Wali Songo: membaca Al Qur’an dengan memahami maknanya, shalat
malam dijalankan, berkumpul dengan orang Shalih, puasa Sunnah di siang
hari, serta tekun berdzikir di malam hari. Saya tambahkan lagi: Berdoa
kepada Allah, bertaubat kepada-Nya, senang membantu sesama Muslim, dan
sebagainya. Dengan cara demikian, Anda akan dianugerahi kekuatan jiwa.
Insya Allah.
(10) Selanjutnya, kita perlu
mengamalkan ilmu-ilmu yang telah diperoleh. Mungkin sulit mengamalkan
seluruh ilmu itu, tetapi semoga Allah memberi kita taufik untuk
mengamalkan sebagiannya dan Dia memaafkan kita atas ilmu-ilmu yang belum
diamalkan dengan baik. Allahumma amin. Dan tentu saja, ilmu-ilmu itu
juga perlu dibagi kepada Ummat Islam, dengan tanpa pamrih, dengan
komitmen menyampaikan kebenaran, dan tidak takut selain hanya
kepada-Nya. Jangan pelit untuk berbagi kebaikan. Contohlah Dr. Harun
Yahya, semoga Allah selalu menjaganya, dia tidak segan membagikan
ilmunya secara free charge ke seluruh dunia (tidak memungut royalti). Begitu pula situs Al Meshkat, mereka berletih-letih membangun Al Maktabah As Syamilah
yang luar biasa itu, lalu membagikannya gratis ke seluruh dunia. Banyak
para ulama di Timur Tengah yang membiarkan buku-bukunya tersebar
meluas, tanpa pelit mempertanyakan hak royaltinya. Imam Syafi’i rahimahullah
pernah mengatakan, “Aku berharap seandainya ilmuku tersebar seperti
angin, dan orang tidak perlu tahu dari mana ia berasal.” Contohlah
manusia-manusia budiman ini, jangan menjadi manusia koret dalam
ilmu, sehingga Allah pun enggan membukakan keluasan khazanah ilmu-Nya.
Jadilah hamba yang mulia dengan melayani ilmu dan kebenaran di jalan
Allah Ta’ala.
(11) Bagaimanapun tubuh kita membutuhkan istirahat dan syaraf-syaraf kita membutuhkan pereda ketegangan (refreshing).
Ibarat mesin yang terus dipacu, tanpa kenal henti, ia akan cepat rusak.
Sebagai manusia, kita memiliki keterbatasan-keterbatasan fisik,
sehingga butuh istirahat di sela-sela kepenatan dan segala keletihan.
Hiburan yang cerdas dan sehat sangat membantu melemaskan ketegangan.
Sebuah nasehat berharga yang pernah disampaikan seseorang, “Tubuhmu ini
satu-satunya yang kau miliki, maka jagalah ia sebaik-baiknya.” Boleh
kita beristirahat, berhibur, atau menikmati jamuan rizki Allah. Semua
itu halal, selama tidak berlebih-lebihan. Dalam Al Qur’an, “Dan makanlah kalian dan minumlah, namun janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”
(Al A’raaf: 31). Kalau mau jujur, sumber-sumber hiburan itu sangat
banyak. Hingga senyuman anak kita, tawa lepas mereka, atau kepolosan
kata-katanya, ia bisa menjadi hiburan yang menggembirakan hati.
Alhamdulillah. Bahkan obrolan ringan di jalan, di atas kendaraan, di
depan warung, di tempat wudhu, dan sebagainya, hal itu juga bisa menjadi
sumber hiburan. Tidak berlebihan jika Nabi mengajarkan agar kita murah
senyum kepada sesama Muslim, menebar salam, berkata-kata yang baik,
menyambung shilaturahim, dan sebagainya. Semua itu tanpa disadari adalah
pereda berbagai ketegangan yang menyelimuti diri.
Selanjutnya, saat kita berbicara tentang
pendidikan generasi, ajarkanlah konsep berpikir holistik kepada
anak-anak. Jangan membatasi kebebasan mereka untuk merambah pengetahuan
seluas mungkin, selama ia baik, terpuji, dan bermanfaat. Yakinlah,
fithrah mereka telah disiapkan untuk itu. Bahkan berpikir holistik akan
memudahkan mereka memahami Kitabullah dan Sunnah. Adapun spesialisasi
tetap diperlukan, sebab bagaimanapun kita akan menghadapi
masalah-masalah teknis yang dicapai dengan spesialisasi. Konsep
berpikirnya holistik, tetapi masing-masing tetap memiliki spesialisasi
di bidang-bidang tertentu. Seperti yang saya alami, ketika berbicara
soal media, penerbitan, atau bisnis tetap berpikir spesialis.
Demikian yang bisa disampaikan. Semoga hal ini
bermanfaat bagi Anda, saya, keluarga kami, kita semua, dan kaum
Muslimin. Allahumma amin. Saran, kritik, masukan, insya Allah akan
diterima dengan lapang hati. Boleh melalui e-mail, boleh juga lewat
komentar di blog ini. Bila Allah ijinkan, mungkin kita bisa bertemu muka
suatu saat nanti. Mohon doanya selalu, agar Allah memudahkan upaya ini.
Tidak ada yang bisa diandalkan pertolongan dan perlindungannya, selain
Allah Ta’ala. Alhamdulillah Rabbil ‘alamin.
Wallahu a’lam bisshawab.
Ardhillah, 5 November 2008.
AM. Waskito.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar