BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Manusia
dilahirkan di dalam dunia sosial di mana mereka harus bergaul dengan
manusia lain yang di sekitarnya. Sejak awal hidupnya dia sudah bergaul
sosial dengan terdekat, meskipun bentuk masih satu arah-orang tua
berbicara, dan bayi hanya mendengarnya saja. Dalam perkembangan hidup
selanjutnya, dia mulai memperoleh bahasa setapak demi setapak. Pada saat
yang sama, dia juga sudah dibawa ke dalam kehidupan sosial di mana
terdapat rambu-rambu perilaku kehidupan. Rambu-rambu ini diperlukan
karena meskipun manusia itu dilahirkan bebas, tetap saja dia harus hidup
bermasyarakat. Ini berarti bahwa dia harus pula menguasai norma-norma
sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Sebagian dari
norma-norma ini tertanam dalam bahasa sehinngga kempetensi anak tidak
hanya terbatas pada apa yang dinamakan pemakaian bahasa (language usage)
tetapi juga penggunaan bahasa (language use). Dengan kata lain, anak
harus pula menguasai kemampuan pragmatik.
Suatu
informasi pada dasarnya mensyaratkan kecukupan (sufficient) dalam
struktur internal informasi itu sendiri sehingga orang yang diajak
komunikasi dapat memahami pesan dengan tepat. Persoalan akan muncul,
bagaimana jika informasi itu hanya dapat dipahami dari konteksnya.
Deiksis adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan keniscayaan
hadirnya acuan ini dalam suatu informasi. Menariknya, meski deiksis ini
erat kaitannya dengan konteks berbahasa, namun tidak masuk dalam kajian
pragmatik karena sifatnya yang teramat penting dalam memahami makna
semantik. Dengan kata lain deiksis merupakan ikhtiar pragmatik untuk
memahami makna semantik.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang yang di sampaikan di atas, ada beberapa permasalah yang disampaikan.
1. Apa itu deiksis?
2. Ada berapa jenis deiksis?
1.3 TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan latar belakang serta rumusan masalah di atas, ada beberapa manfaat yang ingin dicapai.
1. Mengetahui apa itu deiksis.
2. Mengetahui jenis-jenis deiksis.
1.4 MANFAAT PENULISAN
· Mahasiswa
Bagi
mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia, makalah ini dapat digunakan sebagai
referensi atau bahan penunjang kegiatan perkulliahan. Makalah ini dapat
mambantu kesulitan mahasiswa dalam menemukan referensi yang tepat
mengenai kajian Pragmatik, khususnya Deiksis.
· Dosen
Bagi
dosen, makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian untuk
memberikan pengajaran tentang Pragmatik, khusunya tentang Deiksis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 KAJIAN PRAGMATIK
Istilah
pragmatik pertama-tama digunakan oleh filosof kenamaan Charles Morris
(1938). Filosof ini memang mempunyai perhatian besar terhadap ilmu yang
mempelajari system tanda (semiotik). Dalam semiotik ini, dia membedakan
tiga konsep dasar yaitu sintaktik, semantik, dan pragmatik. Sintaktik
mempelajari hubungan formal antara tanda-tanda. Semantik mempelajari
hubungan antara tanda dengan objek. Pragmatik mengkaji hubungan antara
tanda dengan penafsir (interpreters). Tanda-tanda yang dimaksud di sini
adalah tanda-tanda bahasa bukan yang lain.
Berbeda
dengan Charles Morris, Carnap (1938) seseorang filosof dan ahli logika
menjelaskan bahwa pragmatik mempelajari konsep-konsep abstrak tertentu
yang menunjukkan pada agents. Dengan perkataan lain, pragmatic
mempelajari hubungan konsep yang merupakan tanda dengan pemakai tanda
tersebut. Selanjutnya, ahli lainkan Montague mengatakan bahwa pragmatic
adalah Studi yang mempelajari idexical atau deictic. Dalam pegertian
yang terakhir ini, pragmatic berkaitan dengan teori rujukan/deiksis,
yaitu pemakaian bahasa yang menunjuk pada rujukan tertentu menurut
pemakainya.
Levinson
(1983) dalam bukunya yang berjudul Pragmatics, memberikan beberapa
batasan tentang pragmatik. Beberapa batasan yang dikemukakan Levinson
antara lain mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian hubungan antara
bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa. Dalam
batasan ini berarti untuk memahami pemakaian bahasa kita dituntut
memahami pula konteks yang mewadahi pemakaian bahasa tersebut. Batasan
lain yang dikemukakan Levinson mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian
tentang kemampuan pemakai bahasa untuk mengaitkan kalimat-kalimat dengan
konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat itu.
Leech
(1983:6(dalam Gunawan 2004:2)) melihat pragmatik sebagai bidang kajian
dalam bidang linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik.
Keterkaitan ini disebut semantisisme, yaitu melihat semantik sebagai
bagian dari pragmatik dan komplementarisme atau melihat semantik dan
pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi. Pragmatik dibedakan
menjadi dua hal:
- Pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan, ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu pragmatik sebagai bidang kajian linguistik dan pragmatik sebagai salah satu segi di dalam bahasa.
- Pragmatik sebagai sesuatu yang mewarnai tindakan mengajar
Pragmatik
pada dasarnya memperhatikan aspek-aspek proses komunikatif (Noss dan
Llamzon, 1986). Menurut Noss dan Llamzon, dalam kajian pragmatik ada
empat unsur pokok, yaitu hubungan antar peran, latar peristiwa, topik
dan medium yang digunakan. Pragmatik mengarah kepada kemampuan
menggunakan bahasa dalam berkomunikasi yang menghendaki adanya
penyesuaian bentuk (bahasa) atau ragam bahasa dengan faktor-faktor
penentu tindak komunikatif. Faktor-faktor tersebut yaitu siapa yang
berbahasa, dengan siapa, untuk tujuan apa, dalam situasi apa, dalam
konteks apa, jalur yang mana, media apa dan dalam peristiwa apa sehingga
dapat disimpulkan bahwa pragmatik pada hakekatnya mengarah pada
perwujudan kemampuan pemakai bahasa untuk menggunakan bahasanya sesuai
dengan faktor-faktor penentu dalam tindak komunikatif dan memperhatikan
prinsip penggunaan bahasa secara tepat.
Pragmatik
adalah kajian tentang penggunaan bahasa sesungguhnya. Pragmatik
mencakup bahasan tentang deiksis, praanggapan, tindak tutur, dan
implikatur percakapan. Deiksis adalah kata yang tidak memiliki referen
yang tetap ( tetapi berubah-ubah ) seperti kata saya, sini, sekarang.
Misalnya dalam dialog antara A dan B, saya secara bergantian mengacu
kepada A atau B. Kata sini mengacu kepada tempat yang dekat dengan
penutur, kata sekarang mengacu kepada waktu ketika penutur sedang
berbicara.
Praanggapan
mengacu kepada makna tersirat yang ” mendahului“ makna kalimat yang
terucapkan ( tertulis ). Makna ini dapat ditangkap dan disimpulkan oleh
pendengar ( pembaca ). Kalau kita mendengar ujaran “ibunya sedang
sakit”, maka “makna lain” yang bisa ditangkap, yaitu ‘dia mempunyai
ibu.’ Inilah yang disebut praanggapan. Untuk mengecek kebenarannya, kita
dapat menggabungkan keduanya dengan menempatkan praanggapan di depan
ujaran tadi menjadi: “Dia mempunyai ibu, ibunya sedang sakit”. Tetapi,
praanggapan itu akan janggal jika ditempatkan di belakang.
Praanggapan
berbeda dengan pengartian. Yang disebut pengartian yaitu “makna lain”
yang “mengikuti” suatu ujaran. Misalnya kalau kita mendengar ujaran “ini
bunga”, maka sebenarnya ada sejumlah makna yang menyertai makna ujaran
itu yaitu “pantas wangi” (ini) bukan kerbau. Kalau digabungkan akan
menjadi seperti ini:
“ini bunga. Pantas wangi.”
“ini bunga. Bukan kerbau.”
Dalam
kehidupan sehari-hari pengartian banyak sekali didahului kata “Artinya,
….”, “itu berarti,….” Jadi, semacam simpulan atau tambahan pengertian
(atau makna) atas ujaran yang mendahuluinya.
Tindak
tutur adalah suatu ujaran sebagai suatu satuan fungsional dalam
komunikasi. Di dalam teori tindak tutur, ujaran itu mempunyai dua jenis
makna yaitu:
§ Makna
proposisional (disebut juga makna lekusioner). Makana ini merupakan
makna harafiah dasar dari ujaran yang disampaikan (dibawa) oleh kata
atau struktur yang dikandung oleh ujaran itu.
§ Makna
ilokusioner (daya ilokusioner). Makna ini merupakan efek yang dipunyai
oleh teks tertulis atau ujaran terhadap pembaca atau pendengar. Misalnya
kalimat “Saya haus.” Makna proposisionalnya adalah apa yang dikatakan
tentang keadaan fisik penutur.
Daya
ilokusioner adalah efek yang diinginkan penutur yang dipunyai oleh
ujaran terhadap pendengar. Ujaran di atas misalnya mungkin dimaksud
untuk meminta sesuatu untuk diminum. Sebuah tindak tutur adalah kalimat
atau ujaran yang mempunyai makna proposisional dan daya ilokusioner.
Sebuah tindak tutur yang dibentuk secara tidak langsung kadang-kadang
disebut tindak tutur tidak langsung, seperti tindak tutur dalam contoh
di atas (“saya haus”). Tindak tutur ini sering dirasakan lebih sopan
untuk membangun tindak tutur tertentu, misalnya permintaan penolakan.
Implikatur
percakapan mengacu kepada jenis “kesepakatan bersama” antara penutur
dan lawan tuturnya, kesepakatan dalam pemahaman, bahwa yang dibicarakan
harus saling berhubungan. Hubungan atau keterkaitan itu sendiri tidak
terdapat pada masing-masing ujaran. Artinya, makna keterkaitan itu tidak
diungkapkan secara harafiah pada ujaran itu. Dalam hal itu Soemarmo
(dalam Dardjowidjojo, 1988) member contoh cakapan berikut:
A: “Kamu masih di sini.”
B: “Bus ke Muntilan baru saja lewat.”
Kalau
hanya melihat kedua ujaran A dan B itu kita tidak memperoleh
keterkaitan, karena A berbicara (mungkin dengan keterkejutan atau
keheranan masih di sini, di Jogja) tentang B yang ada di depannya,
sedangkan B berbicara tentang bus yang ke Muntilan. B tidak perlu heran,
karena ada kebenaran bahwa “B ada di sini”. Meskipun A berujar
demikian. Mengapa? Karena B menyadari bahwa A tahu betul seharusnya B
sudah berangkat ke Muntilan (dan tidak “di sini”). Sebaliknya, A juga
tidak perlu heran karena B mengucapkan kalimat itu karena kalimat B tadi
merupakan alasan mengapa dia belum berangkat (dan arena itu masih di
sini). Jadi, implikatur percakapan itu dapat dikatakan sejenis makna
yang terkandung dalam cakapan yang dipahami oleh masing-masing
partisipan.
2.2 PENGERTIAN DEIKSIS
Deiksis berasal dari kata Yunani kuno yang berarti “menunjukkan
atau menunjuk”. Dengan kata lain informasi kontekstual secara leksikal
maupun gramatikal yang menunjuk pada hal tertentu baik benda, tempat,
ataupun waktu itulah yang disebut dengan deiksis, misalnya he, here,
now. Ketiga ungkapan itu memberi perintah untuk menunjuk konteks
tertentu agar makna ujaran dapat di pahami dengan tegas.Tenses atau kala
juga merupakan jenis deiksis. Misalnya then hanya dapat di rujuk dari
situasinya.
Deiksis
didefinisikan sebagai ungkapan yang terikat dengan konteksnya.
Contohnya dalam kalimat “Saya mencintai dia”, informasi dari kata ganti
“saya” dan “dia” hanya dapat di telusuri dari konteks ujaran.
Ungkapan-ungkapan yang hanya diketahui hanya dari konteks ujaran itulah
yang di sebut deiksis.
Lavinson
(1983) memberi contoh berikut untuk menggambarkan pentingnya informasi
deiksis. Misalnya anda menemukan sebuah botol di pantai berisi surat di
dalamnya dengan pesan sebagai berikut :
(1) Meet me here a week from now with a stick about this big.
Pesan
ini tidak memiliki latar belakang kontekstual sehingga sangat tidak
informatif. Karena unkapan deiksis hanya memiliki makna ketika
ditafsirkan oleh pembaca. Pada dasarnya ungkapan deiksis ini masuk dalam
ranah pragmatik. Namun karena penemuan makna ini sangat penting untuk
mengetahui maksud dan kondisi yang sebenarnya maka pada saat yang sama
masuk dalam ranah semantik. Dengan kata lain dalam kasus ungkapan
deiksis, proses pragmatik dalam mencari acuan masuk dalam semantik.
Umumnya kita dapat mengatakan ungkapan deiksis merupakan bagian yang
mengacu pada ungkapan yang berkaitan dengan konteks situasi, wacana
sebelumnya, penunjukan, dan sebagainya.
Dalam
KBBI (1991: 217), deiksis diartikan sebagai hal atau fungsi yang
menunjuk sesuatu di luar bahasa; kata tunjuk pronomina, ketakrifan, dan
sebagainya.
Deiksis
adalah kata-kata yang memiliki referen berubah-ubah atau
berpindah-pindah (Wijana, 1998: 6). Menurut Bambang Yudi Cahyono (1995:
217), deiksis adalah suatu cara untuk mengacu ke hakekat tertentu dengan
menggunakan bahasa yang hanya dapat ditafsirkan menurut makna yang
diacu oleh penutur dan dipengaruhi situasi pembicaraan.
Deiksis
dapat juga diartikan sebagai lokasi dan identifikasi orang, objek,
peristiwa, proses atau kegiatan yang sedang dibicarakan atau yang sedang
diacu dalam hubungannya dengan dimensi ruang dan waktunya, pada saat
dituturkan oleh pembicara atau yang diajak bicara (Lyons, 1977: 637 via
Djajasudarma, 1993: 43).
Menurut
Bambang Kaswanti Purwo (1984: 1) sebuah kata dikatakan bersifat deiksis
apabila rujukannya berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung
siapa yang menjadi pembicara, saat dan tempat dituturkannya kata-kata
itu. Dalam bidang linguistik terdapat pula istilah rujukan atau sering
disebut referensi, yaitu kata atau frase yang menunjuk kata, frase atau
ungkapan yang akan diberikan. Rujukan semacam itu oleh Nababan (1987:
40) disebut deiksis (Setiawan, 1997: 6).
Pengertian
deiksis dibedakan dengan pengertian anafora. Deiksis dapat diartikan
sebagai luar tuturan, dimana yang menjadi pusat orientasi deiksis
senantiasa si pembicara, yang tidak merupakan unsur di dalam bahasa itu
sendiri, sedangkan anafora merujuk dalam tuturan baik yang mengacu kata
yang berada di belakang maupun yang merujuk kata yang berada di depan
(Lyons, 1977: 638 via Setiawan, 1997: 6).
Berdasarkan
beberapa pendapat, dapat dinyatakan bahwa deiksis merupakan suatu
gejala semantis yang terdapat pada kata atau konstruksi yang acuannya
dapat ditafsirkan sesuai dengan situasi pembicaraan dan menunjuk pada
sesuatu di luar bahasa seperti kata tunjuk, pronomina, dan sebagainya.
Perujukan atau penunjukan dapat ditujukan pada bentuk atau konstituen
sebelumnya yang disebut anafora. Perujukan dapat pula ditujukan pada
bentuk yang akan disebut kemudian. Bentuk rujukan seperti itu disebut
dengan katafora.
Fenomena
deiksis merupakan cara yang paling jelas untuk menggambarkan hubungan
antara bahasa dan konteks dalam struktur bahasa itu sendiri. Kata
seperti saya, sini, sekarang adalah kata-kata deiktis. Kata-kata ini
tidak memiliki referen yang tetap. Referen kata saya, sini, sekarang
baru dapat diketahui maknanya jika diketahui pula siapa, di tempat mana,
dan waktu kapan kata-kata itu diucapkan. Jadi, yang menjadi pusat
orientasi deiksis adalah penutur.
2.3 JENIS-JENIS DEIKSIS
Deiksis
ada lima macam, yaitu deiksis orang, deiksis tempat, deiksis waktu,
deiksis wacana dan deiksis sosial (Nababan, 1987: 40). Selain itu
Kaswanti Purwo (Sumarsono: 2008;60) menyebut beberapa jenis deiksis,
yaitu deiksis persona, tempat, waktu, dan penunjuk. Sehingga jika
digabungkan menjadi enam jenis deiksis. Paparan lebih lengkap sebagai
berikut.
a. Deiksis Persona
Istilah
persona berasal dari kata Latin persona sebagai terjemahan dari kata
Yunani prosopon, yang artinya topeng (topeng yang dipakai seorang pemain
sandiwara), berarti juga peranan atau watak yang dibawakan oleh pemain
sandiwara. Istilah persona dipilih oleh ahli bahasa waktu itu disebabkan
oleh adanya kemiripan antara peristiwa bahasa dan permainan bahasa
(Lyons, 1977: 638 via Djajasudarma, 1993: 44). Deiksis perorangan
(person deixis); menunjuk peran dari partisipan dalam peristiwa
percakapan misalnya pembicara, yang dibicarakan, dan entitas yanng lain.
Deiksis
orang ditentukan menurut peran peserta dalam peristiwa bahasa. Peran
peserta itu dapat dibagi menjadi tiga. Pertama ialah orang pertama,
yaitu kategori rujukan pembicara kepada dirinya atau kelompok yang
melibatkan dirinya, misalnya saya, kita, dan kami. Kedua ialah orang
kedua, yaitu kategori rujukan pembicara kepada seorang pendengar atau
lebih yang hadir bersama orang pertama, misalnya kamu, kalian, saudara.
Ketiga ialah orang ketiga, yaitu kategori rujukan kepada orang yang
bukan pembicara atau pendengar ujaran itu, baik hadir maupun tidak,
misalnya dia dan mereka.
Kata
ganti persona pertama dan kedua rujukannya bersifat eksoforis. Hal ini
berarti bahwa rujukan pertama dan kedua pada situasi pembicaraan (Purwo,
1984: 106). Oleh karenanya, untuk mengetahui siapa pembicara dan lawan
bicara kita harus mengetahui situasi waktu tuturan itu dituturkan.
Apabila persona pertama dan kedua akan dijadikan endofora, maka
kalimatnya harus diubah, yaitu dari kalimat langsung menjadi kalimat
tidak langsung. (Setiawan, 1997: 8).
Bentuk
pronomina persona pertama jamak bersifat eksofora. Hal ini dikarenakan
bentuk tersebut, baik yang berupa bentuk kita maupun bentuk kami masih
mengandung bentuk persona pertama tunggal dan persona kedua tunggal.
Berbeda
dengan kata ganti persona pertama dan kedua, kata ganti persona ketiga,
baik tunggal, seperti bentuk dia, ia, -nya maupun bentuk jamak, seperti
bentuk sekalian dan kalian, dapat bersifat endofora dan eksofora. Oleh
karena bersifat endofora, maka dapat berwujud anafora dan katafora
(Setiawan, 1997: 9).
Deiksis
persona merupakan deiksis asli, sedangkan deiksis waktu dan deiksis
tempat adalah deiksis jabaran. Menurut pendapat Becker dan Oka dalam
Purwo (1984: 21) bahwa deiksis persona merupakan dasar orientasi bagi
deiksis ruang dan tempat serta waktu.
Deiksis
perorangan menunjukan subjektivitas dalam struktur semantik. Deiksis
perorangan hanya dapat ditangkap jika kita memahami peran dari
pembicara, sumber ujaran, penerima, target ujaran, dan pendengar yang
bukan dituju atau ditarget. Dengan demikian kita dapat mengganti kata
ganti dan kata sifat pada contoh (6) dengan contoh (7) atau (8) dalam
proses ujaran.
(6) “give me your hand”
(7) “give him your hand”
(8) “I give him my hand”
Berikutnya,
penting kiranya melihat jumlah jamak yang berbeda maknanya ketika kita
terapkan pada orang pertama dan orang ketiga. Pada orang pertama, bukan
berarti multiplikasi dari pembicara. Juga, “we” dapat menjadi inklusif
atau eksklusif dari yang ditunjuk. Sistem kata ganti berbeda dari bahasa
yang satu ke bahasa yang lain karena ragam perbedaan ditambahkan
seperti jumlah dua, jenis kelamin, status sosial, dan jarak sosial.
Lebih-lebih, istilah keturunan juga menunjuk pada deiksis. Misalnya,
dalam bahasa Aborigin Australia ada istilah yang digunakan untuk
seseorang yang merupakan bapak pembicara dan merupakan kakek pembicara.
Bapak pembicara yang bukan kakek pembicara akan ditunjukan dengan
istilah yang lain.
Jika
ditinjau dari segi artinya, pronomina adalah kata yang dipakai untuk
mengacu ke nomina lain. Jika dilihat dari segi fungsinya, dapat
dikatakan bahwa pronomina menduduki posisi yang umumnya diduduki oleh
nomina, seperti subjek, objek, dan -dalam macam kalimat tertentu- juga
predikat. Ciri lain yang dimiliki pronomina ialah acuannya dapat
berpindah-pindah karena bergantung pada siapa yang menjadi
pembicara/penulis, yang menjadi pendengar/pembaca, atau siapa/apa yang
dibicarakan (Moeliono, 1997: 170).
Dalam
bahasa Inggris dikenal tiga bentuk kata ganti persona, yaitu persona
pertama, persona kedua dan persona ketiga (Lyons, 1997: 276 via
Setiawan, 1997: 9). Bahasa Indonesia juga mengenal tiga bentuk persona
seperti dalam bahasa Inggris (P&P, 1988: 172 via Setiawan, 1997: 9).
Pronomina
persona adalah pronomina yang dipakai untuk mengacu ke orang. Pronomina
dapat mengacu pada diri sendiri (persona pertama), mengacu pada orang
yang diajak bicara (persona kedua), atau mengacu pada orang yang
dibicarakan (persona ketiga) (Moeliono, 1997: 172).
- Pronomina Persona Pertama
Dalam
Bahasa Indonesia, pronomina persona pertama tunggal adalah saya, aku,
dan daku. Bentuk saya, biasanya digunakan dalam tulisan atau ujaran yang
resmi. Bentuk saya, dapat juga dipakai untuk menyatakan hubungan
pemilikan dan diletakkan di belakang nomina yang dimilikinya, misalnya:
rumah saya, paman saya. Pronomina persona pertama aku, lebih banyak
digunakan dalam situasi non formal dan lebih banyak menunjukkan
keakraban antara pembicara/penulis dan pendengar/pembaca. Pronomina
persona aku mempunyai variasi bentuk, yaitu -ku dan ku-. Sedangkan untuk
pronomina persona pertama daku, pada umumnya digunakan dalam karya
sastra.
Selain
pronomina persona pertama tunggal, bahasa Indonesia mengenal pronomina
persona pertama jamak, yakni kami dan kita. Kami bersifat eksklusif;
artinya, pronomina itu mencakupi pembicara/penulis dan orang lain
dipihaknya, tetapi tidak mencakupi orang lain dipihak
pendengar/pembacanya. Sebaliknya, kita bersifat inklusif; artinya,
pronomina itu mencakupi tidak saja pembicara/penulis, tetapi juga
pendengar/pembaca, dan mungkin pula pihak lain.
- Pronomina Persona Kedua
Pronomina
persona kedua tunggal mempunyai beberapa wujud, yakni engkau, kamu
Anda, dikau, kau- dan -mu. Pronomina persona kedua engkau, kamu, dan
-mu, dapat dipakai oleh orang tua terhadap orang muda yang telah dikenal
dengan baik dan lama; orang yang status sosialnya lebih tinggi; orang
yang mempunyai hubungan akrab, tanpa memandang umur atau status sosial.
Pronomina
persona kedua Anda dimaksudkan untuk menetralkan hubungan. Selain itu,
pronomina Anda juga digunakan dalam hubungan yang tak pribadi, sehingga
Anda tidak diarahkan pada satu orang khusus; dalam hubungan bersemuka,
tetapi pembicara tidak ingin bersikap terlalu formal ataupun terlalu
akrab.
Pronomina
persona kedua juga mempunyai bentuk jamak, yaitu bentuk kalian dan
bentuk pronomina persona kedua ditambah sekalian: Anda sekalian, kamu
sekalian. Pronomina persona kedua yang memiliki varisi bentuk hanyalah
engkau dan kamu. Bentuk terikat itu masing-masing adalah kau- dan -mu.
- Pronomina Persona Ketiga
Pronomina
persona ketiga tunggal terdiri atas ia, dia, -nya dan beliau. Dalam
posisi sebagai subjek, atau di depan verba, ia dan dia sama-sama dapat
dipakai. Akan tetapi, jika berfungsi sebagai objek, atau terletak di
sebelah kanan dari yang diterangkan, hanya bentuk dia dan -nya yang
dapat muncul. Pronomina persona ketiga tunggal beliau digunakan untuk
menyatakan rasa hormat, yakni dipakai oleh orang yang lebih muda atau
berstatus sosial lebih rendah daripada orang yang dibicarakan. Dari
keempat pronomina tersebut, hanya dia, -nya dan beliau yang dapat
digunakan untuk menyatakan milik.
Pronomina
persona ketiga jamak adalah mereka. Pada umumnya mereka hanya dipakai
untuk insan. Benda atau konsep yang jamak dinyatakan dengan cara yang
lain; misalnya dengan mengulang nomina tersebut atau dengan mengubah
sintaksisnya.
Akan
tetapi, pada cerita fiksi atau narasi lain yang menggunakan gaya fiksi,
kata mereka kadang-kadang juga dipakai untuk mengacu pada binatang atau
benda yang dianggap bernyawa. Mereka tidak mempunyai variasi bentuk
sehingga dalam posisi mana pun hanya bentuk itulah yang dipakai,
misalnya usul mereka, rumah mereka.
b. Deiksis Tempat
Deiksis
tempat ialah pemberian bentuk pada lokasi menurut peserta dalam
peristiwa bahasa. Semua bahasa -termasuk bahasa Indonesia- membedakan
antara “yang dekat kepada pembicara” (di sini) dan “yang bukan dekat
kepada pembicara” (termasuk yang dekat kepada pendengar -di situ)
(Nababan, 1987: 41). Sebagai contoh penggunaan deiksis tempat.
(8) a. Duduklah kamu di sini.
b. Di sini dijual gas Elpiji.
Frasa
di sini pada kalimat (8a) mengacu ke tempat yang sangat sempit, yakni
sebuah kursi atau sofa. Pada kalimat (8b), acuannya lebih luas, yakni
suatu toko atau tempat penjualan yang lain.
Deiksis
tempat menunjukan lokasi relatif bagi pembicara dan yang dibicarakan
seperti pada “ten metres further”, ‘ten miles east of here’, ‘here’,
there’. Misalnya kita dapat mendefinisikan here sebagai unit ruang yang
mencakup lokasi pembicara pada saat dia berujar atau lokasi terdekat
pada lokasi pembicara pada saat berujar yang mencakup tempat yang
ditunjuk jika ketika berkata here diikuti gerakan tangan. Ukuran dari
lokasi juga berbeda-beda, yang di pengaruhi oleh pengetahuan latar
belakang. Here dapat berarti kota ini, ruangan ini, atau titik tertentu
secara pasti. Dalam hal kata ganti this dan that, pilihan juga dapat
didiktekan berdasarkan kedekatan emosional (empathy) dan jarak. Hal ini
sering disebut deiksis empathetik. Dalam beberapa budaya, kata ganti
demonstratif ini dapat dibedakan lebih berdasarkan prinsip-prinsip
daripada jarak pembicara, seperti (i) dekat pada yang dibicarakan, (ii)
dekat pada audien, (iii) dekat pada orang yang tidak ikut peristiwa (iv)
berdasarkan pada arah-above-below, atau bahkan (v) kalihatan tidak
kelihatan pada pembicara atau (vi) upriver- downriver dari pembicara,
tergantung pada sistem dalam mengkonseptualisasi ruangan yang digunakan
dalam bahasa tertentu. Deiksis tempat juga dapat menggunakan untuk waktu
misalnya dalam contoh (14).
(14) I live ten minutes from here.
Tidak
selalu mudah untuk memutuskan apakah penggunaan sebuah unngkapan itu
deiksis atau non deiksis misalnya pada contoh (15). Pohon dapat berada
di belakang mobil atau tertutup pandangan karena terhalang oleh mobil
(15) The tree is behind the car.
Seperti halnya pada contoh (16), anak laki-laki bisa berada di sisi kiri Tom atau di kiri Tom dari sudut acuan pembicara.
(16) The boy is to the left of Tom
c. Deiksis Waktu
Deiksis
waktu ialah pemberian bentuk pada rentang waktu seperti yang
dimaksudkan penutur dalam peristiwa bahasa. Dalam banyak bahasa, deiksis
(rujukan) waktu ini diungkapkan dalam bentuk “kala” (Inggris: tense)
(Nababan, 1987: 41). Contoh pemakaian deiksis waktu dalam bahasa
Inggris.
(9) a. “I bought a book”.
b. “I am buying a book”.
Meskipun
tanpa keterangan waktu, dalam kalimat (9a) dan (9b), penggunaan deiksis
waktu sudah jelas. Namun apabila diperlukan pembedaan/ketegasan yang
lebih terperinci, dapat ditambahkan sesuatu kata/frasa keterangan waktu;
umpamanya, yesterday, last year, now, dan sebagainya. Contoh dalam
bahasa Inggris:
(10) a. “I bought the book yesterday”.
b. “I bought the book 2 years ago”.
Deiksis
waktu juga ditujukan pada partisipan dalam wacana. “Now” berarti waktu
dimana pembicara sedang menghasilkan ujaran. Waktu pengujaran berbeda
dari waktu penerimaan, meskipun dalam prakteknya peristiwa berbicara dan
menerima memungkinkan berdekatan atau kotemporal. Pusat deiksis dapat
ditujukan pada yang dibicarakan sebagaimana yang didiskusikan dalam
contoh (9). “Now” mengacu pada waktu dimana yang dibicarakan mempelajari
kebenaran, yang diikuti dengan waktu dimana pengarang mengungkapkan
pesan.
(9) “You know the truth now. I knew it a week ago, so I wrote this letter”.
Hal
menarik yang lain untuk diperhatikan adalah istilah “ today, tomorrow,
yesterday” apakah mengacu pada hari keseluruhan atau pada saat tertentu,
sebuah episode pada hari itu, seperti pada contoh (10) dan (11)
berikut:
(10) “Yesterday was Sunday”.
(11) “I fell off my bike yesterday”.
Jumlah
hari secara deiksis juga berbeda dari bahasa satu ke bahasa yang lain:
bahasa Jepang memiliki tiga hari ke belakang dari “today” dan dua hari
ke depan.
Waktu
adalah paling mempengaruhi kalimat menjadi deiksis. Penting kiranya
untuk membedakan antara gramatical tenses dan semantic temporallity.
Misalnya, kalimat (12) dan (13) adalah non deiksis dan atemporal,
meskipun kalimat tersebut memiliki nilai gramatikal.
(12) “A whale is a mammal”.
(13) “Cats like warmth”.
Dalam
penelitian semantik tentang temporality atau ‘metalinguistic tense’
yang digali dari logika kala, terdapat perbedaan yang tegas antara (i)
past, present dan future, (ii) prioritas relatif dari dua peristiwa
dimasa lampau, dan juga antara (iii) hal-hal dalam waktu yang berlawanan
dalam rentang waktu. Perbedaan-perbedaan ini tidak secara langsung
masuk dalam tenses gramatikal karena tenses gramatikal ini juga mencakup
aspect dan modality. Tenses gramatikal juga mencerminkan ketergantungan
budaya dalam melihat waktu dan membaginya seperti afiks dalam bahasa
Amahuaka yang diucapkan di Peru dimana rentang waktu mempengaruhi
rentang sekarang separti halnya “ the morning” atau “the afternoon”
tidak harus sebelum malam. Maka meskipun bahasa orang tenses gramatikal,
bahasa tersebut tetap memiliki ungkapan temporallity.
d. Deiksis Wacana
Deiksis
wacana ialah rujukan pada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang
telah diberikan atau sedang dikembangkan (Nababan, 1987: 42). Deiksis
wacana mencakup anafora dan katafora. Anafora ialah penunjukan kembali
kepada sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya dalam wacana dengan
pengulangan atau substitusi. Katafora ialah penunjukan ke sesuatu yang
disebut kemudian. Bentuk-bentuk yang dipakai untuk mengungkapkan deiksis
wacana itu adalah kata/frasa ini, itu, yang terdahulu, yang berikut,
yang pertama disebut, begitulah, dsb. Sebagai contoh.
(11) a. “Paman datang dari desa kemarin dengan membawa hasil palawijanya”.
b. “Karena aromanya yang khas, mangga itu banyak dibeli”.
Dari
kedua contoh di atas dapat kita ketahui bahwa -nya pada contoh (11a)
mengacu ke paman yang sudah disebut sebelumnya, sedangkan pada contoh
(11b) mengacu ke mangga yang disebut kemudian.
e. Deiksis Sosial
Deiksis
sosial ialah rujukan yang dinyatakan berdasarkan perbedaan
kemasyarakatan yang mempengaruhi peran pembicara dan pendengar.
Perbedaan itu dapat ditunjukkan dalam pemilihan kata. Dalam beberapa
bahasa, perbedaan tingkat sosial antara pembicara dengan pendengar yang
diwujudkan dalam seleksi kata dan/atau sistem morfologi kata-kata
tertentu (Nababan, 1987: 42). Dalam bahasa Jawa umpamanya, memakai kata
nedo dan kata dahar (makan), menunjukkan perbedaan sikap atau kedudukan
sosial antara pembicara, pendengar dan/atau orang yang
dibicarakan/bersangkutan. Secara tradisional perbedaan bahasa (atau
variasi bahasa) seperti itu disebut “tingkatan bahasa”, dalam bahasa
Jawa, ngoko dan kromo dalam sistem pembagian dua, atau ngoko, madyo dan
kromo kalau sistem bahasa itu dibagi tiga, dan ngoko, madyo, kromo dan
kromo inggil kalau sistemnya dibagi empat. Aspek berbahasa seperti ini
disebut “kesopanan berbahasa”, “unda-usuk”, atau ”etiket berbahasa”
(Geertz, 1960 via Nababan, 1987: 42-43).
f. Deiksis Penunjuk
Di dalam bahasa Indonesia kita menyebut demontratif (kata ganti penunjuk): ini untuk menunjuk sesuatu yang dekat dengan penutur, dan itu untuk
menunjuk sesuatu yang jauh dari pembicara. “Sesuatu” itu bukan hanya
benda atau barang melainkan juga keadaan, peristiwa, bahkan waktu.
Perhatikan penggunaannya dalam kalimat-kalimat berikut.
- Masalah ini harus kita selesaikan segera.
- Ketika peristiwa itu terjadi, saya masih kecil.
- Saat ini saya belum bisa ngomong.
Contoh-contoh di atas menunjukan, penggunaan deiksis ini dan itu tampaknya
bergantung kepada sikap penuturterhadap hal-hal yang ditunjuk; jika dia
“merasa” sesuatu itu dekat dengan dirinya, dia akan memakai ini, sebaliknya itu digunakan untuk menyatakan sesuatu yang jauh darinya.
Banyak bahasa mempunyai deiksis jenis ini hanya dua saja, yaitu yang sejajar dengan ini dan itu tadi. Bahasa jawa mengenal iki untuk sesuatu yang dekat dengan penutur dan iku dan kuwi untuk sesuatu yang tidak dekat tetapi tidak terlalu jauh, dan iko dan kae untuk yang sangat jauh.
2.4 PENGGUNAAN KATA GANTI NONDEIKSIS
Dalam ungkapan deiksis juga dikenal penggunaan non deiksis seperti dicontohkan dalam kalimat (23) sampai (28) berikut.
(23) You can never tell these days.
(24) There is this man I met in the cafe.
(25) Now, the next topic to discuss is presuposition.
(26) There you are.
(27) I was doing this and that.
(28) Their garage is opposite Honda’s. (vs. their garage is opposite).
Kata
ganti juga digunakan secara non deiksis ketika kata ganti itu merupakan
anafora dalam pengertian tata bahasa tradisional tentang kata. Dalam
kalimat (29), pengacu itu sudah ada pada dalam teks awal daripada dalam
konteks situasi. Dengan demikian, The boy mendahului dari anafora ‘he’.
(29) The boy fell off a tree and he was found by the gardener.
Sedangkan
kalimat (17), kata ganti it digunakan meskipun acuannya adalah mobil
yang dimiliki oleh tetangga, bukan mpbil yang dimiliki oleh pembicara.
Maka, tidak ada identitas antara pendahulu dan anafor.
(17) I keep my car in the garage but my next door neighbour keeps it on his drive.
Kita menyebutnya penggunaan ‘it’ sebangai deiksis wacana.
Masalah
hubungan anafora dengan kata ganti digunakan sebagai variabel juga
muncul seperti pada kalimat (30) dimana ‘She’ mewakili variabel yang
terikat dengan ungkapan bilangan every girl.
(30) Every girl thinks she should learn to drive.
Dalam kalimat (31), makna ‘it’ tidak bergantung pada ‘a donkey’ tetapi lebih khusus pada keledai yang dimiliki oleh petani.
(31) Every farmer who owns a donkey beats it.
Kata
ganti yang awal (a donkey) merupakan variabel terikat dari ‘every
farmer’, dan antara donkey dan kata ganti tidak terhubung secara
sintaksis. Dengan kata lain tidak ada hubungan antara ‘a donkey’ dan
‘it’. Logika dari kalimat (31) adalah pada (31a)
(31a) VxVy ((farmer(x) & Donkey (y) & Owns (x,y)) à Beats (x,y))
Tetapi (31a) tidak sepenuhnya menterjemahkan kalimat (31). Tidak ada prosedur langsung yang dapat menterjemahkan kalimat (31) dan (31a).
Pada kalimat (32) tidak ada indikasi bagaimana menafsirkan cakupan dari penjelasan a farmer dan a donkey
(32) If a farmer owns a donkey. He is usually rich.
Jika
kita membayangkan 99 petani miskin yang masing-masing memiliki satu
keledai dan seorang petani dengan 200 keledai, maka perbedaan menjadi
sangat nyata.
2.5 DEIKSIS DAN ACUAN
Mari
kita bandingkan hal-hal semantik antara ungkapan deiksis dan acuan yang
lain. Dari perspektif fungsi semantik bersyarat, kata ganti, dan
demonstratif amat mirip dengan nama. Yaitu mengambil acuan, dan kalimat
itu mengandung kebenaran jika predikatnya menunjukan kebenaran dari
individu. Tetapi sebenarnya terdapat perbedaan yang esensial. Kata ganti
dan demonstratif memiliki acuan variabel (veriable reference): kata
ganti dan demonstratif tersebut mengambil acuan
yang berbeda dari kesempatan penggunaan yang berbeda. Kalimat (33)
kondisi kebenarannya sangat terlihat; tidak ada orang yang disebut Kasia
Jaszczolt dan dia adalah seorang linguis.
(33) Kasia Jaszcozlt is a linguist.
Sekarang jika diungkapkan dalam kalimat (34) maka prosedur semantiknya akan terpecah meskipun maknanya sama
(34) I am a linguist.
Hal serupa juga terjadi pada kalimat (35)
(35) We are learning this now.
Batasan antara bergantung pada konteks dan tidak bergantung pada konteks tidak tegas karena memerlukan waktu yang khusus.
Persoalan
utama dalam ungkapan deiksis adalah bahwa kalimat yang mengandung ‘I’
dapat mengungkapkan proposisi yang berbeda pada kesempatan penggunaan
yang berbeda. Untuk mengatasi kesulitan ini dengan acuan dari ungkapan
deiksis harus tetap. Jika acuan itu konstan, maka makna dari ungkapan
deiksis akan tetap konstan dalam berbagai kalimat dan bentuk turunan.
(36) I like cheese and wine.
(37) I like cheese.
Berikutnya,
perlakuan pada kata tunjuk dalam kalimat kompleks tidaklah semudah kata
tunjuk dalam kalimat sederhana. Kita harus memutuskan, misalanya pada
kalimat (38), apakah kata ‘that student’ harus dianalisis sebagai that
sebagai ‘that’ sebagai kata penunjuk, atau penunjuk ‘that’ plus makna
kata ‘student’.
(38) That student knows a lot about Tarski.
Terakhir,
perbedaan jenis kelamin nampaknya juga tidak relevan dalam semantik,
jika pembicara mengatakan kalimat (39), dengan menunjuk pada George
Eliot yang tertera pada sampul buku, pembicara telah mengatakan sesuatu
yang benar meskipun pengarangnya adalah seorang wanita, Mary Anne Evans.
(39) He also wrote Middlemarch.
Contoh (40) mengungkapkan pikiran sehingga kata ‘today’ harus mencerminkan pengertian dan juga acuan.
40) Today is fine.
Dalam
kalimat (40) mengandung persoalan dalam acuannya. Sehingga dalam
mencari acuan semisal kata today, yang juga diuajrkan day d, diartikan
‘jika dan hanya jika ada cara tertentu untuk mencari acuan kapan
tepatnya hari tersebut. Penunjuk dalam pengertian berbeda mengungkapkan
pengertian yang berbeda pula, dan hal ini beragam dalam berbagai
situasi. Bahkan dalam masalah tenses, juga terdapat perbedaan tersebut.
Kalimat (41) mungkin tidak benar ketika dikatakan di musim gugur.
(41) This tree is covered with green leaves.
Tetapi
pengertian bukan hanya pikiran pribadi: kita juga harus dapat melacak
objek ketika kalimat (40) dirubah menjadi kalimat (42) sehari kemudian.
(42) Yesterday was fine
Sehingga seseorang dapat berfikir dengan kondisi yang sama dalam kalimat (40) sehari setelahnya, meskipun ungkapan yang digunakan berbeda.
Dalam
pemahaman seperti inilah, kehadiran sesuatu yang diacu menjadi teramat
penting agar semantik dari ungkapan deiksis dapat terjelaskan, sekaligus
sebagai bentuk ketergantungan pada konteks.
BAB III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Istilah
pragmatik pertama-tama digunakan oleh filosof kenamaan Charles Morris
(1938). Filosof ini memang mempunyai perhatian besar terhadap ilmu yang
mempelajari system tanda (semiotik). Dalam semiotik ini, dia membedakan
tiga konsep dasar yaitu sintaktik, semantik, dan pragmatik. Sintaktik
mempelajari hubungan formal antara tanda-tanda. Semantik mempelajari
hubungan antara tanda dengan objek. Pragmatik mengkaji hubungan antara
tanda dengan penafsir (interpreters). Tanda-tanda yang dimaksud di sini
adalah tanda-tanda bahasa bukan yang lain.
Deiksis berasal dari kata Yunani kuno yang berarti “menunjukkan
atau menunjuk”. Dengan kata lain informasi kontekstual secara leksikal
maupun gramatikal yang menunjuk pada hal tertentu baik benda, tempat,
ataupun waktu itulah yang disebut dengan deiksis, misalnya he, here,
now. Ketiga ungkapan itu memberi perintah untuk menunjuk konteks
tertentu agar makna ujaran dapat di pahami dengan tegas.Tenses atau kala
juga merupakan jenis deiksis. Misalnya then hanya dapat di rujuk dari
situasinya.
Deiksis
ada lima macam, yaitu deiksis orang, deiksis tempat, deiksis waktu,
deiksis wacana dan deiksis sosial (Nababan, 1987: 40).
3.2 SARAN
Makalah yang
penulis buat tentunya masih jauh dari yang namanya “sempurna”. Ini
disebabkan oleh keterbatasan penulis, baik dalam hal pengetahuan dan
pengalaman. Setelah membaca makalah ini, diharapkan pembaca mencari sumber – sumber lain yang berkaitan dengan Pragmatik khusunya tentang kajian Deiksis sehingga dapat menambah pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Karena ada pepatah yang mengatakan, “Semakin ilmu itu digali, maka semakin banyak yang tidak kita ketahui”. Jadikan hal tersebut sebagai pemacu Anda untuk terus maju dan meraih sukses.
DAFTAR PUSTAKA
Gunarwan, Asim. 1993. “Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan Indonesia-Jawa di Jakarta: Kajian Sosiopragmatik”. Makalah PELLBA VII, Unika Atma Jaya, Jakarta, 26-27 Oktober 1993.
Kaswanti Purwo, Bambang. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984. Yogyakarta: Kanisius.
Lubis, A. Hamid Hasan. 1993. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Penerbit Angkasa.
Sumarsono. 2008. Buku Ajar Pragmatik. Singaraja: Undiksha
Wijana, I. Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Yule, George. 2006. Pragmatik (terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
______. 1993. “Pragmatik: Pandangan Mata Burung”. Bahan Penataran Linguistik I, Unika Atma Jaya, Jakarta, 4-17 November 1993.
______. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. (terjemahan M.D.D. Oka). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
1 komentar:
Ass mas,
o ya mas...saya mau nanya, klo seandainya saya cuma membahas deiksis social itu yang perlu di jelaska pada chapter 1,2, dan 3 apa ya mas?? tolong bantuannya ya mas and di krm ke alamat email ini: lpaulina94@yahoo.co.id....Thanks b4 mas :)
Posting Komentar